BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tionghoa Muslim di Indonesia

Tionghoa Muslim di Indonesia

Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.19

Tionghoa Muslim di Indonesia
Oleh : Tomy Su

Baru-baru ini dikisahkan betapa semaraknya Ramadan di Tiongkok yang
penuh dengan kegiatan keagamaan, seperti diungkapkan Rizky Ramadhani
Zamzam, remaja putri yang empat tahun ini belajar di Shanghai (/Jawa
Pos/, 6 September 2009).

/Nah,/ informasi tersebut mengingatkan penulis pada sejarah masuknya
Islam ke negeri kita. Selama ini, masuknya Islam ke Indonesia selalu
diidentikkan dengan penyebaran agama oleh orang Arab, Persia, ataupun
Gujarat. Itu tidak keliru. Namun, sejarah tidak lengkap tanpa menyebut
Tiongkok. Jadi, Islam masuk ke Nusantara, di antaranya lewat Tiongkok,
bersama masuknya armada dari Dinasti Ming ke Palembang pada 1407, yang
dipimpin Cheng Hoo. Islamnya bermazhab Hanafi.

*Komunitas Awal*

Laksamana Cheng Hoo membentuk komunitas Tionghoa muslim di Palembang
yang sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang Tionghoa. Itulah
komunitas Tionghoa muslim pertama di Nusantara.

Dalam melaksanakan tugasnya mencari hubungan dagang dan politik,
Laksamana Cheng Hoo banyak menggunakan orang-orang Tionghoa Islam dari
Yunan. Dengan sendirinya, soal keislaman ikut terbawa. Demi keperluan
salat bagi umat Islam, di berbagai tempat didirikan masjid.

Salah satu sosok Tionghoa muslim yang patut dicatat di sini adalah Raden
Patah. Menurut dokumen berusia lebih dari 400 tahun di Kelenteng Sam Po
Kong Semarang, diperoleh kepastian bahwa Raden Patah -pendiri Kasultanan
Islam Demak yang bergelar Panembahan Djimbun- berdarah Tionghoa.

Menurut buku/ Babad Tanah Djawi/ /Prabu Brawidjaja VII/, raja Majapahit
menikahi putri saudagar Tionghoa muslim kawan baik Sang Prabu dan
memiliki anak. Selanjutnya, anak itu tidak dibesarkan di lingkungan
keraton, melainkan dibesarkan dalam komunitas Tionghoa muslim di Palembang.

Jadi, kerajaan Islam Demak dibangun komunitas Tionghoa yang menetap di
Semarang. Raden Patah atau Al Fatah menjadi Sultan Demak pertama
(1475-1518) dengan julukan Senapati Djimbun Ngabdurrahman Panembahan
Palembang Saidin Panata Agama.

Yang mengejutkan, malah ada informasi kemungkinan delapan di antara
sembilan Wali Sanga juga berdarah Tionghoa. Orang Indonesia mengenal
Wali Sanga sebagai sembilan orang sakti yang pertama menyebarkan agama
Islam di Jawa. Delapan di antara sembilan wali itu merupakan orang
Tionghoa dengan gelar Sunan. Arti "Su" dari Suhu atau dialek Fukien
Saihu, Guoyu (Mandarin) Szefu dan "nan"= selatan. Tentu saja, bisa
diperdebatkan kebenarannya.

Salah satu jejak para wali tersebut bisa dilihat di Gresik yang
merupakan kawasan muslim tertua di Jatim. Ketika itu, belum ada anggota
muslimin pribumi. Pada 1451, Bong Swee Ho yang berasal dari Champa
mendirikan pusat Islam di Ngampel untuk orang-orang Jawa dan Madura.
Bong Swee Ho selanjutnya dikenal sebagai Sunan Ngampel. Putra Bong Swee
Ho adalah Bong Ang, salah seorang Wali Sanga dengan nama Sunan Bonang.

Yang paling menonjol dalam komunitas Tionghoa muslim sejak dulu hingga
kini adalah sikap santun dan pemahaman keislaman yang moderat, artinya
tidak ekstrem. Memang etnis Tionghoa, sebagaimana ajaran Yin-Yang,
selalu lebih mengedepankan keseimbangan atau harmoni dengan siapa saja.

Sikap itu tentu senada dengan Alquran yang tidak melegitimasi sedikit
pun perilaku dan sikap yang melampaui batas, seperti "irhab", yakni
tindakan berlebihan karena dorongan agama atau ideologi, sehingga
berujung pada sikap membenarkan kekerasan atas nama agama.

Tidak heran, kita umat Islam -baik yang Tionghoa maupun bukan- terkejut
saat ada orang yang memakai bendera Islam, tetapi tega membunuh orang
lain dan dirinya dengan bom. Padahal, Islam mengajarkan bahwa membunuh
satu orang sama saja dengan membunuh seluruh manusia. Anehnya,
belakangan justru ada "tren" bom bunuh diri.

Penulis sepakat dengan Kepala Badan Litbang dan Pendidikan dan Latihan
Departemen Agama HM. Atho Mudzhar bahwa Islam sebagai rahmat bagi
semesta alam (/rahmatan lil alamin/) tidak hanya dipersempit dan
direduksi, tetapi juga disimpangkan dan bahkan dibajak oleh beberapa
orang Islam yang kerap mengklaim sebagai muslim sejati.

Akibatnya, kebenaran Islam sebagai agama yang santun dan damai tersisih
oleh pemahaman keagamaan yang membenarkan kekerasan, ektremitas atau
radikalisme.



*Islam Itu Damai*

Untuk itu, komunitas Tionghoa muslim tidak boleh tinggal diam. Bersama
umat Islam lain serta elemen anak bangsa, kita harus proaktif memberikan
pencerahan lewat beragam langkah deradikalisasi. Langkah seperti itu
harus menjadi proyek nasional mengingat maraknya terorisme. Para
agamawan tidak perlu menunggu diajak pemerintah karena kita harus
proaktif bersinergi dengan berbagai kalangan untuk upaya deradikalisasi.

Deradikalisasi adalah upaya internal setiap penganut agama untuk masuk
ke dalam dan setiap muslim yang meyakini radikalisme atau ekstremitas
harus diajak dengan cara-cara yang santun untuk kembali bersikap
mo­derat, sebagaimana /mainstream/ umat Islam di dunia. Semakin banyak
yang terlibat dalam proyek deradikalisasi itu, seperti para orang tua
atau pendidik di sekolah atau lembaga pendidikan, akan semakin baik.

Ramadan sebagai bulan penuh berkah bisa kita jadikan momentum
menunjukkan bahwa Islam itu /rahmatan lil alamin./ Islam itu damai
(/aslama/) dan orang-orang lain harus merasakan rahmat dan damai
tersebut. (*)

/*) Tomy Su, Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=90099
Share this article :

0 komentar: