BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Politik, Pemilihan Langsung, dan Peranan Kiai

Politik, Pemilihan Langsung, dan Peranan Kiai

Written By gusdurian on Kamis, 13 Agustus 2009 | 08.59

Politik, Pemilihan Langsung, dan Peranan Kiai
Oleh KH Afifuddin Muhajir Pengasuh Ma'had Aly Asembagus Situbondo, Jawa
Timur


SALAH satu ciri khas agama Islam yang sangat menonjol adalah
keterpaduannya antara ketegasan dan kelenturan yang tersebar dalam
petunjuk-petunjuknya. Pada umumnya, ketegasan terdapat dalam halhal yang
menjadi tujuan (ghayat), sedangkan kelenturan menyangkut cara atau
sarana mencapai tujuan (wasilah). Masalah kepemimpinan termasuk
kepemimpinan politik bisa dikemukakan sebagai contoh konkret bagi ciri
khas Islam tersebut.

Dalam hal ini, sekurangnya ada tiga ranah, yaitu tujuan pokok, tujuan
perantara, dan cara mencapai tujuan. Tegaknya keadilan, terwujudnya
kesejahteraan, dan ketenteraman merupakan tujuan pokok adanya
kepemimpinan. Sementara itu, tegaknya kepemimpinan yang berkeadilan
adalah tujuan antara yang bisa mengantarkan kepada tujuan pokok
tersebut. Sementara itu, mekanisme pengangkatan pemimpin adalah cara
mencapai tujuan. Dalam ranah yang terakhir itulah, Islam memberi ruang
gerak dan keleluasaan bagi umatnya untuk berijtihad dan memilih cara
yang sesuai dengan perkem bangan kehidupan.

Dalam banyak literatur fikih siyasah (fikih politik), dikemukakan
beberapa cara pengangkatan pemimpin yang pernah terjadi dalam sejarah
kepemimpinan Islam. Salah satunya adalah melalui mekanisme ikhtiar
(pemilihan), tapi hak memilih hanya dimiliki oleh ahlu al-halli wa
al-'aqdi (tokoh-tokoh masyarakat) yang memenuhi beberapa syarat penting,
yaitu memiliki pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang kandidat yang
akan dipilih; memiliki sifat `adalah' (keadilan) dan memiliki kebijakan
yang bisa mengantarkan kepada terpilihnya pemimpin yang ideal. Hal itu
berbeda dengan pemilihan dalam sistem demokrasi langsung yang memberikan
hak pilih kepada setiap warga negara yang telah cukup umur. Di sini
tidak ada perbedaan antara yang alim dan yang awam, antara kiai dan
santri, antara pejabat puncak dan pengayuh becak, antara suara seorang
profesor dan suara tukang cukur, dan seterusnya.

Pada dasarnya, sistem pemilihan langsung itu baik, bahkan ideal karena
memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memilih pemimpin yang
disukai dan dicintai. Dalam hadis Riwayat Muslim dijelaskan bahwa
sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang mencintai rakyat dan dicintai
rakyat, dan sejelek-jelek pemimpin adalah pemimpin yang membenci rakyat
dan dibenci rakyat. Akan tetapi, di Indonesia, sistem pemilihan
langsung, baik Pilkada, pilpres, maupun pileg, banyak menghadapi kendala.

Kendala utama pemilihan langsung dalam konteks keindonesiaan adalah
keawaman, kebutahurufan, dan kemiskinan sebagian masyarakat.
Tampaknya masyarakat Indonesia sebagian besar buta politik dan tidak
mengetahui syarat-syarat yang harus dimiliki pemimpin, sedangkan yang
memiliki pengetahuan sering kali tidak menjatuhkan pilihan sesuai dengan
hati nuraninya.
Faktor kemiskinan dari para pemilih menyebabkan suara mereka mudah
dibeli dengan harga yang sangat murah. Oleh karena itu, demokrasi harus
dibangun beriringan dengan peningkatan pendidikan dan pembangunan
ekonomi masyarakat.

Selama kondisi kita masih seperti sekarang ini, ada sebuah pertanyaan
yang perlu dijawab, perlukah taujihat (arahan) dari tokoh masyarakat,
terutama tokoh agama dan para kiai sebagai pengawal moral untuk anggota
masyarakat yang dianggap awam, dengan tujuan agar mereka memilih calon
pemimpin yang dinilai memiliki atau lebih memiliki integritas dan
kapabilitas?
Ataukah, sebaiknya mereka dilepas dan dibiarkan mengikuti kehendak
masing-masing?
Jawabannya, tergantung situasi dan kondisi, terutama kondisi para
kandidat. Arahan dan fatwa politik kiai itu menjadi perlu, bahkan wajib
bila masyarakat dihadapkan pada pilihan antara pemimpin yang baik dan
yang buruk menurut pandangan para tokoh yang berkompeten. Dalam konteks
yang lain, arahan politik dari para kiai bisa tidak diperlukan misalnya
bila pilihan-pilihan yang ada masih dalam kategori syubuhat
(remang-remang), tidak jelas halalharamnya atau baik-buruknya, karena
persoalan yang masih syubuhat pada umumnya menjadi ajang terwujudnya
khilaf (perbedaan) di antara para tokoh sendiri yang sangat potensial
bagi terjadinya benturan dan disharmoni. Faktor syubuhat itulah yang
menyebabkan terjadinya ketegangan di antara para kiai seperti tampak
dalam beberapa kali pilkada, pileg, dan pilpres.
Walau tak bisa ditutupi pula, ketegangan politik di antara para kiai
kerap bukan karena dilatari perbedaan ijtihad politik, melainkan karena
motif duniawi lainnya. Ini yang memprihatinkan.

Dengan demikian, ketika arahan politik itu diperlukan, kejujuran dan
keikhlasan merupakan modal utama bagi tokoh-tokoh agama dan para kiai di
dalam memberikan fatwa politik.
Kita sangat ber-husnu al-zhan (berbaik sangka) bahkan yakin bahwa tak
sedikit dari para kiai yang memiliki modal itu. Itu terbukti dengan
banyaknya kiai yang lebih suka mendukung calon pemimpin hanya karena
diyakini memiliki integritas dan kapabilitas dari calon lain yang
diyakini akan memberikan keuntungan duniawi yang melimpah.

Oleh karena itu, fatwa politik (sebagian) kiai didasarkan pada
pertimbangan etik-moral dan bukan pada kekuasaan. Mereka ingin
mengarahkan dukungan kepada kandidat yang paling memenuhi kualifikasi
dan standar, seperti yang mereka yakini. Na mun, dukungan para kiai itu
sekali lagi kerap kandas ketika berhadapan dengan politik uang. Fatwa
kiai itu tak lagi diden gar karena sebagian masyarakat terutama yang
miskin lebih mendahulukan dan memilih kandidat yang memberi bantuan
finansial, sembako, dan lain-lain.

Ke depan, saya kira itu membahayakan. Sebab, hanya orang-orang yang
berkantong tebal yang akan menjadi pemimpin. Sementara itu, mereka yang
memiliki sumber dana terbatas tapi mempunyai kualifikasi pemimpin tak
akan punya peluang untuk memimpin, baik di pusat maupun di daerah.
Kiai sebagai tokoh agama bertugas mengembalikan arah politik dari
politik kekuasaan yang bersandar pada uang dan kapital semata-mata
kepada politik kekuasaan yang bertunjang pada etika, moral, dan
integritas. Publik secara umum perlu disadarkan bahwa pemimpin yang
kuat, jujur, dan kapabel lebih didahulukan daripada pemimpin yang tidak
jujur, berintegritas rendah dan melakukan politik uang.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/08/13/ArticleHtmls/13_08_2009_023_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: