BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Liberalisasi Undang-Undang Listrik

Liberalisasi Undang-Undang Listrik

Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.45

Liberalisasi Undang-Undang Listrik
Oleh: Indah Dwi Qurbani

*SEPERTI* diduga sebelumnya, DPR akhirnya mengesahkan revisi UU No 20
Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan pada 8 September lalu. Saat itu, 25
anggota DPR yang hadir kompak menyatakan setuju atas RUU
Ketenagalistrikan. Dengan demikian, UU No 15 Tahun 1985 dinyatakan tidak
berlaku lagi. (/JP/, 9/9/2009)

Sebelumnya, pemerintah pernah mengesahkan UU Ketenagalistrikan No 20
Tahun 2002. Tetapi, UU itu dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 21
Desember 2004. Sembilan hakim konstitusi dengan jelas menyatakan bahwa
UU No 20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum karena paradigma yang mendasari
bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945 ayat (1), (2), (3), dan (4), serta
penjelasan pasal 33.

Dasar hukum itulah yang membuat segala hal terkait kebijakan
perundang-undangan atau kebijakan di bawahnya, jika menyangkut usaha
untuk melanjutkan semangat untuk meliberalisasi, memprivatisasi, atau
mengomersialisasi sektor ketenagalistrikan, harus dinyatakan
bertentangan dengan konstitusi.

Namun, yang disahkan DPR saat ini tak jauh berbeda. Tengok beberapa
pasal di dalamnya, seperti pasal 10, 11, 12, dan 13 yang menyangkut
pemisahan usaha penyediaan tenaga listrik menjadi usaha pembangkitan,
transmisi, distribusi, dan penjualan. Klausul itu praktis menjadikan
listrik sebagai barang jualan, yang jauh dari tujuan dasarnya, untuk
memenuhi kebutuhan energi bagi warga negaranya.

Bukan hanya itu. Pengesahan UU Kelistrikan tersebut juga makin
memuluskan jalan pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL).
Bagaimana tidak, pemerintah sudah berancang-ancang untuk menjual
pembangkit listrik Jawa Bali (PJB) kepada pihak asing. Jika itu terjadi,
TDL akan naik sampai lima kali lipat. Belum lagi penarikan subsidi
listrik oleh pemerintah. Jika pembangkit listrik dijual kepada asing,
otomatis subsidi yang saat ini diterima masyarakat, yang hanya membayar
Rp 650 per KwH (kilowatt per jam) dari biaya produksi listrik Rp 2.600
per KwH tak bisa lagi dinikmati. Pihak investor dipastikan menjualnya
sesuai mekanisme pasar yang berada di atas biaya produksi.

*Masalah Besar*

Dilihat dari substansi revisi, ada dua hal yang bisa menjadi masalah
besar di kemudian hari. /Pertama,/ soal regionalisasi tarif listrik.
Jangan heran jika pada tahun mendatang tarif listrik di satu daerah
dengan yang lain bisa berbeda. Undang-Undang Ketenagalistrikan yang
disahkan DPR memberikan wewenang penuh kepada pemerintah daerah (pemda)
menetapkan harga listrik.

Sekalipun prosedur yang ditetapkan mengharuskan pemda meminta restu
terlebih dahulu kepada DPR dan tarif listrik yang diputuskan juga harus
mengacu pada tarif yang ditetapkan pemerintah pusat, tak ada jaminan
model tersebut bakal menjadi lebih baik.

Jauh sebelum RUU Ketenagalistrikan disahkan, Pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Barat (NTB) menegaskan, jika model regionalisasi tarif
ditetapkan, daerah masih membutuhkan subsidi dari pusat.

Regionalisasi tarif listrik hanya bisa diimplementasikan di
daerah-daerah berbasis industri dan kebanyakan warganya masuk kelas
menegah atas. Misalnya, Kalimantan Timur, Batam, dan Kepulauan Riau.
Sebab, pelanggan mesti membayar lebih mahal.

/Kedua/, liberalisasi ketengalistrikan. UU Ketenagalistrikan (UUK) yang
baru membolehkan swasta menguasai pembangkit sekaligus jaringan
distribusi listrik untuk kepentingan umum. Itu berarti, UU
Ketenagalistrikan yang baru menghapus monopoli PLN alias liberalisasi
listrik. Dalam konsideran menimbang disebutkan bahwa perubahan UUK
didasari adanya ketidaksesuaian Undang-Undang No 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan dengan tuntutan perkembangan keadaan dan perubahan
kehidupan masyarakat.

Jika menggunakan logika berpikir yang selama ini dianut pemerintah,
sangat mudah memahami bahwa yang dimaksud adalah tuntutan untuk
melaksanakan agenda-agenda liberalisasi ekonomi sesuai dengan arahan
lembaga-lembaga keuangan internasional pemberi utang (IMF, World Bank,
ADB), perjanjian-perjanjian perdagangan bebas dengan WTO, dan perjanjian
perdagangan bebas kawasan (/free trade agreement/).

Liberalisasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia berpotensi merugikan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Kebijakan pemisahan usaha penyediaan
tenaga listrik dengan sistem /unbundling vertikal/ yang tercantum dalam
pasal 10, 11, 12, dan 13 RUUK yang meliputi usaha pembangkitan,
transmisi, distribusi, dan penjualan merupakan upaya privatisasi
pengusahaan tenaga listrik dan telah menjadikan tenaga listrik sebagai
komoditas pasar, yang berarti tidak lagi memberikan proteksi kepada
mayoritas rakyat yang belum mampu menikmati listrik.

Demikian halnya dengan agenda /unbundling horizontal/ yang tercantum
dalam pasal 3 ayat (1), (2), dan (3) diberlakukan dengan pemberian
kewenangan pengelolaan kelistrikan kepada pemda. Dalam jangka panjang,
pemda dapat dipastikan akan menuai kesulitan dalam pengelolaan
kelistrikan. Terkecuali bagi sebagian kecil pemda yang mampu.

Dengan disahkannya UU Ketenagalistrikan, sekali lagi, kepentingan negara
dikalahkan kepentingan pemodal dan dikte lembaga keungan internasional.
Dan, sayangnya, para pengurus negara justru turut menjadi pelayan
praktik penjajahan ekonomi di negeri ini.

Paranoid berlebihan kepada lembaga keuangan asing yang kerap
dipertontonkan pengurus negeri ini nyaris tanpa alasan. Presiden
Venezuela Hugo Chavez setidaknya telah membuktikan hal itu. Segera
setelah berkuasa pada 1999, Chavez telah membayar seluruh utang
Venezuela kepada IMF. Belum lama ini Venezuela juga telah melunasi
utangnya kepada Bank Dunia lima tahun lebih cepat daripada jadwal.
Menyuntikkan dana tak berbunga kepada Argentina dan Bolivia melalui
lembaga yang disebut Compensatory Fund for Structural Convergence.

Karena itu, bila pemerintah RI kesulitan mengelola PLN secara mandiri,
ada baiknya merapat ke Venezuela, meminta dukungan dana tak berbunga,
untuk kemudian melepaskan diri dari cengkeraman ADB, IMF, dan Bank
Dunia, daripada menyerahkan pengusahaan listrik negara kepada mekanisme
pasar.(*)

* /*). Indah Dwi Qurbani,/ * / mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum Unair/

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=89906
Share this article :

0 komentar: