Peranakan
SAYA kagum atas sikap Aylawati Sarwono, Direktur Jaya Suprana School of
Performing Arts, yang tegas menolak permintaan sebuah lembaga yang ingin
merayakan Hari Raya Imlek dengan pergelaran kebudayaan China bergaya
persis di Hong Kong dan Taiwan.
Sikap Ayla sebagai seorang insan keturunan China cukup mengejutkan
karena seolah ingkar terhadap kebudayaan China yang dijunjung tinggi
sebagai warisan leluhur oleh para warga negara Indonesia keturunan
China. Namun sebagai warga negara Indonesia, sikap Aylawati sangat
mengagumkan karena jelas mencerminkan semangat nasionalisme yang luhur.
Kekaguman saya semakin mendalam karena Aylawati Sarwono memang menolak
pergelaran kebudayaan China yang persis seperti di Hong Kong dan Taiwan,
tapi sambil menawarkan pergelaran kebudayaan China yang tumbuh-kembang
di bumi Nusantara yang disebut sebagai kebudayaan peranakan yang memang
memiliki ciri dan sifat khas sama sekali berbeda dengan kebudayaan China
di Hong Kong atau Taiwan.Apalagi dengan yang di daratan Republik Rakyat
China sendiri.
Penawaran Ayla ini membuktikan dirinya bukan cuma memiliki semangat
nasionalisme fanatik membabi-buta, melainkan juga didukung kesadaran
atas makna kebudayaan Indonesia sejati yang berbingkai Bhinneka Tunggal
Ika. Makna yang berhias aneka ragam bentuk kebudayaan, termasuk di
antaranya adalah kebudayaan peranakan sebenarnya yang masih harus
diperinci lebih jauh menjadi kebudayaan peranakan Indonesia. Kebudayaan
yang berbeda dengan kebudayaan peranakan Malaysia dan Singapura.
Penawaran Aylawati Sarwono untuk menampilkan pergelaran karsa dan karya
kebudayaan peranakan Indonesia untuk merayakan Hari Raya Imlek memiliki
nilai adiluhung.Pergelaran seni budaya peranakan Indonesia terjamin
tidak kalah semarak dan indah ketimbang pergelaran seni budaya China di
Taiwan, Hong Kong, Beijing atau kota China mana pun! Kebudayaan
peranakan Indonesia memiliki jati diri khas, tiada duanya di dunia ini
karena masyarakat keturunan China di persada Nusantara telah berhasil
membentuk ciri dan gaya kehidupan mereka yang memang tiada duanya di
dunia dengan corak, jenis, dan bentuk estetika yang mandiri.
Kebudayaan peranakan telah melahirkan bentuk busana seperti kebaya yang
sangat menawan dengan sentuhan garis tubuh gemulai dan anggun.Kebudayaan
peranakan Indonesia juga telah melahirkan corak motif seni batik
memesona dan jelas tidak eksis di seni tekstil mana pun di marcapada
ini, termasuk di daratan China,Hong Kong,atau Taiwan! Kebudayaan
peranakan melahirkan seni musik gambang yang tumbuh subur di kawasan
pesisiran budaya Pulau Jawa dari Jakarta ke Semarang sampai Surabaya.
Komponis peranakan Oei Yok Siang yang berkarya di Kota Semarang
melahirkan karya-karya musik abadi seperti Gambang Semarang, Impian
Semalam, Malu-Malu Kucing dan ikut memengaruhi lahirnya musik yang juga
khas tiada duanya di dunia: campur sari. Tidak kurang dari Gesang
sendiri menggubah melodi Bengawan Solo bertumpu pada titinada pentatonik
12356 yang merupakan titinada musik peranakan di kawasan pesisir utara
Pulau Jawa.Di bidang adiboga, kebudayaan peranakan Indonesia melahirkan
hidangan mahalezat seperti lunpia semarang, tahu pong, bolang-baling,
bakmi, bihun, timlo, wingko, dan lain-lain pemicu air liur.
Pengaruh kebudayaan peranakan Indonesia juga ikut menyuburkan lahan
kebudayaan Betawi, terus menelusur ke Surabaya melalui Semarang,Kudus,
Rembang, dan terutama Lasem yang layak dianggap sebagai pusat kelahiran
kebudayaan peranakan. Batik Lasem merupakan mahakarya adibusana
peradaban dan kebudayaan peranakan yang diburu para kolektor seni
tekstil dunia! Arsitektur kuilSam Po Kong yang asli sebenarnya bercorak
peranakan dengan pengaruh Islam. Sayang,monumen sejarah Islam di Kota
Semarang tersebut kini telah dipugar menjadi bergaya arsitektur
kebudayaan China persis nun jauh di Beijing.
Bahasa peranakan ikut membentuk perbendaharaan kosakata bahasa
Indonesia, terutama bahasa populer pergaulan kaum bisnis seperti sebutan
mata uang go-jeng, go-ban, go-tiauw atau hok-gie,bo cwan,bo lui,bo
jai,bo eng sampai bo-ceng-lie. Maka kawasan China Town atau yang disebut
sebagai pecinan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar memang
memiliki corak kebudayaan khas peranakan Indonesia yang tidak bisa
dipaksa untuk menjadi sama saja dengan kebudayaan China di Taiwan, Hong
Kong,atau apalagi Shanghai. Para leluhur warga keturunan China di
Indonesia seharusnya mampu menghargai, menghormati, dan menjunjung
tinggi langit kebudayaan di mana kaki mereka berpijak.
Tidak perlu harus berkiblat ke bumi daratan China,Taiwan, atau Hong
Kong. Jika kebudayaan warga Shanghai terbukti mau dan mampu beda dengan
kebudayaan warga Beijing, kenapa kebudayaan warga Jakarta, Semarang,
Surabaya,Medan,Makassar, Banjarmasin harus tunduk dan berkiblat pada
kebudayaan warga Beijing? Maka segenap warga keturunan China di
Indonesia senantiasa siap berdiri tegap untuk menghormati pengibaran
bendera Merah-Putih sambil bersemangat menyanyikan lagu Indonesia Raya,
lalu serentak nyaring berpekik “Merdeka!”(*)
JAYA SUPRANA
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/269631/38/
Peranakan
Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.29
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar