BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tragedi 27 Juli dan Kekalahan PDIP

Tragedi 27 Juli dan Kekalahan PDIP

Written By gusdurian on Senin, 27 Juli 2009 | 11.40

Tragedi 27 Juli dan Kekalahan PDIP
Oleh: Gugun El-Guyanie

Momentum peringatan tragedi Sabtu kelabu 27 Juli 1996 tepat untuk
dijadikan sebagai ruang reflektif atas kekalahan politik PDIP pada
Pemilu 2009 ini (baik pileg maupun pilpres). Lantas, apa hubungan
kekalahan PDIP dengan tragedi 27 Juli yang merupakan tonggak perjuangan
baru menuju pembaruan politik sekaligus sejarah yang tidak terlupakan
dalam perjalanan PDIP itu?

Peristiwa berdarah tersebut mengakibatkan 5 orang tewas, 149 orang
(sipil maupun aparat) luka-luka, dan 136 orang ditahan. Namun, sampai
saat ini pengusutan peristiwa berdarah 27 Juli selalu kandas di tataran
politis DPR. Hal itu disebabkan masih adanya upaya untuk melindungi
rezim Orde Baru (Orba).

Selama rezim Orba mencengkeramkan taring kekuasaannya, PDI lebih banyak
berperan sebagai "boneka politik" penguasa. Akibatnya, tidak ada agenda
politik yang sepenuhnya otentik, yang lahir sebagai platform PDI. Sampai
pada puncak eskalasi kegundahan yang muncul dari para pewaris
nasionalisme Soekarno, meletuslah tragedi 27 Juli.

Buku /Soeyono: Bukan Puntung Rokok/ yang ditulis Benny Butarbutar dan
sejumlah dokumen sekunder lain paling tidak memberikan gambaran kepada
masyarakat bahwa kasus 27 Juli tidaklah sesederhana yang diungkap
pengadilan. Soeyono meyakini bahwa peristiwa 27 Juli merupakan dampak
rivalitas dua srikandi kembar, Megawati Soekarnoputri dan Siti
Hardiyanti Rukmana, di panggung politik. Rivalitas itu lalu berdampak
pula pada polarisasi di tubuh militer untuk berlomba mendekati Cendana.
Ada militer yang mendukung Megawati. Tapi, ada pula yang mendekat ke
Siti Hardiyanti.

Hasil tragedi 27 Juli tersebut adalah tampilnya Megawati di kancah
perpolitikan nasional. Walaupun sebelum peristiwa itu Megawati tercatat
sebagai ketua umum PDI dan anggota Komisi I DPR, setelah peristiwa 27
Juli-lah, namanya dikenal di seluruh Indonesia.

PDIP pun tidak bisa dilepaskan dari nama Megawati sebagai /public
figure/ yang mampu menjadi magnet bagi rakyat. Sebagaimana keberadaan
Gus Dur bagi PKB, Amien Rais bagi PAN, atau SBY bagi Partai Demokrat,
bagi PDIP, Megawati dan Soekarno adalah satu roh yang menyatu.

Di mata bayangan simpatisannya, popularitas Megawati tidak lepas dari
darah dan ideologi Soekarno. Konstituen PDIP adalah kaum nasionalis
sekuler, Islam abangan, serta kaum marhein yang merindukan kepemimpinan
karismatis gaya Soekarno.

***

Berangkat dari akar historis-geneologis di atas, PDIP ke depan harus
melakukan beberapa langkah mendasar.

/Pertama/, meneguhkan ideologi politik sebagai partai kerakyatan.
Seluruh orientasi politiknya hanya ditujukan untuk mengawal kepentingan
rakyat banyak. Suara konstituen yang mayoritas bersumber dari /grass
root/ harus dibayar dengan memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan
bagi mereka.

/Kedua/, sistem kaderisasi dan regenerasi politik yang masih bercorak
patron-klien dan mengandalkan /public figure/ harus segera ditinggalkan.
Kelemahan sistem seperti ini adalah mandulnya kelahiran kader-kader muda
yang potensial, berkarakter, dan profesional./ /

/Ketiga/, berdiri di atas segala simbol agama dan golongan. Hingga kini
stereotip yang menempel pada partai nasionalis itu adalah PDIP merupakan
kendaraan kubu nonmuslim untuk menjadi tirani minoritas. Sorotan negatif
semacam ini bisa dibendung hanya dengan menegaskan komitmen akan
perjuangan atas nasib orang-orang pinggiran yang telah lama
mendukungnya. Tanpa membedakan agama atau golongan, PDIP tetap menjadi
partainya wong cilik dan berjuang bersama.

Merosotnya dukungan pada Pemilu 2004 -dan semakin terpuruk dalam Pemilu
2009- merupakan pertanda bahwa kepercayaan yang diberikan pascareformasi
telah banyak dikhianati para pejabat partai. Kader-kadernya yang duduk
di legislatif maupun di kursi eksekutif tersangkut korupsi dan
pelanggaran HAM. Terutama potret gagalnya amanat reformasi yang diemban
Megawati sebagai presiden pada waktu itu. Untuk mengembalikan
kepercayaan tersebut, dibutuhkan energi dan waktu yang berlipat.

Profesionalitas kinerja para kadernya juga dipertanyakan sehingga banyak
agenda kerakyatan yang terbengkalai selama PDIP memegang tampuk
kekuasaan. Sebaliknya, PDIP menunjukkan wajah premanisme politik yang
mengandalkan kekuatan anarkistis di berbagai lapisan masyarakat.
Fenomena /rebellious society/ (masyarakat yang suka bergejolak) lebih
banyak dipraktikkan konstituen dan kader PDIP.

Kesalahan fatal pemerintahan Megawati dengan PDIP-nya adalah terlalu
berpihak kepada kelompok pebisnis yang berorientasi pada penumpukan
modal. Banyak aset negara yang strategis jatuh ke tangan swasta asing.

Di sinilah, kata Karl Marx, negara sudah kehilangan otonominya karena
sudah dijadikan /the executive committee of the //bourgeoisie// class/.
Kelas borjuis dengan kemampuan finansial yang besar dapat membeli negara
dan menjadikan negara tidak ubahnya sebagai panitia penyelenggara proyek
borjuis. Gejala itu pun masih berlanjut pada era pemerintahan sekarang.

Menempatkan diri sebagai partai oposisi seperti yang dilakukan lima
tahun lalu, dan mungkin lima tahun ke depan, harus diluruskan agar tidak
semakin memperburuk citra PDIP. Oposisi diambil bukan karena kalah,
namun berniat melakukan mekanisme /control and balances/ terhadap
pemerintahan yang berkuasa. Dengan demikian, PDIP tidak mencari
kelemahan atau merongrong stabilitas pemerintah, tetapi menjaga /rules
of the game/ agar sesuai dengan kepentingan rakyat. *(*)*

/*). Gugun El-Guyanie, staf peneliti Kantata Research Indonesia, Jakarta

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=82423
Share this article :

0 komentar: