BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Manajemen Pengolahan Sampah

Manajemen Pengolahan Sampah

Written By gusdurian on Kamis, 13 Agustus 2009 | 09.02

Manajemen Pengolahan Sampah

BEBERAPA hari lalu, tim dari Yayasan Rumah Perubahan melakukan ekspedisi
kecil, menelusuri Sungai Sunter dari sekitar Cibubur sampai ke Cilangkap
di daerah perbatasan Jakarta dengan Depok danBekasi.

Ekspedisiitumelibatkan anak-anak Indonesia yang biasa bermain di sungai
di daerah Sukabumi dan Karawang.Kami menggunakan sebuah rakit dari bambu
yang diikat pada empat buah jeriken plastik agar rakit mengapung.
Walaupun jaraknya pendek, kami memerlukan waktu dua hari untuk
menyelesaikan medan ini.

Ada banyak keindahan yang dapat dilihat, tapi kami juga prihatin dengan
nasib sungai yang saya kira sama nasibnya dengan sungaisungai lain di
Nusantara ini.Kami juga berdialog dengan masyarakat yang mengklaim
dirinya sebagai ”orang yang mencari nafkah dari kali”.Di kali itu mereka
mendapatkan bermacam-macam ikan (gabus, sapu-sapu,udang),cacing,tanaman
obat,plastik,dan tentu saja air.

Medan Sampah

Beratnya medan ternyata bukan disebabkan arung atau arus sungai,
melainkan justru oleh tumpukan sampah. Di beberapa bagian kami masih
menemukan bibir sungai dengan pohon-pohon besar yang indah, tapi tim
kami harus banyak berhenti, terutama dalam menghadapi tumpukan sampah.
Bahkan pada beberapa titik kami menemukan bekas dam yang sudah berubah
menjadi tempat sampah yang masif.

Tim terpaksa harus keluar dari sungai, menggotong rakit lewat darat dan
kembali lagi ke dalam air. Setelah kembali,ternyata debit air di bagian
lain berkurang, tinggal beberapa sentimeter.Di beberapa titik kami
menemukan aliran sungai yang terbelah menggenangi sawah penduduk yang
hancur di gerus air bah.

Saya sudah menghubungi aparat yang menangani masalah infrastruktur di
negara ini, di pusat maupun daerah.Mereka juga sudah tahu apa yang
terjadi, tapi entah mengapa saya tidak melihat tandatanda mereka akan
turun tangan. Sepanjang hari hidup dan mendampingipendudukditepikali,
kami hanya menemukan semangat orang-orang kampung yang tidak pernah
menyerah.

Sekali-sekali mereka mengeluh karena sungainya terganggu,tapi mereka
memilih mengatasinya lewat cara kekeluargaan, bergotong royong membuat
jembatan-jembatan dari bambu.Ada atau tidak ada aparat
yangpedulidenganmerekatampaknya tak begitu penting. Namun mengapa sungai
itu terbelah? Setelah kami pelajari ternyata beban yang ditanggung
sungai sudah sangat berat.

Sungai telah menjadi area publik terbuka bagi pembuangan sampah.Hampir
semua kompleks perumahan yang dibangun di area sekitar sungai
menempatkan pembuangan sampai di tepi sungai, yang kalau hujan akan
menghanyutkan sampah itu ke dalam kali. Selain itu,sungai telah menjadi
area belakang setiap rumah.

Dari tiap rumah tampak pipa-pipa paralon pembuang air kotor beserta
tumpukan sampah. Semakin lama tekanan terhadap sungai semakin berat.
Rumah-rumah bagus menjauh dari sungai. Tinggallah rumah-rumah kumuh dan
tumpukan sampah. Singkat cerita, rakit terpaksa dibuat dari bambu karena
sangat riskan menelusuri sungai dengan perahu karet. Duri dan beling
berserakan di mana-mana. Selain itu limbah pabrik dan rumah tinggal
mengalir bebas ke sungai.

Sampah Harus Diolah

Sebenarnya jalan keluar untuk menyelamatkan lingkungan sudah ada. Pada
Maret 2008, para pembela lingkungan dari KLH telah berhasil mengegolkan
Undang- Undang (UU) Pengolahan Sampah (UU NO 18/2008).Menurut UU ini,
dalam lima tahun ke depan seluruh tempat pembuangan akhir (TPA) harus
sudah ditutup dan sampah harus diolah.

Hadirnya UU ini sebenarnya memberikan kesempatan yang bagus untuk
melakukan perubahan, tapi entah mengapa banyak pemda yang mengalami
kesulitan. Pengalaman saya di lapangan menunjukkan birokrasi yang
terikat dengan pola pikir lama telah membelenggu perubahan.

Dengan UU baru ini misalnya, pemerintah daerah seharusnya sudah
meninggalkan pola pengumpulan dan pembuangan sampah di TPA dan mulai
melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat akan ikut karena sampah
ternyata mempunyai potensi ekonomi yang sangat besar. Kalau diolah
dengan baik, 100% sampah akan dikembalikan ke alam.

Setelah dicacah dan disaring, sampah-sampah rumah tangga dapat
dikembalikan ke tanah menjadi kompos dan mendorong pertanian organik.
Plastik-plastiknya dapat didaur ulang menjadi tali rafia dan pot-pot
tanaman. Bagian kasarnya dipadatkan dapat menjadi biomassa yang dapat
menggantikan fossil fuel seperti batu bara.

Biomassa dari sampah praktis hanya berbeda usia saja dengan batu bara
dan aman bagi alam. Semua itu dapat dilakukan dalam skala kecil. Di
Rumah Perubahan, kami melakukannya dalam radius 3.000 kepala keluarga.
Sampah itu diangkat dengan kendaraan roda tiga dan diolah di
tengah-tengah warga.

Karena langsung diolah, sampah tidak berbau busuk.Ia belum sempat
mengalami pembusukan. Dengan cara yang demikian, masalah sampah cepat
dapat ditangani dan hemat biaya. Bandingkan dengan metode tradisional
yang dilakukan pemda. Sampah diangkut dengan truktruk besar yang sulit
melakukan manuver di jalan-jalan kecil.

Pada setiap titik bak-bak sampah milik warga dibutuhkan waktu sekitar
5–10 menit untuk mengangkutnya sehingga praktis dalam 1 jam hanya ada
enam sampai 10 rumah yang sampahnya diangkut. Jadi satu hari hanya
sekitar 50 rumah yang sampahnya dapat diangkut. Selain itu armada-armada
truk pengangkut sampah milik pemerintah perlu menembus kemacetan lalu
lintas di tengah kota untuk mencapai lokasi TPA.

Dulu, sewaktu masih kecil, saya melihat truk-truk itu dapat bolak-balik
2–3 kali mengangkut sampah dari pasar tradisional. Sekarang saya
saksikan mereka hanya dapat mengangkut satu kali saja.Karena letaknya
jauh, ongkos bensinnya pun menjadi sangat boros. Sudah begitu, di TPA,
bau busuk menyengat dan masalah sosial terus bermunculan.

Pemerintah daerah yang kebagian tumpukan sampah menolak kehadiran
truk-truk baru. Demikian pula masyarakat penduduk di sekitar TPA. Dengan
demikian pola pikir penanganan sampah sudah harus berubah,dari konsep
TPA menjadi diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pola pengangkutan pun harus dibuat lebih sederhana dan efisien.
Metodenya pun harus zero-waste (habis 100% dapat dipakai kembali) dan
penting sekali menciptakan entrepreneur-entrepreneur baru, yaitu
entrepreneur pengolah sampah. Kalau pendekatan ini dipakai, saya yakin,
kelak bukan hanya masalah sampah akan teratasi,tapi sungai-sungai pun
akan kembali bersih.

Rakyat yang tahu nilai ekonomis dari sampah tidak akan membiarkan sampah
dibuang begitu saja. Bila sungai-sungai itu kembali bersih, rumah-rumah
pun akan mulai dibangun menghadap ke arah sungai dan kehidupan ekonomi
di kali-kali kembali bergairah. Outbond dan pariwisata akan melengkapi
perikanan rakyat dan banjir pun dapat diatasi. Semua ini menuntut
perubahan, yaitu pola pikir semua pihak.Tunggu apa lagi? (*)

RHENALD KASALI
Ketua Program MM UI


http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/262180/
Share this article :

0 komentar: