Pancaroba Demokrasi
*Sigit Pamungkas*
Meniti jalan demokrasi bukan sebuah perjalanan yang mudah. Keliru
menapakkan langkah mengakibatkan perjalanan menuju demokrasi tidak
segera sampai atau bahkan tidak akan pernah sampai sama sekali.
Faktor-faktor obyektif, seperti konflik sipil, radikalisasi daerah,
kemiskinan, dan ketimpangan yang akut, terkadang menjadi sebab sulitnya
menggapai demokrasi. Faktor-faktor subyektif, seperti libido kekuasaan
yang membuncah dan agresivitas modal, juga tidak jarang mengambil peran
besar bagi gagalnya meniti jalan demokrasi.
Berbagai fenomena kontemporer memunculkan pertanyaan akan nasib dari
jalan demokrasi yang sedang kita tempuh. Apakah kita masih setia di
jalan demokrasi atau sedang melangkah ke rute yang lain. Pengamatan
sekilas sepertinya kita tidak cukup setia untuk tetap menapaki jalan
demokrasi secara baik. Secara perlahan-lahan terjadi pergeseran dari
jalur demokrasi ke jalur yang lain.
*Benih pembunuh*
Pancaroba demokrasi sedang terjadi. Fenomena paling mendasar bagi
terjadinya peralihan musim demokrasi adalah adanya ranjau bagi kebebasan
berpendapat. Kasus Prita menjadi contoh yang sangat baik betapa ekspresi
kebebasan berpendapat dalam bayang-bayang penjara. Secara tidak sadar,
kebebasan berpendapat telah menjadi sebuah peristiwa yang berbahaya.
Ketakutan menyertai atas setiap pendapat yang dikeluarkan. Sebab,
”penegak keadilan” sudah setia menunggu untuk mengadili dan tentu saja
memberi hukuman.
Ketika Orde Baru berkuasa, negara menjadi ancaman bagi kebebasan
berpendapat. Pada kasus Prita, kini swasta atau pemilik modal yang
menjadi ancaman. Tidak tertutup kemungkinan suatu saat negara juga akan
menjadi predator bagi kebebasan berpendapat. Jika demikian adanya,
kebebasan berpendapat akan dijepit oleh negara dan swasta. Tidak ada
pembela bagi rakyat kecuali dirinya sendiri. Padahal, kebebasan
berpendapat menjadi salah satu fondasi paling penting bagi tegaknya
hak-hak politik rakyat lainnya.
Fenomena subordinasi keadilan dan kebenaran atas nama negara hukum
menjadi fenomena lain yang menghalangi jalan demokrasi. Peristiwa paling
kontemporer adalah terkait dengan putusan MA tentang metode alokasi
kursi legislatif. Secara substantif, dapat dipastikan tidak ada
argumentasi yang dapat melegitimasi model alokasi kursi ala MA.
Dalam studi tentang pemilu, model alokasi kursi terus mengalami
perkembangan untuk mendapatkan formula terbaik dalam mengonversi suara
menjadi kursi. Meskipun demikian, tidak satu pun dari formula itu yang
memiliki logika yang serupa dengan model penghitungan ala MA.
Anehnya, di tengah pemahaman bahwa putusan MA itu secara substantif
keliru, atas nama negara hukum, ada sebagian orang yang mengharapkan
putusan itu dieksekusi. Ini sebuah bahaya yang mengancam demokrasi. Cara
pandang seperti ini sewaktu-waktu dapat ”dipinjam” untuk melegitimasi
kesewenang-wenangan penguasa atau pemilik modal secara rapi.
Argumentasinya sama, atas nama negara hukum. Idealnya, hukum semestinya
adalah membingkai keadilan dan kebenaran. Ternyata yang terjadi
sebaliknya, ketidakadilan dan kepalsuan dibingkai oleh hukum.
Fenomena terakhir yang juga mengakibatkan peralihan musim adalah adanya
kecenderungan untuk mengonsentrasikan kekuasaan. Pascapilpres, pemenang
pemilu terkesan ingin menyerap kekuatan lawan menjadi bagian dari
kekuasaan. Pada saat bersamaan, yang kalah pemilu juga berusaha merapat
ke penguasa. Satu kekuatan politik bergerak secara sentripetal, yang
lainnya bergerak secara sentrifugal. Gayung bersambut, konsentrasi
kekuasaan akhirnya akan menjadi suatu yang tidak terhindarkan.
Dinamika politik di Golkar dan PDI-P menjadi titik penting terjadinya
konsentrasi kekuasaan. Arus utama politik Golkar yang kalah dalam
pilpres berusaha merapat ke SBY. PDI-P pun, melalui Taufiq Kiemas, juga
membuka wacana merapat ke penguasa. Pemenang pemilu juga ingin merengkuh
mereka. Jika demikian adanya, check and balances akan hilang. Padahal,
check and balances adalah pilar demokrasi yang tidak hanya diperlukan,
tetapi sebuah kebutuhan. Situasi itu menjadikan kekuasaan berjalan tanpa
kontrol yang efektif. Penyimpangan kekuasaan akan semakin terbuka lebar.
*Belum terlambat*
Preskripsi tersebut sepertinya sebuah titik ”kecil” yang dapat diabaikan
sebagai bentuk pengganggu dari jalan demokrasi. Meskipun demikian,
pengalaman sejarah Orba memberi pelajaran betapa berisikonya mengabaikan
sesuatu yang kelihatannya ”kecil”. Ketika rezim Soekarno dijatuhkan,
terbit mimpi tentang demokrasi. Pada fase awal, gambaran tentang
demokrasi seperti begitu nyata. Bayangan kembalinya otoritarianisme
hampir tidak muncul.
Setelah beberapa saat berjalan, benih-benih otoritarianisme ternyata
bersemi tanpa disadari. Upaya-upaya untuk merapikan ”kekacauan” dari
demokrasi dianggap sebagai sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan. Orba
yang semula muncul sebagai antitesis otoritarianisme kemudian berubah
wajah menjadi kekuatan antitesis demokrasi.
Masih belum terlambat untuk membersihkan jalan demokrasi dari duri yang
melintang. Elite politik perlu berefleksi dan kekuatan prodemokrasi
perlu mengkonsolidasikan diri. Jika tidak, sejarah Orba akan direpetisi.
Polanya berbeda, tetapi dapat berakhir di ujung yang sama.
/Sigit Pamungkas Dosen di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM
/
/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/0511414/.pancaroba.demokrasi
Pancaroba Demokrasi
Written By gusdurian on Kamis, 13 Agustus 2009 | 09.13
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar