BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » *Antara "Fraud" dan Kekalutan dalam Kasus Century*

*Antara "Fraud" dan Kekalutan dalam Kasus Century*

Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.43

*Antara "Fraud" dan Kekalutan dalam Kasus Century*



Oleh: Kwik Kian Gie, Mantan Menko Perekonomian

Apa yang digambarkan dalam tulisan ini atas dasar pemberitaan,
pernyataan dan analisis dari sekian banyaknya orang yang sudah dimuat di
berbagai media massa. Kesemuanya itu dirangkai dalam beberapa gambaran
dan pertanyaan.

Dengan tidak adanya blanket guarantee di Indonesia, tetapi jaminan
maksimum Rp 2 miliar per rekening, menaruh uang dalam jumlah besar,
terutama di bank kecil sangat berbahaya. Tetapi, Bank Century yang
begitu kecil dimasuki dana simpanan dalam jumlah sangat besar oleh
beberapa deposan besar.

Mengapa berani menempatkan uangnya pada bank yang demikian kecil? Karena
ada maksud tertentu yang tidak sesuai dengan praktik bisnis yang wajar
atau karena ada motif politik tertentu. Mereka merasa aman, karena
deposan mempunyai hubungan khusus petinggi negeri ini.

Dugaan mereka ternyata benar. Century rusak karena uang simpanan para
deposan besar dicuri atau digelapkan para pemegang sahamnya sendiri.
Century disuntik oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) empat kali hingga
sejumlah Rp 6,76 triliun. Dari jumlah ini Rp 3,8 triliun dipakai untuk
menutupi penarikan deposan besar (SP, 31 Agustus 2009).

Media lain menyebutkan, Direktur BI bidang Pengawasan Bank mengungkapkan
bahwa, "Rp 5,7 triliun dari Rp 9,63 triliun ditarik dari Century antara
November dan Desember 2009."

Bukankah ini sudah bukti bahwa penyuntikan dana ke Century tidak untuk
menghindari kerusakan perbankan dan perekonomian yang sudah "sistemik",
tetapi untuk menelikung peraturan jaminan maksimum yang hanya Rp 2
miliar per rekening. Tujuannya, supaya deposan besar tetap bisa menarik
depositonya dalam jumlah besar.


Bagaimana Seharusnya?

Kalau motifnya murni untuk menyelamatkan bank dan perekonomian nasional
dengan cara menghindari efek domino, tindakan pemerintah bisa sebagai
berikut, semua tagihan dari bank dibayar sepenuhnya, semua tagihan
lainnya dibayar sampai jumlah maksimum Rp 2 miliar sesuai peraturan yang
berlaku, selanjutnya Bank Century dilikuidasi. Tolong dibantah mengapa
kebijakan seperti ini tidak bisa dilakukan dan tidak dilakukan?

Pada satu saat yang krusial, Wapres Jusuf Kalla (JK), yang dalam kasus
Century ini bertindak sebagai Presiden ad interim (a.i.), pada 25
November 2008 dilapori Gubernur BI Boediono dan Menteri Keuangan
merangkap Plt Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati tentang
penyuntikan dana ke Century. Dari pembicaraan itu JK langsung
menyimpulkan, rusaknya Century karena perampokan uang yang ada di bank
itu oleh para pemegang sahamnya sendiri.

Maka, JK langsung mengatakan penyuntikan dana yang sudah dilakukan itu
salah kaprah. JK justru minta Boediono melaporkan kepada Polri dan
menangkap pemegang saham Century, yakni Robert Tantular. Boediono
menolak dengan alasan tidak mempunyai landasan hukum untuk itu.

Sebagai Presiden a.i., JK langsung memerintahkan Polri untuk menangkap
Robert dan memprosesnya lebih lanjut. Ternyata, baik Polri maupun
Kejaksaan menemukan dasar hukum yang kuat untuk menuntutnya di
pengadilan. Perkaranya kini sedang disidangkan, dengan tuntutan hukuman
penjara 8 tahun dan denda Rp 50 miliar.


Dari rangkaian fakta tersebut, kita layak mempertanyakan bagaimana
Boediono, yang kini menjadi wapres terpilih mempertanggungjawabkan kasus
itu? Bolehkah Boediono menolak perintah Presiden walaupun BI independen?
Bukankah Gubernur BI yang dipilih oleh DPR hanya mungkin dari
calon-calon yang diajukan oleh Presiden? Bukankah kewenangan JK pada 25
November 2008 adalah sebagai Presiden a.i., karena Presiden SBY sedang
berada di luar negeri? Berbagai pertanyaan tersebut, adalah menyangkut
aspek yuridis dan tata kelola pemerintahan.

Berikut ada sejumlah pertanyaan kritis seputar kasus Bank Century.

Apakah bank bekerja pada Minggu?

Dari kronologi yang disampaikan, penyuntikan dana dilakukan pada 23
November 2008, yang adalah Hari Minggu. Bagaimana prosesnya secara
teknik perbankan? Apakah demikian mendesak kalau motifnya penyelamatan
perbankan dan perekonomian nasional? Bukankah urgensinya karena deposan
besar harus bisa secepatnya menarik uangnya yang tidak dibatasi Rp 2
miliar per rekening?


Mengapa Burhanuddin Abdullah dipenjara?

Burhanuddin Abdullah ditangkap, diadili, dan divonis 6 tahun penjara.
Apa sebabnya? Karena selaku Gubernur BI, dia membubuhkan tanda tangannya
untuk pencairan dana Rp 100 miliar yang dianggap koruptif. Satu rupiah
pun tidak ada yang dinikmatinya. Maka paling-paling dia dianggap
gegabah, bodoh, atau solider yang kebablasan.

Kalaupun tidak ada motif kecurangan material atau finansial, begitu
banyak tanda tangan yang ada kaitannya dengan suntikan dana Bank Century
yang mencapai Rp 6,7 triliun itu, tentu jauh melebihi kasus yang menimpa
Burhanuddin Abdullah dan sejumlah koleganya.


Apakah benar negara tidak dirugikan?

Dikatakan bahwa keuangan negara tidak dirugikan karena dana talangan
Century tidak berasal dari APBN, tetapi dari Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Bukankah uang Rp 100 miliar yang dijadikan landasan penghukuman
Burhanuddin Abdullah dan kawan-kawannya juga tidak dari APBN? Mengapa
pencairan uang yang sudah dipisahkan dari BI untuk dimasukkan ke dalam
sebuah yayasan, pelakunya dihukum? Siapa yang dianggap dirugikan? Apakah
tidak bisa dianalogikan pengucuran bailout dari LPS ke Century, dengan
kasus yang menimpa Burhanuddin, sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam
kasus Century juga harus dimintai pertanggungjawaban hukum?


Huruf-huruf harafiah versus substansi.

Menkeu Sri Mulyani berpendapat, tidak peduli apa sebab kerusakan sebuah
bank, kalau sudah dianggap berdampak sistemik harus disuntik dana
secukupnya (yang notabene dipakai untuk membayar deposan besar supaya
bisa mendapatkan kembali uangnya secara utuh, karena sudah dicuri
pemegang saham Century).

Anggota DPR Dradjad Wibowo berpendapat, bank yang kolaps karena dikelola
secara sembrono, dan dimanfaatkan pemegang saham secara tidak wajar dan
terindikasi penipuan, tidak perlu diselamatkan dengan alasan apapun.

Sedangkan mantan Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menyesalkan lembaga
negara yang seharusnya mengawasi dan mensupervisi perbankan, malah
saling lempar tanggung jawab. Persoalan ini bukan hanya menyangkut
penyelamatan sebuah bank atas pertimbangan-pertimbangan yang bersifat
teknis, tetapi sudah menjadi kebijakan pengelolaan aset negara.

Lantas, mana yang relevan bagi pengaturan negara? Main pokrol dengan
tafsiran harafiah semata, ataukah menafsirkan segala sesuatunya atas
dasar substansi dan fakta?


Gagasan blanket guarantee yang ditolak.

Sebelum kerusakan Century, ada gagasan supaya pemerintah memberikan
penjaminan secara penuh (blanket guarantee) kepada semua deposan di
Indonesia. Kalau tidak, masyarakat tidak percaya lagi kepada bank-bank
di Indonesia, di tengah guncangan lembaga keuangan di seluruh dunia
akibat krisis finansial di AS kala itu. Usul penjaminan penuh itu datang
dari Boediono dan Sri Mulyani. Sebaliknya, JK menentang sangat keras.
Akhirnya terjadi kompromi, penjaminan hanya sebatas Rp 2 miliar per
rekening.


Benarkah bukan "domain" Presiden?

Mensesneg Hatta Rajasa mengatakan, Presiden tidak mau mencampuri urusan
Century, karena urusan ini tidak termasuk di dalam domain-nya. Apa ada
urusan dalam sebuah negara yang bukan monarki konstitusional, yang
republik, dan lebih-lebih lagi yang sistemnya presidensial, seorang
presiden tidak boleh ikut campur dalam urusan dan persoalan yang ada
dalam domain pejabat lain?

Apakah ada penyelenggaraan negara yang tidak chaotic (semrawut) kalau
pemisahan ke dalam yudikatif, eksekutif, dan legislatif ditafsirkan
secara mutlak total tanpa adanya bidang-bidang singgungannya?

Inilah pertanyaan-pertanyaan kritis, untuk memberi perspektif yang lebih
mendalam di dalam kita menyikapi dan mengkritisi kasus Bank Century yang
terus bergulir hebat. *

http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=10316
Share this article :

0 komentar: