BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Tauhid dalam Berdemokrasi

Tauhid dalam Berdemokrasi

Written By gusdurian on Rabu, 08 Juli 2009 | 14.46

Tauhid dalam Berdemokrasi

Menjelang masa injury time, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan warga
negara yang tidak terdaftar sebagai pemilih dapat menggunakan hak
pilihnya dengan menunjukkan kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu
keluarga (KK) atau paspor.


MK mengabulkan sebagian permohonan uji materi Pasal 111 (1) Undang-
Undang Nomor 42/2008 yang menyebutkan bahwa yang berhak memberikan
suara adalah warga negara yang tercantum dalam daftar pemilih tetap
(DPT). Keputusan MK ini memberikan harapan penyelenggaraan pemilu
pemilihan presiden/wakil presiden yang lebih demokratis, jujur, dan
adil. Dalam pemilu legislatif yang dilaksanakan 9 April 2009,jutaan
rakyat kehilangan hak politiknya karena namanya tidak tercantum dalam
daftar pemilih tetap (DPT).

Tak pelak lagi, putusan MK ini sarat dengan warna politik.MK
mengeluarkan putusan setelah pasangan capres/cawapares Jusuf Kalla-
Wiranto dan Megawati-Prabowo mempersoalkan DPT yang dikeluarkan komisi
pemilihan umum (KPU). Menurut berbagai analisis, data dalam DPT sarat
masalah karena banyaknya pemilih ganda.Yang lebih parah pagi, berjuta-
juta rakyat yang berhak memilih tidak terdaftar.Kubu Jusuf Kalla dan
Megawati menduga tidak akuratnya DPT merupakan sesuatu yang disengaja
untuk menguntungkan capres SBYBoediyono.

Tidak hanya para politisi yang mempersoalkan DPT. Para tokoh agama
juga gelisah. Mereka bahkan dianggap sudah melangkah terlalu jauh
meninggalkan batasbatas ”wilayah agama”dan memasuki kancah politik
praktis. Mengapa para ulama dan tokoh agama begitu sibuk ”mencampuri”
masalah DPT?

Hak Konstitusional

Alasan pertama,mengapa para ulama ikut terlibat masalah DPT adalah
tugas dan tanggung jawab kenegaraan.Hal ini terkait dengan
keberpihakan dan panggilan moral membela rakyat yang hak-hak
politiknya terampas oleh aturan dan keteledoran administratif.

Secara filosofis dan historis, memilih merupakan hak politik yang
bertaut erat dengan hakikat, harkat dan martabat manusia.Demokrasi
dibangun di atas prinsip dan nilainilai egalitarianisme umat manusia.
Setiap manusia lahir ke dunia sebagai individu yang merdeka. Mereka
memiliki hak-hak yang melekat pada kemanusiaannya. Manusia memiliki
kedudukan yang sama di hadapan hukum.Tidak ada privilese orang kaya
atas orang miskin, laki-laki atas perempuan dan sebagainya.

Atas dasar prinsip ini, dalam demokrasi, manusia tidak dinilai
berdasarkan bagaimana ”isi kepala”, tetapi berapa ”jumlah kepala”.
Para pejuang hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi berjuang berpuluh
tahun untuk memperoleh hak-hak politik rakyat.Tidak sedikit darah
tertumpah demi meruntuhkan benteng feodalisme dan tirani. Dibutuhkan
waktu berabad-abad sehingga perempuan dapat memberikan suaranya di
tengah impitan masyarakat patriarki.

Demokrasi memberikan kesempatan dan peluang kepada siapa saja untuk
tampil sebagai pemimpin atau memilih pemimpinnya. Manusia adalah
makhluk yang berdaulat dan menentukan kedaulatannya sendiri. Sebagai
negara yang menjunjung tinggi, Indonesia menjamin hak memilih bagi
seluruh warga negara. Hak memilih dijamin secara konstitusional di
dalam Pasal 27 (1) dan 28D (1) dan (3) Undang- Undang Dasar 1945,
Pasal 43 Undang-Undang No 39/1999 tentang HAM dan Pasal 25 Undang-
Undang No 12/2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil
and Political Rights (ICCPR).

Seperangkat perundangundangan tersebut secara tegas menyebutkan bahwa
setiap warga negara berhak untuk menyatakan pendapatnya baik secara
lisan maupun tulisan.Mereka juga berhak untuk membentuk organisasi dan
menjalin asosiasi dengan siapa pun sesuai dengan undang-undang yang
berlaku. ICCPR juga menyebutkan secara tegas bahwa siapa pun tanpa
memandang ras,golongan, dan agama,memiliki hak untuk memilih dan
dipilih.

Membela mereka yang kehilangan hak-hak politiknya merupakan tanggung
jawab kemanusiaan. Dalam konteks ini, keterlibatan para tokoh agama
dalam masalah DPT masih berada pada koridor kebangsaan dan kenegaraan.
Mereka tidak terjebak dalam kancah politik praktis.

Tauhid Sosial-Politik

Alasan kedua mengapa para ulama aktif menyikapi masalah DPT adalah
tanggung jawab keagamaan. Menurut pandangan Islam, memenuhi dan
memberikan hak seseorang merupakan kewajiban. Karena itu, mengingatkan
pihak berwenang agar menunaikan kewajibannya adalah tugas dakwah
politik.

Ada dua alasan teologis menyangkut hal ini. Pertama, konstruksi
teologis konsep ”hak” menurut Islam. Secara etimologis, kata ”hak” di
dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab ”haq”. Jika dikaitkan
dengan teologi Islam, haq berarti kebenaran dan realitas.Haq juga
bermaknaTuhan,Alquran,hukum, tanggung jawab manusia di hadapan Tuhan,
hak (bagian) dan tuntutan. Di dalam konsep haq terdapat dua hal yang
menunjukkan keseimbangan dan konsekuensi: tugas sekaligus
hak,kewajiban sekaligus tuntunan,hukum sekaligus keadilan.

Haq juga berarti apa yang pantas bagi segala sesuatu, apa yang membuat
sesuatu menjadi kenyataan dan apa yang membuat sesuatu menjadi benar.
Kata ihqaq yang merupakan derivasi dari haq memiliki pengertian
memenangkan hak seseorang di pengadilan. Adapun kata turunan lainnya,
tahqiq, memiliki dua makna: memastikan kebenaran sesuatu dan
meletakkan kebenaran pada tingkat yang paling tinggi (Seyyed Hossein
Nasr, 2003: 343).

Dalam perspektif ini manusia tidak bisa bermain-main dengan hak karena
ia tidak hanya berhubungan dengan rule of the game yang bersifat
profan, tetapi jauh lebih tinggi berhubungan dengan dimensi
transendental. Kedua,pemahaman konsep tauhid dalam konteks sosial-
politik. Dalam tafsir sosial-politik, tauhid memiliki dimensi dan
pengertian yang sangat luas.

Menurut Amien Rais di dalam Tauhid Sosial: Formula Menggempur
Kesenjangan Sosial (1998), tauhid memiliki lima makna. Pertama, unity
of God (kesatuan Tuhan).Manusia menyembah hanya kepada Tuhan, tidak
menyekutukan-Nya dengan yang lain. Kedua, unity of creation (kesatuan
makhluk). Manusia, binatang, tumbuhan, dan seluruh isi alam semesta
adalah makhluk. Manusia tidak boleh menyembah, memperbudak, atau
merusak sesama makhluk Tuhan.Ketiga,unity of mankind (kesatuan umat
manusia). Pada dasarnya,manusia adalah umat yang satu.

Di hadapan Tuhan, mereka memiliki kedudukan yang sama. Perbedaan di
antara manusia disebabkan oleh amal perbuatannya, bukan garis
keturunan, harta,atau jabatannya. Dimensi yang keempat adalah unity of
guidance(kesatuan tuntunan hidup). Tuhan mewahyukan Alquran sebagai
petunjuk bagi seluruh umat manusia. Alquran tidak hanya eksklusif bagi
orang Islam. Di dalamnya terdapat ajaran- ajaran universal yang
“mempersatukan” agama-agama.

Kelima, unity of the purpose of life (kesatuan tujuan hidup). Semua
manusia mendambakan kebahagiaan dalam kehidupan di dunia dan akhirat.
Karena itu,manusia tidak boleh egoistis, selfish, dan mementingkan
kebahagiaan diri sendiri. Merampas hak dan kebahagiaan orang lain
sangat bertentangan dengan prinsip tauhid. Menghilangkan kesempatan
seseorang untuk memilih barangkali dapat dikategorikan melawan tauhid.
Para ulama telah melaksanakan tugas kebangsaan dan keagamaan.

Melalui putusan MK, setiap warga negara berkesempatan untuk
menggunakan hak politiknya. Karena itu, sebagai tanda syukur dan
tanggung jawab sudah seharusnya jika rakyat menentukan pilihan.
Seyogianya, pemerintah, KPU, dan seluruh lembaga yang terkait dengan
penyelenggaraan pemilu presiden/wakil presiden memberikan pelayanan
yang terbaik, sehingga setiap warga negara dapat memberikan suara
dengan aman,merdeka,dan rahasia. Walau hanya beberapa menit, memilih
adalah bagian penting demokrasi.Tetapi, demokrasi bukanlah semata-mata
persoalan memilih atau dipilih.Bukan persoalan menang-kalah.

Memilih adalah wujud kemerdekaan dan aktualisasi harkat kemanusiaan.
Demokrasi meniscayakan perbedaan pilihan.Tauhid merajut persatuan dan
persaudaraan.Tetap bersatu dan bersaudara di tengah perbedaan pilihan.
Inilah makna tauhid dalam berdemokrasi.(*)

Abdul Mu’ti
Direktur Eksekutif CDCC Jakarta

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253054/
Share this article :

0 komentar: