BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Zero Terror, Mungkinkah?

Zero Terror, Mungkinkah?

Written By gusdurian on Senin, 10 Agustus 2009 | 10.01

Zero Terror, Mungkinkah?

Ade Febransyah
# Pengajar di Prasetiya Mulya Business School dan Penulis buku
Menikmati Ketidakpastian

Melihat serangkaian peristiwa pengeboman yang terjadi di Tanah Air
sejak 2000 menegaskan bahwa kita masih tidak berdaya menghadapi man-
made disaster yang satu ini. Bom bunuh diri memenuhi karakteristik
angsa hitam, suatu peristiwa outlier yang mustahil dilakukan oleh
orang kebanyakan, berdampak luar biasa, dan kita berupaya
merasionalisasinya.

Mengingat kehadirannya yang tak terduga, masihkah ada oportunitas
untuk mencegahnya? Mungkinkah dibangun suatu early warning system
untuk mendeteksi kehadirannya? Menihilkannya mungkin sebuah elusive
goal. Negara adidaya seperti Amerika Serikat saja kecolongan, apalagi
kita. Mereka yang selama ini terjebak pada praktek face and appearance
profiling akan teperdaya. Kenyataannya, sistem pendeteksi konvensional
tidak lagi mampu mengenali sang aktor berikut peralatannya.

Jebakan kebolehjadian Posterior
Berbagai liputan tentang pelaku aksi teroris selalu menyampaikan
tipikal karakteristik umum pelakunya, di antaranya: (1) berkelakuan
baik, (2) cenderung pendiam, (3) taat beragama, (4) cinta keluarga.
Berdasarkan populasi dengan karakteristik di atas, kita bisa tuliskan
kebolehjadian posterior (posterior probability), P(T|K) yang
menjelaskan kebolehjadian terjadinya aksi teror, T jika diberikan
kebolehjadian hadirnya orang-orang berkarakteristik di atas, K.
Melihat kenyataan karakteristik umum tersebut di atas ada di sekitar
kita dan memang melekat pada pelaku teror, maka P(T|K) selalu positif,
seberapa pun kecilnya.

Sekarang tengoklah apa yang terjadi jika K adalah kebolehjadian
hadirnya orang-orang berkarakteristik berikut: (1) penjahat, (2)
pemabuk, (3) perampok dan seterusnya. Yang mengejutkan adalah P(T|K)-
nya adalah nol. Apa yang salah dengan dua kebolehjadian di atas? Kita
justru mencurigai orang-orang berperilaku baik sebagai pelaku teror.
Di sinilah diperlukan kehatian-hatian ketika ingin mendeteksi
peristiwa teror berdasarkan kebolehjadian posterior.

Untuk mengatasinya, karakteristik pemicu teror harus diubah. Sekarang
tetapkan karakteristik pelaku teror adalah (1) memiliki kebencian, (2)
berpandangan sempit, (3) tidak menghargai kehidupan. Contoh ketiga
karakteristik ini cukup menjelaskan alasan melakukan bom bunuh diri.
Di dalam diri pelaku dipenuhi oleh rasa kebencian yang mendalam;
berpandangan sempit dalam berideologi. Sehingga untuk meniadakan
kebolehjadian P(T|K) yang perlu dilakukan adalah bagaimana menciptakan
kondisi yang mampu meredam karakteristik di atas. Tidak mudah memang.
Tapi coba bayangkan jika masyarakat di sekitar kita adalah para
pengapresiasi kehidupan, menghargai keragaman, sepertinya ancaman
teror akan padam dengan sendirinya.

Peristiwa teror bom bunuh diri adalah suatu outlier. Memahaminya tidak
bisa dengan menggunakan kerangka kenormalan. Tidak akan ada orang
normal dalam kriteria kenormalan yang mau melakukannya. Mendeteksinya
tidak bisa hanya menggunakan kriteria yang menyimpulkan mereka adalah
bukanlah kita. Membangun sistem pendeteksi dini lebih merupakan
qualifier. Untuk menghadapinya diperlukan pendekatan sistem; mengenali
sistem pendestruksi nilai yang dijalankan oleh para aktor di balik
kejadian teror.

Pendestruksi nilai
Aksi terorisme dalam bentuk apa pun dapat dilihat sebagai suatu proses
transformasi yang mendestruksi nilai. Tidak ada satu pun dari kita
yang bersedia menjadi pengkonsumsi output yang dihasilkan. Berbeda
dengan proses pertambahan nilai yang dijalankan pelaku bisnis:
menghasilkan sesuatu dari yang tidak bernilai menjadi suatu yang
bernilai di mata konsumen.

Meskipun demikian, seperti halnya proses pertambahan nilai, proses
pendestruksi nilai yang dilakukan oleh teroris juga melibatkan input-
proses-output. Input dapat berupa sesuatu yang ditransformasi dan yang
diperlukan untuk mentransformasi. Dalam aksi bom bunuh diri, input
yang ditransformasi meliputi segala bahan, item, komponen yang
diperlukan untuk merakit bom. Untuk mentransformasikan input tersebut
diperlukan ahli pembuat bom, fasilitas, dan segala peralatan yang
menunjang. Proses transformasi baru berlangsung jika aktor pendesain
teror menjalankan tahapan desain, perencanaan dan pengendalian, serta
perbaikan. Tahapan desain membicarakan lokasi perakitan, kapasitas
bom, jejaring pasokan, teknologi bom. Setelah tahapan desain
disiapkan, berikutnya pelaku teror merencanakan kapan waktu yang tepat
untuk melakukan aksinya, membeli dan mengorder segala keperluannya.
Berbeda dengan proses pertambahan nilai yang melibatkan pengendalian,
dalam arti melakukan pengendalian kualitas selagi proses transformasi
berlangsung, pelaku teror tidak melakukannya. Kualitas pengeboman
diketahui setelah aksi teror. Pemimpin teroris akan mengetahui baik-
tidaknya kualitas pengeboman setelah kejadian. Jika dianggap tidak
baik, mereka akan melakukan proses perbaikan kualitas untuk aksi
berikutnya.

Sebagai sebuah proses transformasi, keberhasilannya akan ditentukan
oleh seberapa besar kemampuannya untuk mengatasi berbagai gangguan
(noises) dalam menghasilkan output yang diinginkan. Sementara dalam
proses pertambahan nilai kita berupaya meminimalkan terjadinya
gangguan, sebaliknya menghadapi proses pendestruksi nilai ini kita
justru harus menghadirkan banyak gangguan dan ketidaknyamanan kepada
teroris. Untuk menggagalkan keluarnya output yang diinginkan teroris,
pertama kita harus mencegah mereka dalam mendapatkan input yang
diperlukan. Putus segala akses untuk mendapatkan bahan baku bom. Awasi
segala pemain yang terlibat dalam rantai pasokan pembuatan bom. Juga
hadirkan atmosfer di sekitar kita yang tidak akan menyuburkan
keluarnya segala ide bom bunuh diri, apa pun insentifnya. Mungkin yang
terakhir inilah yang terpenting. Tidak mudah memang, namun bukan suatu
yang mustahil dilakukan.

Menghadapi aksi terorisme memerlukan pendekatan layaknya seorang ibu
yang tidak akan pernah membiarkan bayinya jatuh dari dekapan. Zero
terror harus menjadi target pencapaian dalam upaya menangani aksi
terorisme. Itu dimungkinkan selama kita semua menjunjung tinggi nilai-
nilai kehidupan.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/08/10/Opini/index.html
Share this article :

0 komentar: