BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mempertemukan Hisab-Rukyat

Mempertemukan Hisab-Rukyat

Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.20

Mempertemukan Hisab-Rukyat
Oleh : Mahmudi Asyari

SEKITAR lima tahun lalu, seorang wartawan Arab Saudi diseret ke
pengadilan lantaran mengkritik putusan mahkamah agung (MA) negeri itu
yang berkaitan dengan penetapan awal Syawal. Menurut wartawan tersebut,
MA negeri keluarga Saud tersebut telah melakukan kekeliruan fatal
lantaran ketika menerima klaim rukyat dari seseorang tidak mau mengecek
kebenarannya melalui uji ilmiah, apakah saat itu hilal memang mungkin
dirukyat atau tidak. Wartawan tersebut yakin bahwa hilal kala itu tidak
mungkin bisa dirukyat lantaran masih jauh di bawah ufuk.

Laporan wartawan tersebut dianggap melawan otoritas agama. Pengadilan
kemudian memberinya hukum cambuk. Untung, si wartawan tidak sampai
dicambuk karena Putra Mahkota Abdullah yang sekarang menjadi raja
mengampuni dan melepaskannya dari penjara.

Bagi kalangan ahli hisab (astronom), bukan kali itu saja Arab Saudi
bersikap kontroversial dalam penetapan awal Ramadan, Syawal, dan
Zulhijah. Bahkan, disinyalir tiga tahun terakhir ini negeri itu telah
melakukan kesalahan dalam menentukan awal ketiga bulan tersebut lantaran
dengan mudah menerima kesaksian siapa saja asal mau disumpah.

Padahal, menurut para ahli pada tiga tahun terakhir ini, selain awal
Ramadan tahun ini, mungkin yang dilihat ketika itu adalah Merkurius.
Saat itu matahari tenggelam sehingga kedudukan planet tersebut sangat
tinggi dan bisa dilihat dengan mudah.

Itulah yang terjadi di Arab Saudi jika ada orang yang berani mengkritik
putusan MA yang berkaitan dengan penetapan awal bulan hijriah, khususnya
menyangkut tiga bulan tersebut. Baru tahun ini, meskipun tetap menolak
untuk menyertakan astronom, ulama di sana memperbolehkan penggunaan
teropong sebagai alat bantu untuk melihat hilal.

***

Jika di Arab Saudi sudah demikian kuat hegemoni negara (pemerintah)
terhadap masalah tersebut, di Indonesia justru sangat longgar.
Departemen Agama (Depag) yang sebenarnya sudah disepakati sebagai /qadhi
/(pemberi kata akhir) tidak berdaya menjalankan fungsinya jika terjadi
perselisihan. Sebab, ormas, khususnya NU dan Muhammadiyah, sewaktu-waktu
bisa mengabaikan penetapan pemerintah. Ketidakberdayaan itu berlanjut ke
aliran lain yang merasa punya pedoman sendiri. Misalnya aliran yang
selalu ikut kata Arab Saudi meskipun negeri itu sering bertindak
kontroversial.

Keadaan seperti itu terjadi karena "dosa" Depag sendiri. Pada masa lalu,
mereka sangat politis, termasuk jika menterinya berasal dari
Muhammadiyah, yakni cenderung mangakomodasi doktrin ormas Islam
tersebut. Maka, tidaklah mengherankan jika yang sering berbeda dari
pemerintah ketika itu adalah NU. Kini, setelah menterinya NU, giliran
Muhammadiyah yang kukuh dengan doktrin /wujudul hilal/ dan cenderung
berbeda dari pemerintah.

Persoalannya, mungkinkah NU pada era Orde Baru (Orba) mengklaim rukyat
jika hilal belum berwujud? Sejatinya, tidak ada rukyat jika hilal tidak
berwujud. Dari situ timbul pertanyaan, apakah NU waktu itu memang
bersikap asal beda atau Depag terkooptasi politik?

Sikap Depag pada era Orba berdampak saat ini, ketika tingkat kepercayaan
terhadap Depag tidak bulat. Termasuk, ormas yang dulu selalu sepaham
kini cenderung berbeda. Ketiadaan kesamaan sikap terhadap kriteria yang
akan dijadikan dasar penetapan awal bulan membuat sejumlah orang
bingung, terutama yang merasa bukan pengikut NU dan Muhammadiyah.
Meskipun sebenarnya, menurut saya, hal itu tidak perlu disikapi dengan
debat kusir. Sebab, masalah tersebut merupakan ranah fikih, bukan
syariat. Ketika sudah masuk ranah fikih, urusan itu berarti masuk ranah
/al-ra'y/ (pendapat berdasar nalar). Menurut Umar bin Khattab, potensi
untuk berbeda sangat besar dalam ranah /al-ra'y/ itu.

***

Yang dipegang tiap-tiap ormas dengan kukuh tersebut sebenarnya bukan
ranah syariat yang tidak bisa ditawar. Metode yang dianut masing-masing
berada dalam ranah fikih dan politik. Sehingga, jika menganggap hal itu
sebagai harga mati, sesungguhnya setiap pihak telah menaikkan level yang
menurut Umar hanyalah pendapat tersebut ke tingkat syariat.

Karena masalah itu masuk ke dalam ranah fikih dan politik, sudah
seharusnya upaya yang diserukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)
didukung semua pihak tanpa perasaan takut akan kehilangan peran.
Mestinya, menuju ke arah itu tidak sulit. Sebab, selama ini seperti
Muhammadiyah bisa menganggap di daerah yang hilalnya di bawah ufuk sama
daerah yang sudah wujud dengan argumen kesatuan wilayah hukum. Begitu
juga dengan NU yang bisa mengikutkan sejumlah daerah dengan daerah lain
yang mengklaim berhasil melihat hilal (rukyat) dengan ketinggian di
bawah 2 derajat. Jadi, semestinya menuju kebersamaan dalam menentukan
awal bulan sangat mungkin diwujudkan.

Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa metode penentuan awal bulan
adalah ranah fikih,/ /yang berarti juga ranah ijtihad. Dengan demikian,
kebenarannya bersifat relatif. Karena itu, mengingat semua aliran
mengakui bahwa fikih hanyalah hasil dugaan yang kuat di samping sifat
yang relatif pendirian mutlak-mutlakan, sudah semestinya kita mulai
mereduksi dan membuka diri untuk berdialog guna mencari titik temu
(/kalimatun sawa/') yang bisa diterima semua pihak.

Selanjutnya, percayakan kepada pemerintah (Depag) atau MUI sambil
mengawasi netralitas mereka. Sebab, hanya lewat tindakan itu, Islam
sebagai /rahmatan lil alamin/, terutama bagi pemeluknya, menemukan
momentum sebenarnya. Sudah semestinya kita mulai mereduksi bahwa
penggunaan hadis perbedaan adalah rahmat jika nilai sebuah kemaslahatan,
khususnya dalam penetapan bulan kamariah, jauh lebih tinggi dalam
kebersamaan. *(*)*

/*) Dr Mahmudi Asyari, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Share this article :

0 komentar: