BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Memajaki Petani

Memajaki Petani

Written By gusdurian on Sabtu, 01 Agustus 2009 | 10.47

Memajaki Petani



*Toto Subandriyo *

Negeri ini makin miskin kearifan. Mungkin semua teori di gudang sudah
habis sehingga traktor milik petani pun akan dikenai pajak daerah.

Kehabisan akalkah pemerintah dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dalam memburu harta para pengemplang dana Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia yang mencapai ratusan triliun rupiah sehingga yang ecek-ecek
seperti traktor petani mau dikenai pajak?

Seperti diberitakan harian Kompas (11/7), pemerintah dan DPR saat
membahas Rancangan Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
berencana memajaki traktor milik petani. Rencana pengenaan pajak daerah
terhadap alat produksi pertanian itu menunjukkan upaya membunuh petani
dan pertanian republik ini masih berlangsung.

Sebagaimana ditulis Jakob Sumardjo, bangsa ini telah membunuh para
petaninya sejak adanya industri agrikultur tahun 1830. Sumber hidup
bangsa yang telah berabad-abad ini dimatikan kaum penjajah abad ke-19
dilanjutkan bangsa sendiri setelah kemerdekaan (Kompas, ”Membunuh
Petani”, 28/4/2007).

Selama ini pembangunan pertanian cenderung bias perkotaan (urban bias).
Pangan sebagai unsur pembentuk inflasi terbesar harganya terus ditekan.
Sementara itu, berbagai bentuk pajak dan pungutan yang dikenakan kepada
petani makin memperbesar biaya produksi dan mengurangi pendapatan petani.

Secara kasatmata, petani selalu diposisikan sebagai pengganjal inflasi
dalam konotasi sebenarnya. Pemerintah mungkin bisa menepuk dada atas
keberhasilan meningkatkan produksi beras secara signifikan. Namun,
ketika prestasi peningkatan produksi itu disandingkan dengan tingkat
kesejahteraan petani, kenyataan yang didapat justru amat berlawanan.

Badan Pusat Statistik melaporkan, produksi beras tahun 2008 naik 5,46
persen dari tahun 2007. Namun, kenaikan itu ternyata tidak diikuti
peningkatan nilai tukar petani. Angka nilai tukar petani padi Juni 2008
sebesar 93,95, lebih rendah 6,05 poin dibandingkan dengan nilai tukar
petani bulan yang sama tahun 2007. Dengan kata lain, ketika produksi
beras naik 5,46 persen, tingkat kesejahteraan petani padi turun 6,05 poin.

*Bencana*

Departemen Keuangan dan Panitia Khusus DPR yang sedang membahas RUU itu
mungkin lupa, kehadiran traktor di tengah petani, selain berperan dalam
teknis pengolahan lahan yang lebih cepat, juga berperan dalam
memperlambat fenomena gerontokrasi yang melingkupi sektor pertanian.
Fenomena gerontokrasi pertanian ditandai oleh dominasi tenaga kerja
petani tua kurang produktif dalam komposisi ketenagakerjaan.

Survei terhadap kondisi ketenagakerjaan petani di Jawa menyimpulkan
terjadinya fenomena gerontokrasi. Komposisi tenaga kerja sektor
pertanian didominasi petani berusia di atas 50 tahun sebesar 75 persen,
30-49 tahun (13 persen), dan 12 persen sisanya berusia di bawah 30
tahun. Sepinya peminat yang melanjutkan ke SMK pertanian dan program
studi pertanian di perguruan tinggi beberapa waktu lalu mengamini
kebenaran survei itu.

Kurangnya insentif fiskal maupun nonfiskal yang diberikan negara, mulai
dari keringanan pajak bumi dan bangunan bagi pemilik lahan sawah hingga
jaminan harga jual yang memadai bagi komoditas pertanian, membuat
konversi lahan pertanian berlangsung masif.

Saat ini banyak pemilik sawah beranggapan, konversi lahan pertanian ke
nonpertanian lebih menguntungkan. Hasil analisis ekonomi sewa lahan
(land rent economics) menunjukkan, rasio land rent pengusahaan lahan
untuk usaha tani padi dibandingkan dengan perumahan dan industri adalah
1:622:500 (Nasoetion dan Winoto, 1996).

Selain mengancam ketahanan pangan bangsa, masifnya konversi lahan ini
juga merupakan bencana bagi petani penggarap dan buruh tani. Penelitian
terhadap permasalahan ini menyimpulkan, jika di suatu lokasi terjadi
konversi lahan pertanian, lahan pertanian di sekitarnya akan segera
terkonversi secara progresif. Petani penggarap dan buruh tani tidak
serta-merta dapat beralih pekerjaan ke sektor industri sehingga menjadi
permasalahan sosial baru.

Masifnya konversi lahan itu secara tidak langsung merupakan buah
kebijakan pemerintah di bidang pangan yang bersifat myopic. Memandang
peran pangan dalam horizon pendek dan domain sempit. Mengabaikan
pentingnya kedaulatan pangan karena mudahnya akses impor.

Jadi jangan heran jika pernah ada petinggi negeri ini yang keseleo lidah
mengatakan lebih untung mendirikan pabrik daripada mempertahankan sawah
karena akan menciptakan lapangan pekerjaan 50 kali lipat.

Ketika para penentu kebijakan negeri ini tidak lagi memberi perhatian
kepada sektor pertanian, sejatinya mereka telah mematikan sumber hidup
bangsa. Memajaki petani di satu sisi, dan membatasi akses petani ke
semua sumber daya di sisi lain, merupakan upaya membunuh petani dan
pertanian republik ini secara sistematis.

Toto Subandriyo /Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI),
Kabupaten Tegal, Jateng
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/31/03073769/memajaki.petani
Share this article :

0 komentar: