Setelah Pilpres Usai
PEMILIHAN presiden (pilpres) langsung baru saja usai. Penghitungan suara
secara manual untuk menentukan angka pasti hasil pilpres masih dilakukan
Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kendati begitu, hasil penghitungan cepat oleh berbagai lembaga survei
telah menyatakan pasangan nomor 2, SBY-Boediono, ditengarai akan menjadi
pemenang. Sejalan dengan itu, dinamika politik di tiga kubu politik
mulai tampak. Di kubu pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto,
masih tampak upaya untuk mengungkap adanya berbagai kecurangan yang
dilakukan KPU.
Berbagai upaya itu jangan dipandang negatif sebagai ungkapan yang tidak
menerima kekalahan, melainkan harus dilihat sebagai hal positif agar
pilpres benar-benar bersih dari berbagai kejanggalan.Selain untuk
menguji apakah pilpres berlangsung luber dan jurdil, ini juga amat
berharga bagi perbaikan pelaksanaan pilpres ke depan serta penguatan
konsolidasi demokrasi.
Hingga kini kubu pasangan nomor 1 ini masih tetap solid. Soliditas ini
bukan mustahil akan terus bertahan sampai lima tahun ke depan, saat
pelaksanaan Pilpres 2014 berlangsung. Bukan mustahil PDIP dan Partai
Gerindra akan tetap memosisikan diri sebagai partai oposisi yang loyal
di parlemen selama lima tahun mendatang.
Posisi oposisi dapat saja berubah jika di dalam PDIP muncul kembali
gagasan untuk menerima tawaran kubu SBY-Boediono untuk masuk ke kabinet,
seperti yang terjadi menjelang pilpres lalu. Namun, jika sang Ketua Umum
PDIP Megawati Soekarnoputri tetap tegar, PDIP akan mengulang kembali
posisinya sebagai partai oposisi di parlemen mendatang.
PDIP dan Gerindra,jika tetap solid, bukan mustahil akan menyiapkan
kader-kader mudanya untuk bertarung lima tahun mendatang,dengan Prabowo
Subianto sebagai mata panah utama yang akan dilesatkan. Persoalan
internal di PDIP dan Gerindra tampaknya dapat diselesaikan secara baik,
mengingat Megawati dan Prabowo memegang posisi kunci di partai
masing-masing.
Regenerasi di dalam partai masingmasing akan berjalan mulus tanpa
entakan politik yang amat berarti seperti dalam kasus PDIP pasca-Pilpres
2004 yang menyebabkan pecahnya partai berlambang banteng moncong putih
yang gemuk itu. Pada kubu pasangan nomor 2, SBY-Boediono,mulai tampak
geliat politik untuk memperebutkan kursi-kursi di kabinet,walau untuk
menempatkan wakil kubu ini di kursi ketua DPR mereka tampak solid.
Problem utama yang dihadapi kubu ini ialah persoalan “hak prerogatif
presiden”yang tidak dapat diganggu gugat.Namun, jika senjata pamungkas
ini terus dipakai oleh Partai Demokrat,ini dapat mengikis habis proses
dialog yang merupakan esensi dari demokrasi. Lebih buruk lagi jika
istilah “hak prerogatif presiden” ini semakin menjurus pada sistem
otoritarianisme baru.
Problem kedua yang terkait dengan yang pertama di atas ialah ungkapan
bahwa SBY akan lebih mengutamakan kaum profesional masuk kabinet,
ketimbang politisi dari partai-partai politik. Di satu sisi,ini
mengandung sisi positif persis ketika Bung Karno memerintahkan Ir
Djuanda membentuk “kabinet ahli” atau zakenkabinet pada pertengahan 1957
setelah kabinet Ali Sastroamidjojo yang menandai awal dari keberakhiran
sistem Demokrasi Konstitusional/ Demokrasi Parlementer.
Ini juga mirip dengan keputusan Presiden Soeharto yang dalam menyusun
kabinetnya selalu mengutama kan keahlian dan teknokrasi ketimbang asal
partai. Dari sisi lain, ini juga dapat mengandung unsur negatif, yakni
merosotnya secara tajam demokrasi konstitusional jilid dua yang berarti
pula menafikan keberadaan kader-kader profesional dari partai-partai
politik.
Padahal, kita tahu bahwa profesionalisme dan politisi dapat merupakan
dua sisi dari mata uang yang sama. Meremehkan kader partai yang
profesional sama saja membunuh secara perlahan sistem demokrasi kita ke
depan. Mari kita tunggu apakah SBY akan konsisten dengan pernyataannya
ataukah justru, misalnya, lebih memasukkan kaum ”mullah”/ ideolog dari
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), ketimbang kaum profesional muda dari
partai yang sama ke dalam jajaran kabinet yang akan dibentuknya.
Jika ini terjadi, SBY akan selalu dipandang sebagai pemimpin yang sering
konsisten dengan ketidak konsistenannya, termasuk dalam memenuhi
janji-janji politiknya pada masa kampanye. Pada kubu pasangan nomor 3,
JK-Wiranto,geliat internal di Partai Golkar semakin dinamis.
Dua partai pendukung utama pasangan ini, masa depannya amat suram.Golkar
dan Partai Hanura, jika tidak dikelola dengan apik, dapat menuju pada
”senjakala” yang akan melenyapkan kedua partai ini dalam sistem politik
Indonesia.
Untuk mudahnya, kita tidak tahu masa depan Partai Hanura jika Wiranto
tidak memiliki semangat kembali untuk memimpin dan membesarkan partai
ini ke depan.Bagi Golkar,bukan konsolidasi politik yang mereka lakukan,
malah kini sudah mulai ribut untuk “menggulingkan”sang ketua umum, Jusuf
Kalla, melalui musya-warah nasional luar biasa (munaslub).
Padahal Kalla sudah berjanji,jika dia kalah pada pilpres, dia akan
lengser melalui musyawarah nasional yang dipercepat,tanpa didesak dari
mana pun. Sebagian pimpinan Golkar di pusat dan daerah menunjukkan bahwa
mereka adalah“kader-kader terburuk ”Partai Golkar,ketika mereka
mempertanyakan kepemimpinan Kalla sebagai akibat merosotnya suara
JKWiranto pada pilpres yang lalu, lebih rendah daripada perolehan suara
Golkar pada pemilu legislatif April lalu.
Mereka tidak seperti kader-kader PDIP dan Gerindra
yangmempertanyakankemungkinan adanya kecurangan pada pilpres yang lalu,
termasuk bermainnya “tangan-tangan halus” yang mirip operasi intelijen
yang membuat angka-angka perolehan ketiga pasangan di setiap provinsi
secara statistik “menakjubkan”—kalau tidak bisa disebut aneh.
Para kader utama Partai Golkar bukannya mempertanyakan apa yang sudah
mereka lakukan di lapangan selama kampanye pilpres lalu untuk mendukung
ketua umum mereka agar terpilih menjadi presiden, justru menjatuhkan
kesalahan semata pada Kalla.
Kader-kader partai semacam ini tidak akan menjadi pemimpin partai yang
baik di masa depan, karena selalu ingin lepas dari tanggung jawab,
tetapi ribut memperebutkan posisi penting dalam partai.Jika ini terus
berlangsung, kita tinggal menunggu waktu, dalam dua pemilu mendatang
Partai Golkar akan menjadi partai paria, tak sejantan dan setangguh pada
era Orde Baru. Mungkin ini nasib dari partai karbitan di masa lalu yang
tidak tahan banting tanpa didukung birokrasi dan militer.(*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang Intermestic
Affairs LIPI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/254660/38/
Setelah Pilpres Usai
Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 12.46
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar