Mencabut Akar Terorisme
Dengan sangat dramatis, pihak kepolisian kemarin (8/8) berhasil
menggerebek dan melumpuhkan dua kelompok teroris dalam waktu yang
hampir bersamaan. Penggerebekan pertama terjadi di sebuah rumah di
Jatiasih,Bekasi,Jawa Barat.
Dalam penggerebekan ini polisi berhasil mengamankan bahan peledak yang
mencapai seratus kilogram. Sedangkan penggerebekan kedua terjadi di
sebuah rumah di Kedu,Temanggung, Jawa Tengah. Dalam penggerebekan ini
polisi berhasil melumpuhkan seseorang yang diduga kuat sebagai Noordin
M Top.
Ini adalah kemenangan besar sekaligus membanggakan. Tidak hanya bagi
aparat keamanan di semua jajarannya, melainkan juga bagi bangsa ini
yang sudah sering kali dibuat “merana” oleh para teroris. Apalagi bila
terbukti benar bahwa orang yang terbunuh di Jawa Tengah adalah Noordin
“sang pencabut” nyawa dari negeri tetangga itu.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apa yang akan terjadi setelah
“kemenangan besar” ini? Apa pula yang harus dilakukan oleh semua pihak
(terutama pihak keamanan) dalam rangka “menyucikan” Bumi Pertiwi dari
para teroris? Harus disadari bersama, dua penggerebekan di atas
bukanlah akhir dari segalanya.
Sebaliknya, bisa dikatakan semua ini adalah awal dari segalanya.
Peperangan terhadap terorisme harus terus dilanjutkan. Perang melawan
terorisme tidak cukup hanya dengan pendekatan militeristik. Pendekatan
ini mungkin mampu membunuh dan menumpas satu, dua atau bahkan beberapa
teroris.Tapi sebagai sebuah keyakinan,terorisme dipastikan akan terus
melahirkan para teroris baru.
Tidak menutup kemungkinan, satu orang teroris terbunuh, tapi dalam
waktu yang hampir bersamaan, keyakinan terorisme melahirkan ribuan
teroris baru. Oleh karenanya, hal yang tak kalah pentingnya adalah
pendekatan melalui penyadaran dan pemberdayaan. Sebab, ibarat sebuah
pohon besar, terorisme mempunyai akar yang begitu kuat mencengkeram di
dalam keyakinan para pelaku dan penganut paham kekerasan ini.
Menumpas terorisme tidak cukup hanya dengan menebang atau membabat
habis “pohon besar” itu.Yang jauh lebih dibutuhkan adalah mencabut
akarakar terorisme yang sudah menjadi paham atau keyakinan dengan
melalui penyadaran dan pemberdayaan.
Akar Terorisme
Dalam hemat penulis, setidaknya ada empat hal yang menjadi akar
terorisme. Pertama, pemahaman yang salah tentang ajaran mati syahid.
Dalam Islam, ajaran mati syahid memang sangat spesial dan
“menggiurkan”.Betapa tidak? Berdasarkan ajaran ini seseorang bisa
langsung masuk surga tanpa harus melalui proses “kalkulasi ilahi” atas
kesalahan yang pernah diperbuat selama hidupnya.
Dengan kata lain, selain dapat mengantarkan ke surga, mati syahid
mampu menghapus dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya oleh orang
yang bersangkutan. Dalam Islam, mati syahid merupakan sebuah
pengorbanan tertinggi yang dilakukan oleh seseorang untuk menegakkan
ajaran-ajaran Allah, yaitu keadilan, perdamaian, kesejahteraan dan
nilai-nilai luhur lainnya.
Dengan kata lain, mati syahid adalah orang yang meninggal dunia karena
perjuangan untuk menegakkan nilai-nilai luhur di atas, baik perjuangan
dengan mengorbankan harta-benda atau bahkan dengan jiwa-raga. Namun
demikian, dalam paradigma hukum fikih, mati syahid tidak boleh
diniatkan terlebih dahulu.
Dengan kata lain, seseorang harus tetap gigih berjuang dan berniat
untuk mencapai kemenangan dalam rangka menegakkan nilai-nilai luhur
tersebut. Bila seseorang meninggal dalam semangat juang seperti ini,
itulah yang disebut mati syahid.Yaitu kematian yang terjadi di medan
perjuangan dan atas niat yang suci (memenangkan ajaran Allah)
sebagaimana disaksikan (as-syahid) oleh semua pihak yang turut
berjuang, termasuk para malaikat.
Itu sebabnya, seseorang yang berniat ingin mati dengan maju ke garis
depan pertempuran dan benar- benar mati,tidak dapat disebut sebagai
mati syahid. Karena yang bersangkutan telah meniatkan kematian
tersebut terlebih dahulu. Dalam konteks ini,kematian di atas masuk
dalam kategori mati bunuh diri yang sangat dikecam oleh Allah. Dalam
konteks ini, bom bunuh diri bukanlah mati syahid.
Karena yang bersangkutan telah berniat terlebih dahulu untuk
mengakhiri hidupnya. Padahal kehidupan merupakan pemberian Tuhan yang
paling berharga bagi seluruh makhluk-Nya, bukan pemberian Noordin M
Top,Usamah bin Ladin, ataupun yang lainnya.
Kedua, sikap intoleran dalam menghadapi perbedaan keagamaan, baik yang
bersifat intra- maupun antaragama. Perbedaan keagamaan merupakan
sebuah keniscayaan.Karena ajaran agama adalah teks yang membutuhkan
cernaan akal manusia.Perbedaan kemampuan akal manusia dipastikan akan
melahirkan pemahaman dan penafsiran yang berbeda terhadap sebuah teks
maupun ajaran.
Perbedaan selalu ada di komunitas keagamaan mana pun.Perbedaan
keagamaan tak mungkin dihapuskan. Oleh karenanya, toleransi merupakan
hal mutlak dalam rangka menyikapi perbedaan keagamaan yang bersifat
niscaya. Bila tidak, umat beragama akan dihadapkan pada suasana
konfliktual seperti yang sering kali terjadi akhir-akhir ini.
Cukup ironis karena selama ini sikap intoleran dalam menghadapi
perbedaan keagamaan cenderung dibiarkan berkembang dan tidak
mendapatkan sanksi tegas dari negara. Bahkan, pada tahap tertentu
sikap-sikap intoleran mendapatkan pembenaran dari pihakpihak tertentu,
termasuk dari negara dan kalangan agamawan. Ketiga, kemiskinan dan
ketidakadilan.
Pada umumnya, terorisme melibatkan mereka yang dililit kemiskinan dan
ketidakadilan. Dalam kondisi miskin, seseorang cenderung melakukan hal
apa pun untuk mencukupi kebutuhannya, termasuk dengan melakukan hal-
hal yang terlarang.Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa kemiskinan
sangat dekat dengan kekufuran (kaada al-faqru ayyakuuna kufran).
Pemerintah berkewajiban untuk sesegera mungkin menyelesaikan persoalan
kemiskinan yang masih mencekik kehidupan masyarakat banyak.Mereka yang
mampu mempunyai kewajiban untuk membantu dan memberdayakan mereka yang
tidak mampu. Bila tidak, negara dan masyarakat luas akan terus dibuat
resah oleh persoalan terorisme dan radikalisme. Keempat, gerakan
transnasional.
Harus disadari bersama, gerakan transnasional semakin menunjukkan diri
sebagai ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara ke
depan. Bagaimana tidak, keberagamaan khas Nusantara yang sarat dengan
nilainilai toleransi dan perdamaian secara perlahan tampak mulai
dikikis oleh model “keberagamaan luar” yang sarat dengan konflik dan
peperangan.
Bom bunuh diri bisa dijadikan sebagai contoh paling nyata untuk
melihat sejauh mana gerakan transnasional terus menyusup ke dalam
kehidupan umat beragama di Tanah Air. Bom bunuh diri merupakan
“lembaran hitam baru” dalam sejarah bangsa ini. Bisa dikatakan, bangsa
ini “asing” dengan bom bunuh diri. Alih-alih dalam menghadapi
persoalan sehari-hari, perjuangan kemerdekaan pun tidak menggunakan
bom bunuh diri.
Sebagaimana dimaklumi bersama, bom bunuh diri sering kali dilakukan
oleh para “pejuang” di Timur Tengah untuk melawan musuh-musuh mereka,
terutama Israel. Laiknya yang terjadi di Indonesia,bom bunuh diri di
Timur Tengah tidak dilakukan oleh “aktivis utama” organisasi
perlawanan, melainkan dilakukan oleh orang-orang yang bermasalah
dengan kemiskinan dan ketidakadilan, terutama mereka yang menjadi
korban serangan Israel; rumah mereka hancur lebur dan anggota keluarga
yang lain meninggal.
Tak aneh bila bom bunuh diri di Timur Tengah tak hanya dilakukan oleh
orang-orang dewasa, melainkan juga oleh anak-anak di bawah umur,
bahkan juga kalangan perempuan. Dalam hemat penulis, saat ini gerakan
transnasional di Tanah Air tak hanya meng-copy-paste model pemahaman
keagamaan yang berkembang di Timur Tengah, melainkan juga konteks dan
model perjuangan seperti bom bunuh diri.
Bila tidak diantisipasi sejak awal, bukan tidak mungkin perjuangan
dengan bom bunuh diri akan terus meningkat di Tanah Air di hari-hari
mendatang. Bahkan bisa berkembang tidak hanya melibatkan orang-orang
dewasa, melainkan juga anak-anak dan perempuan.
Kiprah Semua Pihak
Mencabut akar-akar terorisme seperti di atas membutuhkan kiprah semua
pihak,sesuai dengan posisi masing-masing. Bagi negara atau pemerintah,
contohnya,memerangi terorisme tidak cukup hanya dengan pendekatan
militer, melainkan harus pula dengan menyelesaikan persoalan
kemiskinan, ketidakadilan, menciptakan kehidupan masyarakat yang
sejahtera, melestarikan budaya damai dan toleran dalam kehidupan
masyarakat dan menindak tegas mereka yang melakukan tindakan
intoleran.
Begitu juga dengan kalangan agamawan.Adalah kewajiban para ahli agama
untuk menyampaikan pesan-pesan luhur agama, menciptakan kehidupan umat
beragama yang saling menghormati satu sama lain dan memahamkan ajaran
agama sesuai dengan konteks Nusantara, bukan konteks kawasan lain.
Namun yang tak kalah penting dari yang telah disampaikan di atas
adalah kesadaran dan peran masyarakat luas untuk membersihkan bangsa
ini dari akar-akar terorisme dan radikalisme.Yaitu dengan cara menjaga
dan memperhatikan orang-orang terdekat agar tidak dijangkiti “flu
terorisme dan radikalisme”. Mari kita lestarikan budaya damai,
tenteram, aman, dan toleran.(*)
Hasibullah Satrawi
Peneliti pada
Moderate Muslim Society (MMS)
Jakarta
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/261289/
Mencabut Akar Terorisme
Written By gusdurian on Senin, 10 Agustus 2009 | 09.59
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar