BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kebingungan Informasi

Kebingungan Informasi

Written By gusdurian on Kamis, 13 Agustus 2009 | 09.11

Kebingungan Informasi



*TJIPTA LESMANA *

Dalam mengatasi masalah terorisme, Kepolisian Negara RI kini menghadapi
situasi dilematis besar yang mungkin juga membuat pimpinannya stres.
Bagaimana tidak, Polri mendapat tekanan dari atas dan dari bawah.

Di atas, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hampir dipastikan
sering-sering bertanya kepada Kapolri, kapan kasus pengeboman Hotel JW
Marriott dan Ritz-Carlton bisa diungkap secara jelas dan kapan Noordin M
Top bisa dibekuk. Di bawah, publik pun nyaris kehilangan kesabaran. Kok,
terorisme masih juga merajalela? Kenapa Polri sejauh ini masih belum
berhasil menangkap Noordin? Publik sepertinya tidak mau tahu bahwa
memberantas terorisme tidak sama dengan menghancurkan sebuah gedung yang
reyot, misalnya.

Itulah sebabnya, setiap hari, bahkan setiap menit, polisi terus
diberondong oleh masyarakat—yang diwakili oleh pers. Pers terus
mengupayakan setiap penggal informasi yang terkait dengan pemburuan
terhadap Noordin M Top dan kaki tangannya. Kadang kita merasa iba
melihat mimik wajah Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Nanan
Soekarna menghadapi ”nyamuk pers”. Ia harus bersabar mendengar
pertanyaan-pertanyaan pers yang tajam. Ia sadar bahwa setiap kata yang
keluar dari mulutnya, otomatis, menjadi berita.

*Ketidakpastian*

Manusia, siapa pun dia dan apa pun kedudukannya, memang tidak menyukai
situasi tidak pasti atau tidak menentu (uncertain). Puluhan calon
anggota legislatif, misalnya, kini tengah diliputi rasa cemas dan
jengkel apakah mereka jadi dilantik atau namanya dicoret akibat putusan
Mahkamah Agung yang mengoreksi putusan Komisi Pemilihan Umum. Para
pelaku bisnis bertanya-tanya: dalam waktu dekat ini, apa masih ada
ledakan bom lagi?

Dan setiap kali menghadapi situasi tidak menentu, orang berupaya mencari
informasi untuk menegakkan kepastian; setidak-tidaknya mengurangi
ketidakpastian. Dari perspektif ilmu komunikasi, berkomunikasi
sebenarnya melakukan tindakan untuk mereduksi ketidakpastian
(uncertainty reduction). Ketidakpastian hakikatnya adalah pain, derita.
Maka, komunikasi yang tidak mampu mengurangi ketidakpastian, apalagi
memperbesar ketidakpastian, dikatakan gagal.

Akhir pekan lalu kita dikejutkan oleh serangan bersenjata ke sebuah
rumah yang terletak di Desa Beji, Temanggung. Rumah itu, sejak pukul
17.00 tanggal 7 Agustus hingga pagi hari 8 Agustus, dikepung ketat oleh
puluhan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dan terjadi
berondongan sengit ke arah rumah itu. Penyerbuan dilancarkan setelah
situasi pengepungan berjalan 17 jam lamanya. Seorang di dalam rumah
dikabarkan tewas, dua lainnya luka-luka.

Seorang perwira polisi menyatakan korban tewas adalah Noordin M Top
menyusul berita tentang percakapan singkat antara anggota Densus 88 dan
penghuni di dalam rumah sebelum penyerbuan dilancarkan. ”Apakah kamu
Noordin M Top?” Suara di dalam rumah menjawab, ”Ya, saya Noordin M Top!”
Maka, sebuah stasiun televisi di Jakarta selama dua-tiga jam menurunkan
moving caption berbunyi: ”Polisi pastikan Noordin M Top tewas”.

Hari itu, 8 Agustus 2009, berita tentang ”tewasnya” Noordin M Top
beredar luas sekali. Namun, sore harinya, sekitar pukul 17.50, Kapolri
menggelar jumpa pers. Kapolri menegaskan bahwa pihaknya masih perlu
memastikan identitas korban yang tewas.... Juga dikatakan bahwa Presiden
Yudhoyono menjadi target serangan bom oleh para teroris. Buktinya,
Densus 88 berhasil menggerebek sebuah rumah di Jatiasih, Bekasi, yang
berisikan sejumlah bahan peledak. Lokasi rumah hanya sekitar 5 kilometer
dari Cikeas.

Tatkala foto mengenai korban tewas beredar pada Senin, 10 Agustus—yang
ternyata berbeda dengan foto wajah Noordin M Top—suasana tidak pasti
seolah ”tambah lengkap”. Mana ada sih teroris yang mau mengakui
identitasnya secara ”jantan”?! Kalau mau menghabisi nyawa presiden kita,
kenapa dua hotel berbintang yang dibom dulu?

”Information is not uncertainty!” tulis Dr Thomas D Schneider dari
National Cancer Institute di Maryland yang diam-diam mendalami masalah
penyebarluasan informasi. Schneider mengecam para cendekiawan yang
percaya bahwa ”information is uncertainty”. Memang, dalam praktik, makin
sering kita berkomunikasi, adakalanya makin tidak jelas situasi yang
diakibatkannya. Namun, komunikasi yang baik, mestinya, mampu mereduksi
ketidakpastian. Jika komunikasi justru menimbulkan ketidakpastian,
informasi pun bertambah membingungkan....

Kebingungan informasi inilah yang dialami publik akibat
pernyataan-pernyataan Polri belakangan ini terkait Noordin M Top. Satu
tips lagi buat Polri: lain kali, kalau mau lancarkan operasi membekuk
teroris, jangan bawa korps wartawan. Laporan pers pun kadang membawa
kebingungan informasi!

/ TJIPTA LESMANA Guru Besar Komunikasi Politik FISIP-UPH
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/05095517/kebingungan.informasi
/
Share this article :

0 komentar: