BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Bagi-Bagi Kursi Menteri, Benarkah?

Bagi-Bagi Kursi Menteri, Benarkah?

Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.21

Bagi-Bagi Kursi Menteri, Benarkah?

Meskipun masa jabatan para anggota Kabinet Indonesia Bersatu baru akan
berakhir pada 20 Oktober 2009, gosip tentang siapa mendapat apa dan
lewat “pintu” mana mulai ramai terdengar.


Tentu tidak seterbuka berita kasak-kusuk para pesohor negeri ini yang
mendominasi tayangan hiburan televisi kita. Namun, pada lingkaran
tertentu, tingkat kegaduhannya sudah sangat terasa. Apalagi di kalangan
elite partai politik, masa-masa sekarang adalah masa yang tepat bagi
mereka untuk mulai memperhitungkan posisinya dalam pemerintahan mendatang.

Itu sebabnya, akhir-akhir ini mulai terlihat adanya berbagai langkah
pendekatan, baik dari partai koalisi SBY maupun lawan sekalipun,untuk
memperbincangkan masalah ini.Kecurigaan antarpartai mulai menyeruak ke
permukaan tatkala sebagian besar kekuatan politik mulai “merapat” ke
Cikeas, kediaman pribadi Presiden SBY.Persaingan antarmereka mau tidak
mau akan memuncak. Meski masih ada basa-basi politik dengan mengatakan
bahwa “komposisi kabinet itu menjadi hak prerogatif Presiden SBY”,
sejatinya rasa waswas dan takut tersingkir dalam persaingan mustahil
dapat disembunyikan.

Apalagi setelah terdengar berita bahwa PDIP, yang sebelumnya menjadi
seteru Pasangan SBY-Boediono dalam pilpres yang lalu, belakangan justru
berbalik arah.Kecenderungan semacam ini mau tak mau telah menambah salah
tingkahnya partaipartai koalisi lama Partai Demokrat serta pasangan
presiden dan wakil presiden terpilih tersebut. Bagi Presiden SBY dan
Wakil Presiden Boediono, merapatnya hampir semua partai ke kubunya tentu
saja akan sangat menguntungkan. Semakin banyak partai yang mendukung
pasangan terpilih ini akan memperkuat posisinya dalam menghadapi
parlemen mendatang.

Meskipun dikhawatirkan akan melahirkan sebuah pemerintahan yang nyaris
tanpa kekuatan oposisi, situasi yang demikian justru akan lebih
menguntungkan pemerintahan. Hanya dengan membagi- bagi kursi kabinet
kepada elite partai pendukung, tujuan melemahkan kontrol parlemen sudah
tercapai. Namun, masalahnya, apakah hanya karena tujuan pragmatis itu
saja lantas Presiden SBY akan rela melakukan politik dagang sapi?

Otonomi Relatif Presiden SBY

Walaupun kita semua juga mengetahui bahwa presiden terpilihlah yang
memiliki hak prerogatif untuk menentukan personel kabinetnya, tidak ada
larangan sama sekali bagi siapa pun untuk mereka-reka kemungkinan
bagi-bagi kursi menteri seperti itu. Dalam sistem politik yang
demokratis, tak ada sebuah kekuatan–– termasuk Presiden––yang memiliki
otonomi secara mutlak.

Yang ada kemudian adalah otonomi relatif. Dia memang memiliki kekuasaan
ganda. Selain sebagai kepala pemerintahan, presiden juga menjadi kepala
negara. Namun, kekuasaan seorang Presiden RI bukannya tak terbatas.
Dengan sejumlah alasan, hak prerogatif presiden tersebut secara politis
mulai dinisbikan. Pertama, memang Presiden SBY dan Wakil Presiden
Boediono terpilih dengan suara terbanyak yang cukup meyakinkan. Lebih
dari 60% pemilih Indonesia telah menyerahkan kepercayaannya terhadap
pasangan ini untuk memimpin Indonesia dalam lima tahun ke depan.

Dengan perolehan suara sebanyak itu,mestinya Presiden SBY memiliki
posisi yang lebih menentukan di dalam memilih siapa yang akan dipercaya
menjadi pembantunya dalam pemerintahan selanjutnya. Akan tetapi,
gara-gara adanya koalisi besar 24 partai politik yang mendukung Pasangan
SBYBoediono dalam kampanye pilpres yang lalu, maka ada ruang untuk
mempertanyakan hakikat kemenangan di atas.

Apakah benar kemenangan itu semata-mata karena kepercayaan rakyat kepada
pasangan SBY-Boediono yang diusung Partai Demokrat atau karena juga
adanya andil dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB),Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), Partai Bulan Bintang (PBB),Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
(PNBK), dan sejumlah partai pendukung lain? Kedua, apakah Presiden SBY
memiliki keberanian untuk mengabaikan peran mereka? Menang dalam pilpres
memang satu hal.

Hanya dengan cara itulah seorang calon dapat meraih posisi selanjutnya.
Namun, penyelenggaraan pemerintahan dalam masa lima tahun ke depan
merupakan hal yang lain. Presiden tidak mungkin menjadikan dukungan
rakyat secara terbuka sebagai dasar dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan. Dalam sistem demokrasi perwakilan, hak-hak rakyat untuk
menjalankan pemerintahan sudah didelegasikan kepada para wakil rakyatnya
di parlemen,baik di pemerintah pusat maupun pe-merintah daerah. Dengan
demikian, Presiden mesti memperhatikan konstelasi politik di parlemen
bila ingin segala agendanya mendapat dukungan rakyat.

Sebagai konsekuensi logisnya,Presiden harus mampu mengakomodasi kekuatan
di parlemen. Cara yang paling efektif untuk menerapkan politik akomodasi
tersebut adalah dengan memberi peluang kepada elite partai dalam
kursi-kursi kabinet yang dibentuknya. Lewat strategi semacam inilah
koalisi parpol pendukung SBY-Boediono tidak sakit hati. Ketiga, secara
pribadi, SBY sangat peduli terhadap harmoni. Meski sistem presidensial
yang kita anut,posisi presiden bukanlah segala-galanya. Apalagi
kemenangan partai pendukungnya,Partai Demokrat, belum mencukupi untuk
menjadi kekuatan mayoritas sederhana sekalipun di DPR.

Maka, mau tidak mau, Presiden mesti cerdik di dalam memainkan politik
akomodasinya.Menyadari bahwa kemenangannya banyak juga didukung pihak
lain,baik dari unsur partai maupun nonpartai, tidak ada kata lain
baginya untuk memberi imbalan kepada mitra pendukungnya. Keempat,
Presiden SBY pasti akan lebih memilih kabinet kerja daripada kabinet
ahli (zakenkabinet) ataupun kabinet yang teknokratik. Masalahnya, hanya
dengan cara itulah dia dapat mendistribusikan kekuasaan kepada para
pendukungnya tanpa harus kehilangan kendali.

Stabilitas pemerintahan, tentunya, akan menjadi prioritas Presiden SBY.
Oleh karenanya, sering terdengar bahwa dia tidak akan mendikotomikan
politisi dan ahli dalam menyusun anggota kabinetnya.
Berangkatdarisejumlahargumen di atas,dapat dimengerti apabila kemudian
muncul bisik-bisik soal personel kabinet berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan di atas.

Kualifikasi Calon Menteri

Sejumlah pertimbangan di atas tentu mustahil untuk dihindari. Siapa pun
yang menduduki jabatan presiden sekarang,tak mungkin lagi mengabaikan
arti dukungan para tokoh atau mengabaikan pentingnya koalisi antar
kekuatan yang ada. Namun,demi kepentingan yang lebih besar, Presiden SBY
harus menetapkan beberapa persyaratan obyektif.

Agar tidak terjebak ke dalam politik dagang sapi, sudah selayaknya bila
pragmatisme politik tidak menjadi satu-satunya pertimbangan di dalam
memilih para pembantunya.Mengingat makin kompleksnya persoalan
kenegaraan, di satu pihak, dan kian besarnya harapan masyarakat terhadap
presiden terpilih, di pihak lain, Presiden SBY diharapkan memperhatikan
suara-suara publik yang mulai nyaring dalam berbagai perdebatan.
Pertama, pengurangan jumlah anggota kabinet, menjadi seramping mungkin,
tapi sungguh-sungguh efektif dalam menyelenggarakan pemerintahan.

Selain karena keperluan akan soliditas pemerintahan di pusat,juga akan
memberi makna yang konkret terhadap penyelenggaraan pemerintahan di
daerah.Dewasa ini,mungkin sudah saatnya bagi Presiden SBY untuk
memberikan kepercayaan kepada keniscayaan demokrasi di daerah. Apa yang
dapat diselesaikan di sana, tak perlu lagi diambil oleh pusat.
Kedua,Presiden SBY harus memilih para pembantunya yang memiliki
kredibilitas moral, intelektual, dan integritas yang diterima umum.

Rekam jejak yang bersih dan kapabilitas dalam menjalankan tugasnya akan
sangat membantu penampilan seorang menteri. Ketiga, loyalitas kepada
pemerintah melebihi kepada partai atau pribadi dan golongan, harus
menjadi pertimbangan lain dari Presiden SBY dalam memilih pembantunya.
Hal ini akan mencegah adanya loyalitas ganda dan conflict of interests
sebagai akibat dari “Kabinet Pelangi” tersebut. diutamakan para anggota
kabinetnya Kualifikasi di atas tampaknya sangat penting ketimbang
memperhitungkan keadilan etnis atau gender.

Secara sempit, mungkin hal ini masih perlu diperhitungkan. Namun dilihat
dari kebutuhan sebuah pemerintahan modern, yakni efektivitas dan
manfaatnya, faktor-faktor tradisional tadi bisa dipinggirkan. Toh kalau
sebuah kementerian bekerja dengan baik, sudah secara implisit
mencerminkan pertimbangan-pertimbangan di atas.(*)

Indria Samego
Profesor Riset Bidang Politik LIPI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/269608/
Share this article :

0 komentar: