BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Perlu Revisi Sikap terhadap ASEAN

Perlu Revisi Sikap terhadap ASEAN

Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.26

Perlu Revisi Sikap terhadap ASEAN

Sejak era Orde Baru, politik luar negeri kita mengutamakan ASEAN. Di era
Reformasi, walau tidak seantusias Soeharto, empat presiden (BJ Habibie,
Gus Dur,Megawati,dan Susilo Bambang Yudhoyono) pada dasarnya masih
meneruskan politik luar negeri itu walaupun pengutamaan ASEAN itu terasa
tidak lagi punya dasar yang memadai.


Karenanya, memasuki dasawarsa kedua abad ke-21 ini adalah momentum yang
tepat untuk meninggalkan pengutamaan ASEAN itu. Penyusunan kabinet baru
masa jabatan 2009–2014 seyogianya juga mempertimbangkan perlunya
pergeseran prioritas politik luar negeri kita.

Lapis dan Lingkaran Konsentris

Prioritas politik luar negeri Indonesia sejak paro kedua dasawarsa
1960-an bisa diketahui dengan adanya konsep lingkaran konsentris
(concentric circle). Lingkaran konsentris atau lapis pertama adalahAsia
Tenggara,Pasifik Barat Daya, dan Samudra Hindia. Lingkaran konsentris
kedua adalah kawasan Asia Timur. Dalam lingkaran konsentris pertama
masih ada lingkaran terdalam,yaitu Asia Tenggara.

Selain itu,dikenal istilah lapis (layer).Lapis pertama adalah Asia
Tenggara.Lapis kedua adalah Pasifik. Pengutamaan ASEAN pada waktu itu
memang bisa dipahami. Pertama, pengutamaan ASEAN masuk akal dalam
suasana Perang Dingin.Walau secara resmi alasan pendirian ASEAN pada
1967 adalah untuk kemajuan sosial,budaya, dan ekonomi, tidak bisa
dimungkiri bahwa alasan strategis dan keamanan adalah untuk membendung
kekuatan komunis di kawasan Indocina agar tidak berkembang ke kawasan
Asia Tenggara.

Kedua, Presiden Soeharto sangat meyakini asumsi bahwa pembangunan
nasional tergantung pada ketahanan nasional bahwa ketahanan nasional
tergantung pada ketahanan kawasan dan bahwa
ketahanankawasantergantungpulapada ketahanan-ketahanan nasional
negara-negara di kawasan itu.Karenanya, Soeharto memang bekerja keras
untuk menjadikan ASEAN istimewa dan berhasil sebagai organisasi
regional. Ketiga, dengan menyikapi dan memperlakukan ASEAN secara
istimewa itu,Indonesia memang mendapat apresiasi dari dunia
internasional karena ASEAN dianggap sebagai cerita berhasil sebuah
organisasi kawasan.

Walau untuk menjadikan ASEAN itu cerita sukses, Indonesia harus banyak
mengalah kepada negara-negara anggota lainnya. Setelah Soeharto turun
pada 1998, negara-negara anggota ASEAN kini tampak. Keempat, masih ada
pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, yaitu persoalan perbatasan
wilayah. Namun,soal perjanjian batasbatas wilayah ini lebih menekankan
hubungan bilateral daripada multilateral atau regional. Soal
penyelesaian soal perbatasan itu tidak hanya dengan beberapa negara
anggota ASEAN, tetapi juga dengan negara-negara tetangga lain.

Kedekatan Kepentingan

Kini setelah tidak lagi ada Perang Dingin,setelah Soeharto lengser, dan
setelah negara-negara ASEAN lainnya tidak lagi menunjukkan respeknya
terhadap Indonesia, apakah pengutamaan ASEAN masih harus dipertahankan?

Apakah pengutamaan ASEAN itu masih harus dilakukan mengingat dinamika
internasional yang baru memasuki dasawarsa kedua abad ke-21 ini telah
berubah seiring dengan adanya beberapa perubahan yang cukup mendasar?
Pengutamaan ASEAN itu kini mudah dikritik karena perkembangan dinamika
internasional memang tidak bisa dihadapi dengan berkutat pada ASEAN.
Pertama, di mana pun dan kapan pun, politik selalu didasari kepentingan.

Erat-tidaknya hubungan antarnegara didasari oleh kedekatan (proximity).
Dalam dunia yang terasa makin sempit ini, kedekatan tidak bisa lagi
didasari melulu oleh kedekatan jarak geografis. Yang lebih kuat adalah
kedekatan kepentingan.Pengutamaan lingkaran konsentris atas dasar
kedekatan geografis tidak bisa dipertahankan.Kedekatan harus didasari
kepentingan, bukan geografis. Prioritas pada ASEAN semula lebih karena
kedekatan fisik-geografis, sementara memang ada kedekatan kepentingannya.

Namun, begitu kedekatan kepentingan ternyata tidak menguat, tetapi
justru melemah bila dibandingkan kedekatan kepentingan dengan negara dan
kekuatan riil di luar ASEAN, politisi atau negarawan siapa pun dan di
mana pun pasti tidak mau mengorbankan kepentingan nasionalnya hanya demi
rasa sungkan. Kedua, kenyataan bahwa hubungan intra-ASEAN tidak pernah
bisa mengalahkan hubungan ekstra-ASEAN,menunjukkan bahwa walau
riuh-rendah dan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, ASEAN
tidaklah tumbuh secara wajar seperti yang diharapkan.

Misalnya, perdagangan intra-ASEAN pada 2005 hingga 2008 hanya berkisar
25%, sementara ekstra- ASEAN sekitar 75%.Hal itu bisa jadi karena memang
sebenarnya tidak ada niat yang sungguh-sungguh dalam membangun kerja
sama intra-ASEAN atau memang tidak cukup tersedia faktor-faktor riil
yang bisa dijadikan bahan bekerja sama karena tiap negara anggota ASEAN
masih punya pola hubungan tradisional dengan negaranegara di luar ASEAN
dan tidak mau rugi kalau haru meninggalkan mitra-mitra tradisionalnya itu.

Ketiga, ke depan, dinamika politik internasional akan bergeser ke Asia
Timur, sementara Eropa Barat dan AS masih akan dominan dalam menentukan
dinamika internasional itu. Politik luar negeri AS di bawah Barack Obama
tampaknya akan berusaha menjadikan hubungannya dengan negara- negara
lain lebih kooperatif daripada konfliktual.

Diprediksi, kawasan Timur Tengah akan lebih tenang dibandingkan masa
George Bush berkuasa.Kemajuan pesat RRC akan mendorong Jepang dan Korea
Selatan ikut berlomba memajukan produktivitasnya. Dalam ikhwal
perekonomian, dinamika internasional akan banyak dipengaruhi oleh
negaranegara itu.

Asia Timur, Eropa dan AS

Atas dasar tiga alasan di atas, maka ke depan, politik luar negeri kita
mesti menjadikan dinamika Asia Timur itu sebagai prioritas sambil
terus-menerus menjaga hubungan produktif dengan negara-negara Eropa
Barat dan AS.

Untuk itu, diperlukan keberanian untuk keluar dari rezim pemikiran
pengutamaan ASEAN yang selama ini memandu pemikiran dan tindakan luar
negeri kita. Prioritas utama politik luar negeri kita sudah saatnya
digeser ke kawasan Asia Timur sebagaimana selama ini dianggap sebagai
lingkaran konsentris kedua. Artinya, lapis pertama yang selama ini
merujuk pada Asia Tenggara perlu direvisi menjadi kawasan Asia Timur.

Bagaimanapun kemampuan kita untuk menyikapi dan menyiasati negara-negara
Asia Timur seperti RRC, Jepang, dan Korea maupun negara-negara Barat
(Eropa Barat dan AS) menjadi amat penting dan menjadi prioritas utama
dalam rangka menjamin, menjaga, memperjuangkan kepentingan- kepentingan
kita. Namun,kemampuan kita untuk menyikapi dan menyiasati negaranegara
atau lembaga-lembaga internasional lain tetap masih diperlukan kendati
bukan prioritas utama.

Secara khusus kita amat memerlukan meningkatkan kemampuan untuk
menyelesaikan persoalan- persoalan mendasar dalam ikhwal perbatasan
dengan negaranegara tetangga. Kalau kemampuan- kemampuan itu bisa
didayagunakan pada waktu lima tahun ke depan, posisi negara-bangsa kita
akan menguat di hadapan negaranegara bangsa lain.(*)

I Basis Susilo
Dosen Hubungan Internasional dan Dekan FISIP Universitas Airlangga


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/269605/
Share this article :

0 komentar: