BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kontroversi Seputar Bank Century

Kontroversi Seputar Bank Century

Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.27

/Kontroversi Seputar Bank Century /

*Ferdy Hasiman*
ALUMNUS STF DRIYARKARA, JAKARTA, DAN PENEKUN MASALAH NEOLIBERALISME

Berita-berita di halaman depan media pada hari-hari ini heboh oleh kasus
/bailout/ untuk Bank Century. Sejak Oktober 2008, bank ini telah
dinyatakan gagal kliring oleh Bank Indonesia dengan indikasi rasio
kecukupan modal (CAR ) -3,5 persen. Menurut aturan BI, bank dinyatakan
sehat dan stabil jika CAR-nya berada di atas 8 persen.

Menimbang risiko sistemik yang akan terjadi jika bank ini kolaps,
setelah gagal kliring, bank ini dilaporkan ke Departemen Keuangan dan
diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS ) untuk diselamatkan. Aksi
penyelamatan terhadap bank ini mulai dilakukan sejak Departemen Keuangan
dan BI meminta persetujuan DPR agar bank ini di-/bail-out/. Pada
November 2008, DPR menyetujui agar pemerintah memberi /bailout/ bank ini
senilai Rp 2 triliun, karena dana nasabah sebesar Rp 1,4 triliun ludes
diborong Komisaris Utama yang memiliki sekuritas Antaboga Delta Sekuritas.

Di luar dugaan memang pemerintah mem-/bail-out/ bank ini sebesar Rp 6,7
triliun, yang memunculkan gelombang protes dari berbagai pihak termasuk
DPR RI. Adapun alasan yang dikemukakan pemerintah dan BI di balik
/bailout/ ke Century adalah untuk menjaga likuiditas, dan virus krisis
akan menyebar ke sendi-sendi perekonomian bangsa. Tulisan ini tidak
hendak membahas seputar risiko sistemik yang akan terjadi jika bank ini
tidak di-/bail-out/. Tulisan ini mencoba memahami kontroversi yang
terjadi saat ini, karena urusan sistemik atau tidak, publik sedang
menanti audit investigatif BPK.

Ada alasan kenapa penulis tidak membahas dampak sistemik tersebut. Saya
mencoba melihat bahwa kontroversi yang terjadi akibat minimnya informasi
yang didapat publik tentang bank tersebut. Pertanyaan yang perlu dijawab
adalah mengapa hal itu terjadi.

*Asimetri informasi*
Secara jujur kita harus memberikan apresiasi kepada pihak-pihak yang
membongkar kebobrokan manajemen otoritas moneter dan pemerintah atas
/bailout/ ke Century. /Bailout/ yang tidak transparan menimbulkan /moral
hazard. Moral hazard/ berarti pemerintah hanya mem-/bail-out/ dana
nasabah-nasabah tertentu yang memiliki kepentingan pribadi dengan
pemerintah. Publik tentu menunggu dan berharap kasus ini diselesaikan
secara tuntas, karena merugikan negara sebesar Rp 5 triliun.

Namun, kita juga perlu jujur bahwa informasi yang didapat publik tentang
kasus Bank Century terpotong-potong dan tidak lengkap. Ketidaklengkapan
informasi inilah yang kita sebut asimetri informasi. Asimetri informasi
artinya akses publik untuk mendapatkan informasi seputar rasio-rasio dan
neraca buku bank ini hampir minim. Minimnya informasi yang kita terima
menyebabkan pencarian fakta tentang kasus ini sangat sulit dibuktikan.
Saat ini kita hanya mengumpulkan cerita-cerita atau penggalan-penggalan
pernyataan dari narasumber yang tak mengetahui kasus ini.

Jika pun ada deposan-deposan besar, seperti Boedi Sampoerna yang
tersangkut di sana dan ternyata ada pihak-pihak tertentu yang sudah
mengetahui kontrak politik antara otoritas moneter dan pemerintah,
kenapa tidak dari awal membongkar kejahatan tersebut? Lalu, bagaimana
kita dapat mengakses informasi ke sana. Risiko minimnya informasi
membuat publik kesulitan membuktikan kebenaran siapa-siapa deposan yang
di-/bail-out/. Saat ini publik hanya menangkap serpihan-serpihan dan
potongan-potongan fakta yang probabilitas kebenarannya sangat kecil.
Lalu, mengapa informasi yang disebarkan ke publik setengah-setengah?

Jawabannya tidak lain karena asimetri kekuasaan. Asimetri kekuasaan
berarti hubungan yang tidak sejajar antara kekuasaan dan rakyat.
Kekuasaan selalu berada pada pihak pebisnis atau deposan-deposan besar
karena, tanpa uang, kekuasaan tidak dapat berjalan mulus. Dengan itu,
kerja sama antara aparat kekuasaan dan pebisnis menjadi musuh permanen
republik ini sejak zaman Orde Baru.

Publik pasti sudah mengetahui bahwa para pelaku bisnis kerap menampar
jantung hati demokrasi. Demokrasi, yang sedianya menjadi urusan publik,
berubah menjadi urusan privat atau tempat sembunyi mafia bisnis dan
aparat pemerintah yang menggunakan jabatan untuk kepentingan bisnis.
Barangkali ada hikmahnya jika kita mengambil pemikiran filsuf Jerman
yang hidup pada rezim Hitler, Hanna Arendt. Arendt mengatakan, dominasi
urusan privat (kekuasaan ekonomi) dalam politik menimbulkan kolonisasi
ruang publik. Ruang publik merupakan ruang di mana warga negara
berkomunikasi membahas persoalan publik secara bersama-sama.

Arendt memang menyuling kembali konsep Aristoteles, yang membedakan
ekonomi, urusan distribusi dalam ruang privat atau keluarga. Arendt pun
membuat pemisahan urusan ekonomi ke dalam kategori "yang privat", urusan
pribadi, rumah tangga. Adapun "yang politis" adalah ruang publik, karena
di ruang publik rakyat saling berkomunikasi untuk membicarakan
kepentingan umum. Ruang politis bagi Arendt adalah ruang penampakan di
mana tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada kesenjangan informasi, tidak
ada yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Ruang politis adalah
tempat rakyat berkomunikasi satu sama lain secara bebas dan adil.

Mencampuradukkan urusan privat ke ruang publik menimbulkan kolonisasi
ruang publik oleh yang privat. Ketika yang privat masuk ke dunia publik,
ia akan merusak seluruh tatanan politik yang telah terbangun, dan
komunikasi politik menjadi mandek. Secara singkat dapat dikatakan
asimetri kekuasaan akan mengakibatkan asimetri informasi. Kekuasaan
menjadi tidak transparan. Ketidaktransparanan menimbulkan kesulitan
untuk mengusut tuntas kompromi politik dan /deal/ gelap yang dilakukan
otoritas moneter dan pemerintah. Bagaimana langkah selanjutnya untuk
tidak membiarkan kejahatan negara berlarut-larut?

*Kesadaran politik*
Kesadaran politik tentu mutlak perlu ke depan. Rakyat tentu perlu
bertanya, kenapa tiba-tiba JK dan beberapa partai di parlemen sangat
getol membongkar kasus ini. Bukankah sebentar lagi akan terjadi
perebutan posisi Ketua DPR dan MPR dan bersambung ke pemilihan komposisi
para menteri periode 2009-2014 mendatang?

Mudah-mudahan publik tidak terkecoh dan tertipu oleh permainan
kekuasaan, karena kerap kali kita membaca politik secara lugu dan polos.
Membaca politik republik siluman ini harus dibaca secara bijaksana,
karena hari ini para politikus berkata bak nabi, besok mereka akan
menjadi penjilat kekuasaan. Rakyat perlu menyadari bahwa pada awal mula
kasus ini kelihatan datar dan nyaris tak tersentuh kontrol parlemen.
Namun, belakangan santer terdengar beberapa pihak sangat getol
membongkar semua kebobrokan di balik kasus ini.

Dengan melihat kenyataan itu, penting bagi kita untuk membaca
kontroversi ini dari kacamata kekuasaan. Barangkali ada benarnya bahwa,
di level elite, sebenarnya ada geng dan kubu-kubuan. JK, misalnya, pada
masa pemerintah sebelumnya menjadi pemegang kendali kebijakan ekonomi
kita. Namun, dengan terpilihnya Boediono sebagai wakil presiden, tentu
pengendali kebijakan ekonomi akan berubah dengan sendirinya. Yang hendak
dikatakan adalah bahwa, sebagai bangsa (/state/), kita belum normal.
Sehingga, sebelum kita membereskan kasus-kasus besar, kita harus
membereskan /state/ dulu. Tanpa menyelesaikan perkara itu, masalah yang
datang silih-berganti mustahil dapat diselesaikan secara tuntas.

Tuntasnya penyelesaian persoalan di negeri ini sangat bergantung pada
kejujuran dan keberpihakan pemerintah kepada seluruh rakyat. Sebagaimana
kita melihat bahwa rakyat sekarang sudah pandai mengemas informasi, dan
itu menjadi berkah bagi kemajuan berdemokrasi ke depan. Tinggal sekarang
tugas pemerintah adalah menyajikan informasi penting berkaitan dengan
kepentingan umum ke publik secara merata, sehingga mekanisme kontrol
berjalan efektif dan rakyat dapat mengetahui apa yang dilakukan
pemerintah dan bagaimana pemerintah mengambil kebijakan publik.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/12/Opini/krn.20090912.176561.id.html
Share this article :

0 komentar: