Teroris, Teori Konspirasi dan Media
Oleh: Farid Gaban
Laporan intelijen bisa benar dan bisa salah. Tapi, hampir mustahil media melakukan verifikasi terhadap banyak data intelijen. Hanya ada dua kemungkinan: percaya utuh atau meragukan utuh.
Dan kebenaran baru datang umumnya bertahun-tahun kemudian, atau bisa jadi misteri akan tetap jadi misteri sampai kapanpun, meski kepercayaan utuh pada data intelijen telah terlanjur menyebabkan konsekuensi yang sangat merusak.
Kini, delapan tahun setelah Teror 911, dan setelah Rezim George Bush lengser, beberapa media Amerika mulai membicarakan kemungkinan pengadilan terhadap Dick Cheney, wakil presiden, yang dituding merestui cara kotor CIA menangani tersangka teroris dan meminta badan intelijen itu membohongi Kongres.
Pada edisi 20 Juli 2009, majalah Newsweek melansir berita ini (http://www.newsweek.com/id/206300). Jaksa Agung Eric Holder telah menunjuk 10 jaksa untuk kemungkinan menyeret pejabat tinggi di era Bush dengan tuduhan kejahatan melanggar undang-undang domestik maupun hukum internasional.
Diduga atas restu Cheney, CIA menerapkan metode brutal interogasi tersangka teroris (dan pembentukan Guantanamo yang ngawur itu), penangkapan tanpa dasar, penyadapan dan pengintaian yang melanggar prosedur, merencanakan pembunuhan terhadap pemimpin politik asing, serta berbohong kepada Kongres tentang data intelijen yang menjustifikasi serangan ke Irak.
Pengadilan terhadap Cheney ini bisa berlanjut dan bisa pula tidak. Presiden Obama khawatir pengungkapan masalah ini akan membuka kedok kebobrokan sistemik pemerintahan Amerika pada era Bush. Dan akan menjadi pertarungan Demokrat-Republik yang bisa merembet ke mana-mana tanpa kontrol.
Mengapa begitu terlambat media Amerika mendapatkan kesadarannya kembali?
Sistem check-balances demokrasi Amerika yang diagung-agungkan ternyata keropos menyusul Teror 911. Peristiwa dramatis, amarah yang meluap dan prasangka mendalam terhadap Islam, telah menumpulkan daya kritis publik maupun media, sehingga bertahun-tahun kebohongan bisa berjalan. Tumpul daya kritis bahkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana.
Tidak semua kehilangan daya kritis sebenarnya. Sekelompok veteran agen rahasia Amerika yang masih memilki hati nurani sudah sejak 2002 mengingatkan kebusukan praktek intelijen Pemerintahan Bush. VIPS (Veteran Intelligence Professionals for Sanity) telah berteriak dalam memorandum mereka kepada presiden, termasuk mengusulkan pemecatan terhadap Cheney.
Tapi di tengah amarah yang meluap dan prasangka besar pada Islam, peringatan seperti itu terkubur dalam "sampah informasi/disinformasi" tanpa menarik perhatian publik maupun media Amerika.
Kebingungan dan kepanikan menguntungkan kaum demagog, bahkan dalam sistem demokratis seperti Amerika.
Dan kini, setelah bom meledak lagi di Marriot Jakarta, dan Amerika menawarkan "database teroris", masihkah kita akan percaya begitu saja?
Amerika tidak perlu menawarkan secara publik (kecuali untuk menunjukkan kemurahan hati CIA). Database Densus Anti-Teror 88 selama ini sudah sama dengan database CIA.
Beberapa "gembong teroris" Indonesia telah diserahkan kepada Amerika (Anda tidak melihat kejanggalannya?) dan sampai sekarang Indonesia tidak bisa mendapatkan kejelasan tentang keberadaan mereka.
Pelajaran penting bagi media: skeptisisme perlu ditegakkan, lebih awal lebih baik, untuk menanyakan hal-hal sederhana: bagaimana menetapkan sebuah ledakan sebagai teror bunuh diri, bagaimana tersangka diidentifikasi?
Tumpulnya daya kritis menguntungkan kaum demagog dan mereka yang pintar mengail di air keruh.
Tapi, peringatan seperti ini biasanya akan buru-buru dituding sebagai KETOLOLAN "teori konspirasi". Masak Amerika sebusuk itu? Bukankah sudah pasti rangkaian teror ini buah karya teoris Islam yang jahat?
There are conspiracies, not just theories.****
Sumber: http://www.satudunia.net/?q=content/teroris-teori-konspirasi-dan-media
Teroris, Teori Konspirasi dan Media
Written By gusdurian on Senin, 27 Juli 2009 | 11.40
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar