BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mari Berpesta Hari Ini

Mari Berpesta Hari Ini

Written By gusdurian on Rabu, 08 Juli 2009 | 14.48

Mari Berpesta Hari Ini

Hari ini, 8 Juli 2009, lebih dari seratus tujuh puluh juta rakyat
Indonesia akan menunaikan haknya dalam pemilihan presiden secara
langsung.

Tiga pasang kandidat saling bersaing untuk merebut kepemimpinan
politik lima tahun ke depan: Megawati-Prabowo, SBY-Boediono, dan JK-
Wiranto.Siapa pun yang menang, mereka akan menjadi presiden kita,
presiden Indonesia, bukan hanya presiden pendukung, apalagi tim
sukses. Pemungutan suara hari ini terasa lebih spesial karena ada kado
istimewa dari Mahkamah Konstitusi (MK), berupa putusan yang
membolehkan pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap
(DPT) dan daftar pemilihan tambahan untuk menggunakan haknya dengan
menunjukkan KTP atau paspor.

Putusan yang dibacakan pada sidang 6 Juli lalu itu diperkirakan dapat
menyelamatkan jutaan warga yang tadinya bakal kehilangan hak memilih,
yang jumlahnya tidak sedikit—bahkan ada yang menyebut hingga 49 juta.
Putusan MK itu lebih bernilai bila warga negara berduyun-duyun ke
tempat pemungutan suara (TPS) yang akan dibuka pada pukul 8–13.00.
Khusus kepada pemilih non-DPT, giliran mereka memilih baru pukul 12.00
hingga TPS ditutup pada pukul 13.00.

Di antara kita, tentu ada yang skeptis terhadap prosesi bernama
pemilu. Mereka menilai pemilu tidak menghasilkan apa-apa, kecuali
hiruk-pikuk yang tak berkesudahan dan perpecahan di mana-mana.
Terhadap pendapat demikian, kita tetap harus menghormati. Di alam
demokrasi ini, memilih atau tidak memilih dalam pemilu adalah hak,
belum dikonstruksikan sebagai kewajiban sebagaimana di Australia.

Putusan MK baru sebatas melindungi hak bagi warga non-DPT, tetapi soal
penggunaan terpulang pada pemilih sendiri. Namun alangkah baiknya bila
kita memberi makna atas putusan tersebut dengan datang ke TPS,
menentukan pilihan terhadap satu dari tiga calon yang ada,siapa pun
dia.

Tradisi Gentleman

Seperti halnya pemilu legislatif yang diselenggarakan pada 9 April
lalu, pemenang pemilu kali ini pun pasti sudah bisa ditentukan, bahkan
jauh lebih mudah dan cepat karena hanya menyangkut perkara tiga pasang
calon yang namanya tertera di kertas suara (ballot paper).

Alangkah indahnya bila yang menang dan yang kalah tetap dapat bertegur
sapa. Ketika kalah dalam pemilihan presiden AS 2008, John McCain
segera menelepon Barrack Obama yang baru ditahbiskan sebagai pemenang.
Di depan pendukungnya pada malam setelah pemungutan suara, McCain
berujar, “I wish godspeed to the man who was my former opponent and
will be my president.” (Saya mendoakan segala kebaikan kepada mantan
pesaing dan yang akan menjadi presiden saya).

Dilanjutkan lagi McCain, ”These are difficult times for our country.
And I pledge to him tonight to do all in my power to help him lead us
through the many challenges we face.” (Saat ini adalah masa-masa yang
sulit bagi negara kita. Dan saja berjanji kepadanya malam ini untuk
mencurahkan segenap upaya dalam membantunya memimpin kita keluar dari
tantangan yang kita hadapi).

Penghargaan yang sama juga keluar dari mulut Obama terhadap McCain.
“I just received a very gracious call from Senator McCain. He fought
long and hard in this campaign, and he’s fought even longer and harder
for the country he loves. He has endured sacrifices for America that
most of us cannot begin to imagine,…”(Saya baru saja mendapat telepon
yang bersahabat dari Senator McCain.Dia berjuang keras dalam kampanye
ini.

Dia bahkan telah berjuang lebih lama dan lebih keras bagi negara yang
dia cintai. Dia telah berkorban untuk Amerika yang sebagian besar dari
kita yang membayangkannya pun tidak). Sayangnya,tradisi politik
Indonesia jauh dari sikap gentleman. Mereka yang kalah dengan begitu
mudahnya menyatakan bahwa pemilu curang.Tidak pernah ada sikap yang
mau mengakui kemenangan lawan. Sore setelah TPS ditutup pada pukul
13.00, rakyat kembali akan menyaksikan apakah tradisi politik tersebut
telah berubah.

Apakah yang kalah akan menelepon pemenang dan mengucapkan selamat atas
kemenangannya, ataukah buru-buru menyatakan pemilu berlangsung curang
dan penuh rekayasa sang pemenang. Jawabannya tidak butuh lama,cukup
beberapa jam setelah TPS ditutup pada pukul 13.00 hari ini.

Tugas Bersama

Kecurangan dalam bahasa sang pecundang bisa jadi dipicu oleh titik
krusial tertentu,salah satunya putusan MK.Kendati putusan tersebut
disambut dengan sukacita oleh banyak warga, termasuk oleh kandidat
sendiri, bisa jadi justru akan menjadi sasaran tembak kalau
pelaksanaannya tidak dikawal dengan baik.

Mereka yang merasa memiliki KTP tiba-tiba merasa berhak untuk memilih
berkali-kali dengan identitas yang mereka miliki. Bisa jadi di
lapangan banyak yang tidak peduli bahwa putusan MK membatasi pemilik
KTP untuk memilih di wilayah RT/RW di mana KTP tersebut dikeluarkan,
tidak di sembarang tempat. Mereka tetap memaksa untuk memilih dan bila
tidak diizinkan akan memunculkan protes yang akhirnya akan mencederai
pro-sesi Pilpres 2009.

Saya sendiri sebenarnya menyesalkan putusan MK tersebut yang masih
setengah hati.Filosofi putusan kurang bisa dicerna nalar yang sehat.
Di satu sisi,MK menyatakan bahwa hak memilih (the right to vote)
adalah hak asasi manusia yang tidak boleh dihilangkan hanya karena
persoalan teknisadministratif. Di sisi lain, masih membuat pembatasan
tertentu yang berpotensi menghilangkan hak memilih warga negara yang
kebetulan sedang berada jauh di luar wilayah KTP yang dia punyai.

Masalah yang tidak kalah krusialnya adalah sampainya informasi ke
publik dan petugas KPPS akan putusan MK.KPU harus betul-betul
memastikan bahwa informasi tersebut sampai ke jajaran pelaksana pemilu
di tingkat bawah, selain kepada pemilih.Komunikasi harus terus dijaga
hingga hari ini ketika lebih dari seratus juta warga akan
memilih.Tugas KPU menjadi jauh lebih ringan karena sejak putusan
dibacakan, secara terus-menerus media massa memberitakan.

Selain KPU dan jajarannya, komponen yang tidak kalah penting adalah
Bawaslu dan jajarannya. Pengawasan pemilu harus berjalan dengan baik
di semua tingkatan. Tidak ada alasan bila pengawasan lebih buruk
karena faktanya pilpres jauh lebih sederhana dibanding pemilihan
legislatif.Adanya pengawas lapangan sejak Pemilu 2009 sebenarnya
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pengawasan.

Bila pengawasan masih lemah juga,tentu menjadi pertanyaan besar di
kemudian hari untuk mempertahankan eksistensi para pengawas
pemilu,yang di banyak negara bahkan tidak dibutuhkan. Yang tak juga
kalah pentingnya adalah peran saksi-saksi dari pasangan calon.
Pemilihan anggota legislatif pasti tidak sama dengan pemilihan
presiden. Dalam pemilihan anggota legislatif, bisa jadi kandidat tidak
punya saksi yang memadai sehingga tidak berdaya apa-apa ketika suara
yang didapat dicurangi, baik oleh pesaing dari partai lain maupun
rekan dari partai sendiri.

Fenomena yang jamak dalam pemilihan anggota legislatif adalah
seringnya kecurangan terjadi bukan antarparpol,melainkan antarcaleg
dari parpol yang sama atau berbeda. Pasangan capres seharusnya
memiliki saksi di semua TPS. Tidak ada gunanya iklan puluhan miliar
yang telah digelontorkan bila suara tidak dikawal, bila mereka tidak
menghadirkan saksi di setiap TPS. Dalam alam demokrasi seperti saat
ini,rasanya agak mustahil bila ada satu kekuatan yang bisa menentukan
hasil pemilihan.

Yang ada adalah mental jelek kandidat untuk mencari kambing hitam bila
hasil pemilu tidak memuaskannya. Hari ini, lebih dari seratus juta
warga akan memilih.Mereka yang memilih tersebut tentu ingin
menyaksikan Pilpres 2009 berakhir indah.Pemilu dan pilpres sejatinya
adalah pesta, pesta rakyat.Karena itu, marilah kita berpesta hari ini
dengan mendatangi TPS-TPS sekaligus menyaksikan penghitungan suara.(*)

Refly Harun
Pengamat Hukum Tata Negara dan Pemilu CETRO

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/253057/
Share this article :

0 komentar: