BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Anatomi Sebuah Revolusi yang Tertunda

Anatomi Sebuah Revolusi yang Tertunda

Written By gusdurian on Senin, 27 Juli 2009 | 11.50

Anatomi Sebuah Revolusi yang Tertunda

*Mansoor Moaddel*
Guru Besar Sejarah Sosiologi pada Eastern Michigan University, pengarang
buku /Islamic Modernism, Nationalism, and Fundamentals: Episode and
Discourse/

Konflik yang sekarang berlangsung antara penguasa dan publik di Iran
merupakan akibat dari benturan di antara dua kekuatan yang bertentangan.
Pada tahun-tahun terakhir ini, sikap publik di Iran sudah menjadi lebih
liberal. Pada saat yang sama, kekuasaan telah bergeser dari pragmatisme
konservatif ke fundamentalisme yang semakin militan. Seruan yang
disuarakan kelompok ulama terkemuka di Iran agar hasil pemilihan
dibatalkan merupakan indikasi perlawanan balik, baik oleh kaum reformis
maupun kaum konservatif yang pragmatis.

Tiga puluh tahun setelah revolusi Islam di Iran, rakyat semakin
menunjukkan sikap yang lebih liberal dan kurang menonjolkan agama. Dua
survei tatap muka yang dilakukan atas lebih dari 2.500 orang dewasa pada
2000 dan 2005 dengan jelas menunjukkan kecenderungan ini. Persentase
mereka yang "sangat setuju" bahwa demokrasi merupakan bentuk
pemerintahan paling baik meningkat dari 20 persen menjadi 31 persen.

Begitu juga pada sejumlah pertanyaan mengenai kesetaraan
gender--termasuk kepemimpinan politik, akses yang sama dalam memperoleh
pendidikan tinggi, serta kepatuhan seorang istri--angkanya terus
menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Mereka yang menganggap cinta
sebagai dasar perkawinan meningkat dari 49 persen menjadi 69 persen,
sementara mereka yang bergantung pada persetujuan orang tua turun dari
41 persen menjadi 24 persen. Pada 2005, tercatat persentase yang lebih
besar dibanding pada 2000 di antara mereka yang menganggap dirinya
"pertama-tama sebagai orang Iran", bukan "pertama-tama sebagai muslim".

Kecenderungan ini tidak sulit dipahami. Pemaksaan wacana monolitik agama
pada masyarakat telah membuat nilai-nilai liberal menarik bagi rakyat
Iran. Tapi, walaupun ini tecermin dari kecenderungan-kecenderungan
reformis dalam kehidupan politik yang lebih luas di Iran, suatu gerakan
ke arah fundamentalisme militan telah mengental di dalam struktur
kekuasaan rezim saat ini. Para politikus yang /reform-minded/ patut juga
disalahkan atas terjadinya perubahan ini. Bukannya menentang kekuasaan
absolutis sebagai perintang menuju demokrasi yang agamis, mereka
berupaya membujuk Pemimpin Agung, Ayatullah Ali Khamenei, agar melakukan
reformasi.

Tapi Khamenei tidak punya minat pada reformasi, seperti yang
dibuktikannya dengan membongkar gerakan reformasi. Masa kepresidenan
Mohammad Khatami, seorang reformis sejati, yang berlangsung selama
delapan tahun mulai 1987, meyakinkan Pemimpin Agung bahwa otoritasnya
bakal terjamin hanya oleh kepresidenan yang dipegang oleh seorang
fundamentalis yang patuh seperti presiden saat ini, yaitu Mahmud
Ahmadinejad. Dalam hal ini Khamenei cuma mengikuti langkah Shan Iran
(almarhum) yang mempertahankan Amir Abbas Hoveyda, seorang abdi yang
loyal, sebagai perdana menteri dari 1965 sampai Shah digulingkan pada 1979.

Masalahnya, dengan perhitungan yang dibuat Pemimpin Agung ini adalah
bahwa Ahmadinejad merupakan tokoh yang sulit dikendalikan. Retorika
populis dan fundamentalisme agama yang dibawakannya telah membuat banyak
ulama konservatif-pragmatis serta para pendukungnya menjauhkan diri
darinya. Banyak anggota kelompok ini menghormati kelembagaan hak milik
perorangan, dan ucapan-ucapan Ahmadinejad, yang mengancam akan
meredistribusi kekayaan perorangan, tidak mengena di hati mereka. Yang
lebih merisaukan lagi adalah keyakinan /apocalyptic/ Ahmadinejad akan
datangnya Imam Mahdi dalam waktu dekat ini, yang kemunculannya diyakini
bakal membawa kiamat dan berakhirnya waktu. Biasanya Ahmadinejad selalu
membuka pidatonya di muka umum dengan doa segera kembalinya Imam Mahdi.

Bagi hierarki ulama Syiah, yang terbiasa dengan keyakinan bahwa tibanya
Imam Mahdi masih jauh di masa depan, keyakinan yang dianut Ahmadinejad
ini sangat merisaukan. Mereka sering menganggap klaim orang-orang yang
mengatakan mengalami kontak pribadi dengan Imam Mahdi atau spekulasi
mengenai ketibaannya sebagai sesuatu yang menyimpang dari atau bahkan
melawan agama. Beberapa ayatullah berpendapat bahwa ucapan-ucapan
mengenai datangnya Imam Mahdi ini tidak pantas dikeluarkan seorang
presiden atau lebih buruk lagi, sebagai pertanda seorang pemimpin yang
tidak stabil.

Keprihatinan semacam ini tecermin dalam sikap Society of Combatant
Clergy, sebuah badan yang konservatif, yang tidak dapat menyepakati
pencalonan Ahmadinejad. Pembangkangan terhadap Pemimpin Agung oleh
jutaan rakyat Iran hanya sehari setelah ia dengan tegas mengesahkan
terpilihnya Ahmadinejad telah membawa negeri ini ke dalam krisis
politik. Ditayangkannya secara luas ke seluruh dunia, gambar-gambar
dipukulinya dan terbunuhnya para demonstran telah merusak citra agamis
rezim yang berkuasa di Iran saat ini.

Dalam upayanya keluar dari situasi yang sulit ini, Pemimpin Agung
menyatakan bahwa sengketa pemilihan ini harus diselesaikan melalui jalur
hukum, bukan di jalan-jalan raya. Mengingat perannya dalam membenarkan
hasil pemilihan, argumentasi seperti ini tampaknya bagaikan upaya
mengulur waktu guna membersihkan jalan-jalan dari kaum demonstran,
menempatkan para pemimpin oposisi di bawah tekanan fisik dan psikologis
yang berat, serta mengucilkan Mir Hussein Musawi, yang mengklaim telah
memenangi pemilihan.

Bagaimanapun seruan Khamenei agar dipatuhinya hukum ini cuma
mengumandangkan tuntutan kaum konservatif-pragmatis yang condong ke arah
Musawi, yang tidak berada dalam posisi untuk secara langsung menentang
otoritas Khamenei. Musawi harus dengan hati-hati melanjutkan kampanye
bagi ditegakkannya hukum tanpa menggadaikan kepercayaan yang telah
diperolehnya dari mayoritas rakyat Iran. Ia harus mempertahankan dua
tuntutan utamanya: dibatalkannya pemilihan dan dibentuknya suatu komisi
yang tidak memihak untuk mengeluarkan keputusan mengenai pelanggaran
undang-undang pemilihan oleh pemerintah.

Apabila Musawi berhasil membujuk Khamenei mempertimbangkan kembali
posisinya, cengkeraman kekuasaan di tangan Pemimpin Agung dapat
dilepaskan. Jika Khamenei tetap memegang kekuasaan itu, Musawi memang
tidak akan dapat merebut kursi kepresidenan, tapi ia tetap mewakili
harapan mayoritas rakyat Iran yang berbeda dramatis dengan
pemerintahnya. Untuk sementara ini, apa yang bakal terjadi bergantung
pada kegigihan Musawi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/27/Opini/krn.20090727.172134.id.html
Share this article :

0 komentar: