BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Prospek Ekonomi Indonesia Pasca-Pemilihan Presiden

Prospek Ekonomi Indonesia Pasca-Pemilihan Presiden

Written By gusdurian on Selasa, 28 Juli 2009 | 11.31

Prospek Ekonomi Indonesia Pasca-Pemilihan Presiden

*Sunarsip*

# Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence, Jakarta

Kita baru saja melangsungkan hajatan politik terbesar: pemilihan
presiden. Dan kita sudah sama-sama tahu (meski belum final), pasangan
Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono akhirnya memenangi pemilihan umum
presiden. Sayangnya, pemilu presiden yang berlangsung tertib dan damai
ini tiba-tiba dinodai aksi teror bom yang terjadi di Jakarta. Teror bom
ini seolah menjadi antiklimaks dari proses pemilu presiden yang aman.
Pertanyaannya: apakah teror bom ini akan menjadi batu sandungan yang
berarti bagi ekonomi kita? Bagaimana prospek ekonomi Indonesia
pasca-pemilu presiden ini?

Kemenangan SBY-Boediono menandakan bahwa masyarakat masih menaruh
kepercayaan kepada SBY untuk membawa Indonesia (khususnya ekonomi) ke
arah yang lebih baik. Meski demikian, harus dipahami bahwa kinerja
ekonomi sesungguhnya merupakan kombinasi banyak faktor: kepemimpinan,
kebijakan, dan momentum. Dan, selama pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla, kombinasi beragam faktor inilah yang membentuk
dinamika ekonomi kita.

Penulis masih ingat, ketika kampanye pada Pemilu 2004, salah satu kunci
sukses kemenangan SBY-JK adalah karena program-program ekonominya yang
menarik: pertumbuhan ekonomi 7,6 persen pada 2009, mengurangi angka
pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen pada 2009 dari 10,1 persen pada
2003, dan menurunkan angka kemiskinan menjadi 8,2 persen pada 2009 dari
17,4 persen pada 2003. Apakah semua program SBY-JK tersebut dapat
terealisasi? Jawabnya: tidak satu pun yang dapat direalisasi.

Meski begitu, masyarakat tetap memberikan kepercayaan kepada SBY (minus
JK) untuk melanjutkan apa yang sudah tercapai. Apakah ini berarti
masyarakat sudah lupa akan janji-janji SBY-JK tersebut? Jawabnya: tidak.
Tentu, masyarakat masih ingat kepada janji-janji tersebut. Namun,
masyarakat juga sadar bahwa banyak hal yang terjadi (di luar kendali
SBY-JK) yang akhirnya menghambat capaian kinerja SBY-JK.

Baru dua bulan memerintah, SBY-JK dihadapkan kepada musibah tsunami.
Pada 2006, kita juga mengalami musibah gempa bumi, yang terjadi di
sejumlah daerah di Jawa. Pada akhir 2005, kita juga dihadapkan kepada
krisis harga minyak dunia yang memaksa pemerintah menaikkan harga bahan
bakar minyak di atas 100 persen. Memasuki 2008, kita kembali dihadapkan
kepada krisis ekonomi global, yang memberikan dampak negatif bagi
ekonomi kita, terutama ekspor. Termasuk pula kenaikan harga minyak
mentah hingga di atas US$ 130 per barel, yang terjadi pada pertengahan
2008, menyebabkan pemerintah kembali menaikkan harga BBM hingga 25 persen.

Beragam faktor inilah yang menyebabkan SBY-JK seakan tidak memiliki
kesempatan untuk menata ekonomi agar sesuai dengan target yang
dicanangkan. Masyarakat pun bisa memahami dan lebih memilih mencermati
langkah-langkah yang diambil pemerintah untuk mencegah atau minimal
mengurangi dampak negatif berbagai faktor penghambat tersebut. Dari sisi
ini, pemerintah dinilai cukup berhasil. Program-program seperti Bantuan
Langsung Tunai, konversi minyak tanah dan tabung gas gratis, PNPM
Mandiri, serta Kredit Usaha Rakyat cukup meyakinkan masyarakat bahwa,
dari sisi kepemimpinan dan kebijakan, Indonesia sudah dalam /track/ yang
benar. Ekonomi Indonesia dinilai hanya tidak memiliki momentum yang baik
untuk bisa tumbuh lebih besar.

*Modal dan momentum *

Apakah pemerintah SBY-Boediono akan menghadapi situasi yang sama dengan
pemerintah SBY-JK? Pemerintah mendatang sesungguhnya memulainya dari
kondisi yang tidak terlalu bagus. Ekspor kita terpuruk sejak September
2008, sekalipun beberapa bulan terakhir mengalami peningkatan.
Pertumbuhan ekonomi pada Triwulan I 2009 hanya 4,4 persen atau turun
dibanding Triwulan IV 2008 sebesar 5,2 persen.

Namun, kita juga memiliki modal cukup bagus. Dari sisi domestik,
membaiknya kinerja Neraca Pembayaran Indonesia telah mendorong apresiasi
nilai tukar. Di Asia, rupiah mengalami penguatan tertinggi. Selama
Triwulan II 2009, rupiah rata-rata terapresiasi 9,99 persen. Penguatan
nilai tukar ini ditopang oleh meningkatnya aliran masuk modal asing,
terutama investasi portofolio.

Di sektor keuangan, bursa efek selama Triwulan II 2009 ditandai oleh
peningkatan indeks harga saham gabungan. Fundamental domestik yang
membaik telah mendorong maraknya pembelian saham baik oleh investor
asing maupun domestik. Di pasar obligasi, sekalipun masih tinggi,
/yield/ Surat Utang Negara mencatat penurunan sejalan dengan menurunnya
suku bunga BI Rate dan meningkatnya minat investasi modal asing.

Selain itu, kita memiliki momentum yang bagus pula. Momentum itu
terutama berasal dari luar negeri, di mana sejumlah negara yang
mengalami krisis telah memperlihatkan tanda-tanda pemulihan. Di Amerika
Serikat, misalnya, tanda-tanda pemulihan mulai terlihat. Data Departemen
Perdagangan AS pada 10 Juli 2009 menunjukkan bahwa ekspor AS pada Mei
2009 meningkat, sementara impornya menurun. Kondisi ini ikut memperkecil
defisit neraca perdagangan AS menjadi US$ 26 miliar pada Mei 2009, lebih
rendah dibanding posisi April 2009 sebesar U$ 28,8 miliar.

Laporan ini mendorong para ekonom merevisi estimasi pertumbuhan produk
domestik bruto (PDB) AS pada Triwulan II 2009. Beberapa ekonom bahkan
memprediksi pada Triwulan II 2009, ekonomi Amerika Serikat mengalami
pertumbuhan positif. Macroeconomic Advisers, misalnya, sebelumnya
memproyeksikan pertumbuhan PDB AS pada Triwulan II 2009 mengalami
kontraksi sebesar -1,6 persen. Namun, dengan adanya perkembangan ekspor
Mei 2009, Macroeconomic Advisers memproyeksikan, pada Triwulan II 2009,
ekonomi AS bisa tumbuh positif 0,2 persen atau meningkat sebesar 1,8
persen dari proyeksi sebelumnya.

Hal yang sama terjadi di sejumlah negara di Asia, seperti Jepang, Cina,
dan Hong Kong, sebagaimana ditunjukkan dari indeks produksi
masing-masing negara. Membaiknya kondisi ekonomi global tersebut dalam
jangka pendek juga akan mendorong pemulihan ekonomi domestik, khususnya
ekspor.

Mungkin dilatarbelakangi kondisi inilah, Dana Moneter Internasional
(IMF) bahkan memperkirakan pemerintah SBY-Boediono diyakini mampu
mencetak pertumbuhan ekonomi hingga 9 persen dan bisa menempel negara
dengan pertumbuhan pesat, seperti Brasil, Rusia, India, dan Cina. Bahkan
kemampuan pasangan SBY-Boediono memicu ekspektasi Indonesia akan menjadi
bintang baru di antara /emerging market/. Meski demikian, IMF
mensyaratkan, untuk mencapai kondisi setara dengan Cina dan India,
SBY-Boediono harus mampu mengatasi kendala infrastruktur, korupsi, dan
memperkuat hukum, yang tentunya ini bukan pekerjaan yang mudah untuk
mengatasi berbagai ketertinggalan tersebut.

Selain itu, berapa pun target pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai
(katakanlah 7-9 persen), haruslah tetap memperhatikan kualitasnya. Dalam
artian bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tersebut tidak diikuti dengan
peningkatan kesenjangan pendapatan antara kelompok masyarakat kaya dan
kelompok masyarakat miskin. Sebab, faktanya, dalam beberapa tahun
terakhir, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, meski perekonomian
kita mampu tumbuh baik, hal itu juga diikuti dengan semakin melebarnya
/gap/ antara si kaya dan si miskin.

Kesimpulannya, bisa dikatakan bahwa kita memiliki semua kombinasi:
kepemimpinan, kebijakan, dan momentum yang baik untuk bisa tumbuh lebih
baik dari kondisi saat ini. Penulis melihat bahwa aksi teror bom tidak
akan berpengaruh signifikan terhadap jalannya pemulihan ekonomi. Kita
yakin bahwa prospek ekonomi tahun ini berpotensi bisa tumbuh lebih
tinggi dari perkiraan semula.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/28/Opini/krn.20090728.172234.id.html
Share this article :

0 komentar: