BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » »

Written By gusdurian on Rabu, 09 September 2009 | 09.18

*Editorial*


Mempersoalkan Aksi Bakar Buku

Membakar buku jelas tidak dibenarkan, apalagi buku yang berisi
pemikiran. Inilah aksi yang dilakukan Front Anti Komunis--terdiri atas
berbagai organisasi masyarakat dan para ulama di Jawa Timur--di Surabaya
saat mendemo kantor pusat /Jawa Pos/. Mereka memprotes tulisan bos media
ini, Dahlan Iskan, mengenai pelaku sejarah bernama Soemarsono. Mereka
membakar buku Soemarsono yang baru terbit: /Revolusi Agustus/.

Soemarsono adalah Gubernur Militer yang dibentuk PKI pada peristiwa
Madiun 1948. Kini ia berusia 88 tahun dan tinggal di Australia.
Soemarsono pernah terlibat perang di Surabaya 1945. Dalam bukunya, ia
memberikan kesaksian bahwa dalam pertempuran Surabaya, sebagai Ketua
Pemoeda Repoeblik Indonesia, dialah yang memberi Bung Tomo mandat
melawan Belanda. Adapun mengenai tragedi Madiun 1948, ia menjelaskan,
peristiwa itu bukan kudeta kaum kiri sebagaimana selama ini dicapkan.

Di era demokrasi ini, semua kesaksian sejarah harus diterima dengan
tangan terbuka. Fakta-fakta baru akan membuat generasi sekarang bisa
melihat masa lalu secara berimbang. Menurut Soemarsono, bergeraknya kaum
kiri di Madiun saat itu sebenarnya dipicu oleh sebuah dokumen rahasia
(/red drive proposal/) yang disusun oleh Hatta bersama wakil-wakil dari
Amerika Serikat di Sarangan, Magetan, untuk menghabisi kekuatan kiri di
Indonesia.

Boleh saja orang ragu akan informasi Soemarsono. Namun, janganlah
menanggapinya dengan mengerahkan massa dan membakar buku. Kesaksian
versi Soemarsono seharusnya dilawan dengan sanggahan intelektual.
Kebijakan /Jawa Pos/ memberi ruang jawab bagi para sejarawan yang tak
setuju terhadap versi Soemarsono tentang peran Bung Tomo dan "cuci
tangan" kasus Madiun harus dimanfaatkan.

Munculnya dua perspektif sejarah justru mendidik. Kedewasaan sebuah
bangsa ditentukan oleh keberaniannya mengakui paradoks masa lalu.
Apalagi sesungguhnya memang banyak poin menarik dari kesaksian
Soemarsono. Ia, misalnya, berpendapat bahwa ketegangan di Madiun saat
itu sebenarnya bisa diselesaikan secara damai. Saat itu Panglima Besar
Jenderal Soedirman mengirim utusan resmi bernama Soeharto (kelak jadi
Presiden di era Orde Baru) untuk menginvestigasi Madiun. Menurut
Soemarsono, dialah yang mengajak Soeharto berkeliling menyaksikan bahwa
Madiun aman.

Hanya, diduga laporan itu tidak pernah diberikan Soeharto kepada
Soedirman, sehingga pemerintah Soekarno-Hatta memutuskan adanya operasi
militer. Peran Soeharto ini, menurut editor buku /Revolusi Agustus/,
menarik untuk "diusut" karena sepertinya dia seperti "selalu kebetulan"
muncul dalam berbagai krisis politik yang menghancurkan kaum kiri.

Dalam sejarah selalu muncul hal yang tak terduga. Kemauan menerima
dengan kepala dingin bahwa masa lalu penuh sisi-sisi hitam dan putih,
baik dari pahlawan maupun mereka yang disingkirkan, akan memperkaya
batin bangsa. Tindakan marah, apalagi dengan pembakaran buku, justru
jauh dari ikhtiar pencarian sejarah yang benar.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/09/05/Editorial/index.html
Share this article :

0 komentar: