BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Melihat Dapur Lembaga Survei saat Menyiapkan Quick Count

Melihat Dapur Lembaga Survei saat Menyiapkan Quick Count

Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 12.11

Melihat Dapur Lembaga Survei saat Menyiapkan Quick Count (1)
*Untuk Menjaga Independensi, Rogoh Kocek Pribadi Rp 1 M *

Keakuratan hasil dan kepercayaan publik merupakan segalanya bagi lembaga
survei. Karena itulah, Lembaga Survei Indonesia (LSI) pimpinan Saiful
Mujani rela mengembalikan dana dari salah satu pasangan capres-cawapres
untuk menyelenggarakan /quick count/ pada pilpres 8 Juli lalu.

*DIAN W. - AGUNG P., Jakarta *

---

*BERBEDA* dengan hasil survei tentang popularitas capres yang dilansir
sebelum pemilu presiden (pilpres), hasil hitung cepat (/quick count)/
pemungutan suara relatif tak banyak dipersoalkan. Padahal, hasil hitung
cepat yang ditayangkan sejumlah stasiun televisi itu sebenarnya tak jauh
berbeda dari hasil survei sebelumnya.

LSI, misalnya, telah mengumumkan bahwa hasil akhir hitung cepat
menunjukkan pilpres berlangsung satu putaran dengan kemenangan
SBY-Boediono dengan 60,82 persen suara. Kemudian, disusul pasangan
Mega-Prabowo (26,57 %) dan JK-Wiranto (12,61 %). Hal itu tak berbeda
jauh dari hasil survei mereka hingga beberapa hari sebelum pilpres 8
Juli lalu. "Kami ini terus dicaci, tapi yakin masih dicari," ujar
peneliti utama LSI, Saiful Mujani, di kantornya, Kamis lalu (9/7).

Dia menyatakan tidak pernah berusaha menyalahkan masyarakat yang masih
menganggap miring hasil/ polling /hingga saat ini. Pihaknya hanya
berusaha menjaga kualitas lembaga surveinya.

"Sebab, lembaga survei /abal-abal/ (fiktif, Red), realitanya memang juga
masih ada," kata lulusan Ohio State University, Amerika Serikat,
tersebut. Lembaga survei semacam itulah, menurut dia, yang telah merusak
kepercayaan publik. "Mereka /release/ /doang/ ke media, konsentrasinya
hanya pada opini, bukan data," keluhnya.

Dia membenarkan bahwa di Indonesia masih banyak lembaga yang tidak
pernah melakukan survei, tapi berani mengumumkan hasil. Termasuk,
lanjutnya, pelaksanaan /quick count/ lalu. Dia menduga, di antara
sejumlah lembaga yang mengaku melakukan hitung cepat dalam pilpres
sebenarnya tidak melakukannya. "Kami sering ditantang untuk menutup
lembaga kalau ternyata salah (hasil surveinya), ya kita tahu sendiri
siapa yang akhirnya menutup," sindirnya sambil tersenyum.

Menjelang pilpres lalu, banyak hasil survei yang bertebaran di media.
Bahkan, beberapa lembaga mengumumkan hasil yang sangat kontras antara
satu dan lainnya. "Kalau kami, hanya berusaha profesional saja.
Kepercayaan dalam pekerjaan seperti ini sangat penting. Masyarakat bisa
menilai siapa yang benar-benar kredibel," tutur Saiful.

Untuk yang kesekian, dia mengakui secara terbuka bahwa biaya survei
dalam pilpres lalu berasal dari pasangan SBY-Boediono. Melalui Fox
sebagai konsultan pasangan tersebut, LSI diminta memotret opini publik
terkait pilpres.

Pengakuan itulah yang kemudian mengundang pandangan miring sejumlah
pihak. Independensi LSI pun dipertanyakan. "Biaya melaksanakan survei
itu mahal, kalau kami sendiri, tidak mungkin, dapat dari mana dananya?"
paparnya.

Keraguan banyak pihak saat itu memang cukup memengaruhi posisi lembaga
tersebut. Khusus untuk pelaksanaan /quick count/, mereka akhirnya
memutuskan untuk mengembalikan dana yang sudah diperoleh dari tim
SBY-Boediono. Mereka memilih merogoh koceknya sendiri dalam pembiayaan itu.

Saiful mengungkapkan, dana sekitar Rp 1 miliar telah dikeluarkan untuk
pembiayaan /quick count/. Dana tersebut hanya sebagian dari total biaya
yang dibutuhkan. Sebagian dana yang lain ditanggung Trans Corp sebagai
pihak yang menayangkan. "Kami ambilkan dari kas yayasan," jelasnya.

Dana itu digunakan untuk membiayai 2.116 relawan yang disebar ke TPS di
berbagai wilayah di Indonesia. Ditambah lagi, sekitar 370 orang petugas
/spot checker standard/. Belum lagi, sejumlah petugas pengolahan data.
"Seperti halnya prosedur dan metodologi, mereka (relawan, Red) kami
perlakukan juga dengan stadar sangat ketat," ungkap Saiful.

Ketatnya prosedur tersebut betul-betul dipahami para petugas di
lapangan. "Karena itu, setiap kami turun memantau, selalu saja ada
cerita lucu hingga mengharukan dari relawan itu," tambahnya.

Misalnya, ketika ada seorang relawan yang bertugas untuk mendapatkan
seorang responden yang telah ditentukan di pedalaman Papua. Setelah
melakukan wawancara, dia tidak bisa segera pulang dan harus menginap
beberapa hari karena tidak ada transportasi lagi yang lewat. "Termasuk,
ada yang kakinya harus diamputasi karena kecelakaan sepulang wawancara,"
pungkas Saiful. *(agm)

http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=79850

*Senin, 13 Juli 2009 ]
Melihat Dapur Lembaga Survei saat Menyiapkan Quick Count (2)
*Siapkan Relawan yang Kuat Mental dan Fisik*

Selain Lembaga Survei Indonesia (LSI), Cirus Surveyors Group juga tak
kalah soal kualitas hasil survei. Bagaimana tim di lembaga pimpinan
Andrinof Chaniago itu bekerja?

*AGUNG P.-DIAN W., Jakarta*

*---*

*ORGANISASI* di Cirus Surveyors terbagi dalam tiga lapis. Yakni, tim
inti, koordinator wilayah, dan tim relawan. Jumlah yang paling banyak
berasal dari kalangan relawan. Tim yang langsung bersinggungan dengan
pemilih dari seluruh daerah di nusantara itu berjumlah 2 ribu orang.

''Kami kan mengumpulkan data dari 2 ribu TPS. Jadi, satu relawan satu
TPS,'' kata Direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group Andrinof Chaniago
saat ditemui di Jakarta Sabtu (11/7). Sisanya terbagi dalam dua pos tim.
Yakni, tim inti yang berkedudukan di Jakarta dan tim koordinator wilayah
yang membawahkan sejumlah kelompok dapil. Kalau ditotal, semua tim di
lembaga survei tersebut mencapai 2.150 orang.

Cirus tak mau sembarangan merekrut relawan. Sebab, mereka adalah ujung
tombak rangkaian proses survei. Kalau mereka tak berkualitas, hasil
survei bisa cacat dan tidak qualified. Karena itu, kebanyakan mereka
direkrut dari kalangan mahasiswa. Setelah direkrut, calon relawan harus
mengikuti serangkaian training dan pembekalan. Mulai prosedur pengisian
form survei hingga pembinaan mental. ''Fisik mereka juga harus kuat
karena ada yang masuk ke daerah-daerah terpencil,'' kata Andrinof yang
juga ketua umum Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) itu.

Ikatan antara Cirus dan relawan pun dibangun. Dosen di Departemen Ilmu
Politik FISIP Universitas Indonesia (UI) tersebut mengatakan, Cirus
membangun semacam community development bersama mereka. Acaranya seputar
diskusi dan pelatihan pengembangan diri. Para relawan juga terdaftar
dalam sebuah database. Selain untuk merekam kinerja mereka, database
tersebut bisa digunakan untuk menghubungi mereka apabila ada order
survei lagi.

Selain itu, database berfungsi mengontrol relawan. Relawan yang terbukti
nakal dalam survei bisa langsung dicoret dan tidak dipakai selamanya.
''Kan ada relawan yang survei diisi sendiri, kemudian tidak mendatangi
daerah yang menjadi sampel, dan sebagainya. Kalau terbukti melanggar,
langsung dikeluarkan dan di-blacklist,'' jelas lelaki 46 tahun itu.

Agar relawan tidak tidak main-main dalam melakukan survei, Cirus
memiliki mekanisme sendiri. Mereka membuat semacam kupon yang disobek
jadi dua. Satu kupon untuk responden, satunya lagi untuk dikumpulkan ke
kantor titik pengecekan terdekat. ''Nah, kupon itu lantas dicek. Dari
semua kupon yang dikirimkan di titik pengecekan itu, diambil 10 persen
untuk validasi,'' katanya.

Untuk pengiriman data, relawan memanfaatkan teknologi pesan singkat
alias short message service (SMS) yang dikirim langsung ke server Cirus
di pusat. Data tersebut langsung dikirim saat penghitungan di TPS
rampung. Yang paling susah adalah relawan-relawan yang kebagian sampel
di daerah terpencil. Tidak ada sinyal, apalagi sambungan telepon.
''Mereka harus segera menuju kantor kelurahan terdekat atau daerah yang
ada sinyalnya. Maka, fisik relawan harus kuat,'' tuturnya. *(agm)

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=80003

*Selasa, 14 Juli 2009 ]
Melihat Dapur Lembaga Survei saat Menyiapkan Quick Count (3-Habis)
*Pilpres Satu Putaran Jadi Taruhan*

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dipimpin Denny J.A. kerap
mengundang kontroversi di tengah publik. Suara miring semakin keras ke
arah Denny setelah dirinya menjadi motor iklan pilpres satu putaran di
sejumlah media. Bagaimana sebenarnya mereka bekerja?

*DIAN W.-AGUNG P., Jakarta*

---

*SELAIN* akurasi hasil, kecepatan mengolah data memang menjadi capaian
yang selalu ingin diraih LSI. Hal itulah yang menjadi salah satu daya
tarik lembaga survei sekaligus konsultan politik yang didirikan sejak
akhir 2004 tersebut.

''Kami pun sudah membuktikan selalu menjadi (lembaga) yang tercepat
mengumumkan hasil quick count sejak pemilu legislatif lalu,'' ujar
Direktur Eksekutif LSI Denny J.A. kepada Jawa Pos di Jakarta kemarin
(13/7).

Demi capaian tersebut, sejumlah resep khusus diterapkan, selain tentu
saja penggunaan teknologi informasi sebagai sarana pendukung. LSI juga
telah memotong mata rantai pelaporan yang lazim diterapkan. ''Cara kerja
diefisienkan,'' ungkap peraih PhD dari Ohio State University, AS, bidang
comparative politics and business history tersebut.

Para relawan yang bertugas di lapangan tidak lagi mengirim bertingkat
lewat jalur koordinasi di kabupaten maupun provinsi. Mereka langsung
mengirimkan data laporan melalui SMS ke server pusat pengolahan data di
Jakarta. ''Kami juga bekali dengan sandi-sandi rahasia agar data tetap
terjaga baik saat sampai di pusat,'' jelas Denny.

Untuk menjaga kualitas, LSI juga memiliki sejumlah prosedur. Yang
pertama mereka lakukan adalah memisahkan divisi riset dari divisi
konsultan. Divisi riset tidak perlu tahu siapa klien yang sedang
ditangani. ''Bahkan, antara masing-masing petugas di lapangan dibuat
agar tidak saling mengenal,'' papar bapak dua anak itu.

Untuk melakukannya, sejak perekrutan, para relawan diambil dari sumber
yang berbeda. Tak ketinggalan, sebelum diturunkan ke lapangan, mereka
di-training sekitar tiga minggu.

Semua upaya menjaga kualitas dan kecepatan itu, menurut Denny, ditujukan
untuk menjaga napas panjang lembaga. ''Kami ingin tetap bertahan hingga
puluhan tahun,'' tegas pria kelahiran Palembang, 4 Januari 1963, tersebut.

Pada quick count pilpres 2009, LSI melibatkan dua ribu relawan yang
disebar di TPS-TPS di 33 provinsi. Pemilihan TPS dilakukan dengan teknik
multistage random sampling. Hasilnya diklaim memiliki margin of error
sekitar 1 persen.

Selain itu, 200 petugas checker diturunkan ke lapangan untuk mengecek
kebenaran data yang dipilih secara sampling pula. ''Kualitas quick count
kami telah dinikmati publik. Kecaman yang datang bergelombang sebelumnya
telah berbalik menjadi pujian,'' kata Denny lantas tersenyum bangga.

Hitung cepat hasil pilpres yang dilakukan bersama sejumlah lembaga lain
secara bersamaan dalam pemilihan presiden 8 Juli lalu itu memang menjadi
pertaruhan penting bagi LSI. Sebab, dua minggu sebelum pelaksanaan
pemungutan suara, mereka berani menyebut pilpres akan berlangsung satu
putaran. ''Kami bisa hancur jika ternyata saat itu salah. Semua ini
menyangkut kredibilitas lembaga,'' ujarnya.

Denny mengaku, iklan tersebut dikeluarkan memang dengan risiko cukup
tinggi. Sebab, selain didasari keyakinan atas keakuratan hasil survei
terakhir yang mereka lakukan sebelumnya, kesimpulan pilpres satu putaran
tersebut diambil melalui analisis kondisi politik saat itu.

Hasil quick count LSI pada pilpres lalu memang menunjukkan bahwa
perolehan suara SBY-Boediono memenuhi syarat untuk menang satu putaran.
Selain kemenangan yang hampir merata di setiap provinsi, SBY-Boediono
berhasil meraih 60,17 persen suara. Jauh melebihi Mega-Prabowo yang
hanya menangguk 27,27 persen suara dan JK-Wiranto yang mendapat 12,55
persen suara. Hasil itu tidak jauh berbeda dari quick count lembaga
survei lainnya. *(tof)*
http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=80189
Share this article :

0 komentar: