BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Ke Mana Rakyat Mengadu

Ke Mana Rakyat Mengadu

Written By gusdurian on Minggu, 13 September 2009 | 02.47

Ke Mana Rakyat Mengadu

*Oleh Toeti Adhitama Anggota Dewan Redaksi Media Group*

`G OLKAR harus menjadi tempat rakyat mengadu. Inilah salah satu posisi
tawar yang harus diperankan Golkar ke depan.' Pendapat itu ditawarkan
pengamat politik Eep Saefulloh Fatah dalam diskusi tentang Masa Depan
Golkar di Nusa Dua, Bali, Minggu lalu. Di tengah tersiarnya wacana siapa
yang patut memimpin Golkar, pendapat itu menjadi masukan menarik.
Sebenarnya, saran itu jangan hanya untuk Golkar tetapi hendaknya menjadi
perhatian semua partai politik. Sejatinya, menjadi tempat mengadu rakyat
adalah peran wajib partai politik. Dengan kata lain, yang juga sering
disampaikan lewat kolom ini, peran partai politik adalah perantara
antara rakyat dan pemerintah.

Faktanya, partai-partai politik terkesan melalaikan peran tersebut. Dia
mengalami metamorfosis menjadi satuan yang mengedepankan visi dan misi
kelompok partai, sekalipun selalu menyebutnya atas nama kepentingan
rakyat. Partaipartai politik adakalanya bahkan disebut menjadi kendaraan
pencari kekuasaan. Ideologinya kabur. Dewan Perwakilan Rakyat
(2004-2009), misalnya, yakni kumpulan wakil-wakil partai politik yang
memerankan wakil rakyat, menurut jajak pendapat Kompas tidak peduli
terhadap aspirasi rakyat. Yang berpendapat demikian 57,2%. Mereka juga
tidak bebas dari KKN. Demikian pendapat 76,1% responden yang ditanya.
Pasti tidak seluruh elite politik bersikap demikian. Masih banyak yang
mengemban idealisme. Para pengemban idealisme itulah yang patut memimpin
partai.

Di luar tantangan ke depan, tentu rakyat menginginkan perhatian
partai-partai politik.
Banyak yang dia ingin adukan. Antara lain yang gawat adalah masalah
korupsi. Sekalipun pemerintahan sekarang tampak all-out dalam upaya
memberantasnya, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM hanya memberinya
nilai 5,5.
Korupsi ibarat rumput teki. Sekalipun selalu dicabuti, umbinya
terus-menerus menumbuhkan tunas-tunas baru yang merajalela ke mana-mana.
Dari koruptor teri sampai yang kakap memakan korban tanpa pandang bulu.
Sementara itu lembaga mana pun kelihatan tidak berdaya mengatasi.
Lambannya proses RUU Tipikor maupun pemanggilan jajaran KPK oleh polisi,
dan banyaknya tokoh yang tidak henti-hentinya disebut-sebut
berkemungkinan tersangkut perkara itu menegaskan ketidakberdayaan itu.
Sering ada pembuktian si pagar ikut makan tanaman.

Profesi tertua di dunia Di samping pelacuran, korupsi bisa digolongkan
salah satu profesi penyelewengan tertua di dunia.
Dia sama sekali bukan monopoli Indonesia, walaupun negara ini dianggap
salah satu yang terkorup di dunia. Korupsi yang meliputi sogokan,
pemerasan, dan nepotisme dikenal semua masyarakat.
Hanya manusia primitif yang tidak mengenalnya.
Namun taraf intensitasnya berbeda-beda. Berbagai dalih selalu dicari
agar korupsi tidak terlalu dikutuk. Bahkan dalam buku The Politics of
Scarcity (1962), Myron Weiner mengatakan, dengan memberi sogokan,
pengusaha dapat lancar menjalankan usahanya. Namun Syed Hussein Alatas,
penulis The Sociology of Corruption (1968) dan The Problem of Corruption
(1986), menyatakan korupsi bisa memperlancar hanya pada tahap awal
karena lingkungannya masih terbatas. Akhirnya yang terbatas itu akan
merongrong banyak pihak karena pebisnis akan membebankan uang lelah
kepada konsumen dan selanjutnya akan terjadi efek domino yang merugikan.

Dalam artikel di kolom Pendidikan hari Senin 7 September 2009 di harian
ini, yang mengupas soal bagaimana kalangan organisasi agama menyikapi
korupsi, Direktur Eksekutif INSEP Fuad Fachruddin mempersoalkan mengapa
organisasi-organisasi Islam, termasuk partaipartai politiknya, tidak
mengambil sikap tegas mengenai masalah ini. RUU Tipikor, misalnya,
seakan tidak menuntut perhatian. Berbeda halnya ketika menyikapi RUU
Pornografi dan Pornoaksi. Sikap tegas antara lain mereka tunjukkan
dengan pengerahan massa besar-besaran.

Mungkin jawabannya, karena korupsi di kita sudah agak lama membudaya.
Lebih dari seperempat abad yang lalu pernah ditanyakan kepada Panglima
Komando Pengendalian Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) Sudomo,
bukankah korupsi mulai membudaya? Gejala-gejalanya jelas. Sinyalemen itu
dibantah Pangkopkamtib. Tak lama setelah itu, begawan ekonomi Prof Dr
Soemitro Djojohadikusumo malahan mengatakan, APBD mengalami kebocoran 30%.

Itu pun dibantah oleh seorang anggota kabinet.

"Dengan kebocoran sebesar itu, tidak mungkin pembangunan bisa berjalan
lancar," katanya.

Seperti dinyatakan dalam artikel Fuad Fach ruddin, ajaran Islam jelas
menentang semua tindakan koruptif. Sebagai misal, tokoh terkenal dalam
ajaran Islam, Imam Ahmad Ibnu Hanbal (780-855), menentang keras korupsi
dan penya lahgunaan kekuasaan. Dia sering dianiaya dan dipenjara oleh
penguasa di zamannya. Ia me mandang rendah jabatan hakim yang sering
menjadi sasaran sogokan. Ia juga menolak hadi ah raja dan malahan pernah
memutus hubung annya dengan putra-putranya karena mereka mau menerima
hadiah dari pengua sa. Ia menyadari, batas antara hadiah dan sogokan
bisa kabur. Tokoh Islam lain, Abdul Rahman Ibnu Khaldun (1332 1406)
bukan hanya ahli sejarah dan kemasyarakatan, melainkan juga dikenal
sebagai penentang korupsi. Walaupun beberapa kali menduduki jabatan
penting, dia pernah meringkuk di penjara karena keika menjabat sebagai
hakim dia berusaha menghapuskan korupsi. Dia gagal, malahan dipecat dari
jabatannya. Tokoh masyarakat itu berkesimpulan, ko rupsi timbul karena
hasrat hidup bermewah mewah.

Dari banyak literatur tentang korupsi dapat disimpulkan, korupsi marak
umumnya karena lemahnya hukum, pengawasan, dan akuntabili tas. Namun
yang paling buruk adalah kelemahan moral. Kesempatan berubah ke nasib
yang lebih baik tidak akan memengaruhi orang yang ber moral kuat, tetapi
akan banyak berpengaruh pada orang yang moralnya lemah.

Pengawasan tanggung jawab siapa?
Bila partai-partai politik menjadi tempat me ngadu rakyat, tentunya
diharapkan mereka dan kepanjangan tangan mereka di pemerintahan-
eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif--ikut mengawasi dan menghindari
kemungkinan rongrongan korupsi terhadap kehidupan bangsa dan negara.
Seberapa jauh keberhasilan upaya seperti itu tergantung pada kemauan
politik yang berkuasa. Sebagai contoh, ketika Presiden Prancis Giscard
d'Estaing berkuasa (1974-1981), kabarnya penulis buku tentang dirinya,
Roger Delpey, dipenjarakan tujuh bulan karena dituduh berkomplot dengan
orang-orang asing merugikan kepentingan negara. Yang penulis lakukan
adalah menceritakan hadiah berlian bernilai jutaan dolar dari kaisar
Bokassa (19771979) di Afrika Tengah kepada Presiden Prancis itu. "Bila
kami terlalu dekat pada intinya mereka akan mengatakan, kami telah
mengungkap rahasia keamanan negara," kata seorang wartawan mingguan
Nouvel Econonmiste.

Rakyat berharap banyak dari partai-partai politik karena tidak bisa
berharap banyak dari birokrasi seperti adanya sekarang. Zaman sekarang
kalau orang berbicara tentang birokrasi, yang terbayang adalah suatu
organisasi besar, kaku, resmi, berbelit-belit, dan tidak efisien. Pada
awalnya konsep birokrasi tentu bukan demikian.
Birokrasi modern tumbuh seiring tumbuhnya sikap modern masyarakat
industri. Kata sosiolog Jerman Max Weber (1864-1920), organisasi
birokratik ini mulai penting sejak abad 20. Ini merupakan sebab dan
akibat pemikiran formal kebudayaan Barat yang menganggapnya cara paling
efisien untuk mengorganisasi sejumlah besar orang untuk tugas-tugas yang
kompleks.
Tidak semua strukturnya ideal. Dalam struktur lama pra-modern, seperti
yang ada dalam zaman feodalisme Barat di abad pertengahan, jabatan
birokrasi diberikan bukan atas dasar keterampilan atau kecakapan, tetapi
atas dasar nepotisme. Yang dipentingkan sosok orangnya.

Sekarang, untuk menjaga jangan sampai birokrasi mengarah kepada struktur
lama, diperlukan aturan yang tegas dan tertulis, yang dipatuhi semua
pihak. Weber mensyaratkan agar para kandidat itu dipilih atas dasar
kemampuan teknis seperti yang dibuktikan dalam ijazah atau lewat ujian
(mungkin di antaranya berupa fit and proper test?).
Semua hendaknya menjalankan fungsi tanpa pertimbangan kepentingan pribadi.

Weber terbukti terlalu ideal. Sejak awalnya, konsep birokrasi modern
sudah mewarisi sejumlah unsur dari konsep lama. Ini menjelaskan mengapa
banyak BUMN di mana-mana--bukan hanya di Indonesia--mengalami kegagalan
karena urusan bisnis dibebankan pada birokrat.
Kesadaran akan perlunya swastanisasi ada di mana-mana. Kita sendiri
selalu tarik-ulur mengenai hal ini karena pertimbangan kepentingan
nasional dan/atau kepentingan orang banyak di satu pihak, dan
kepentingan efisiensi di pihak lain. Rasanya semua sah-sah saja, asalkan
pertimbangannya untuk kemaslahatan bersama, bukan untuk keuntungan
pribadi atau kelompok. Dalam hal-hal seperti ini pun partai-partai
politik dituntut bersikap jeli.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/09/11/ArticleHtmls/11_09_2009_008_001.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: