BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pilpres dan Tindak Pidana Korupsi

Pilpres dan Tindak Pidana Korupsi

Written By gusdurian on Rabu, 08 Juli 2009 | 15.03

Pilpres dan Tindak Pidana Korupsi

Fulan (bukan nama sebenarnya), caleg DPR 2009, menceritakan pengalaman
pahitnya.Dia hanya menempatkan saksi di TPS-TPS salah satu kecamatan di
daerah pemilihannya.


Untuk TPS-TPS di kecamatan lain tidak ditempatkan saksi khusus, karena
selain masalah biaya Fulan mengandalkan profesionalisme KPUD. Setelah
pencontrengan, Fulan diberi tahu agar mengawal perjalanan suara di
tingkat kecamatan karena pada tahap inilah sering terjadi manipulasi
suara. Fulan menganggap sepi saja informasi tersebut karena masih tetap
percaya terhadap kejujuran KPUD.

Akhirnya, Fulan kecewa berat bukan lantaran tidak terpilih, tetapi
karena manipulasi suara yang terjadi. Fulan menceritakan bahwa suaranya
dipreteli di tingkat kecamatan. Misalnya, suara yang diperoleh di TPS A
adalah 209, tetapi yang tercatat di kecamatan hanya 9. Kalau di TPS B
tercatat 215, di Kecamatan menjadi 15. Apa yang dialami Fulan inilah
yang disebut sebagai korupsi politik.

Korupsi Politik

Dalam belantara korupsi, dikenal tiga jenis korupsi, yaitu korupsi
material,korupsi politik,dan korupsi intelektual.Korupsi material adalah
korupsi yang mendatangkan perolehan materi bagi pelaku, sedangkan
korupsi politik adalah korupsi yang terjadi dalam penyusunan
undang-undang, peraturan, kebijakan atau pelaksanaan suatu peristiwa
politik.

Korupsi politik bertujuan meraih keuntungan yang diperoleh seseorang
atau sebuah kelompok, baik berupa jabatan, kesempatan, atau proyek
tertentu.Misalnya peraturan tentang upah pungut. Melalui peraturan ini,
uang yang terkumpul turut dinikmati oleh pejabat di beberapa instansi
pemerintah, daerah maupun pusat. Korupsi politik yang paling menonjol
adalah money politicsdan manipulasi suara, baik dalam pemilihan kepala
daerah, pemilihan anggota legislatif, maupun pemilihan presiden.

Tragisnya, sejak reformasi, pemilu kali ini tercatat sebagai yang paling
buruk dibanding Pemilu 1999 dan 2004. Salah satu indikasinya, dari
korupsi perundang- undangan, MK meluluskan uji materi terhadap UU Pemilu
dan UU Pilpres. Mengenai pemilu legislatif, MK mengabulkan banyak
tuntutan parpol tentang salah perhitungan atau manipulasi suara. Inilah
salah satu bukti konkret adanya korupsi politik dalam Pemilu 2009.

Korupsi politik yang lain justru dilakukan oleh KPU sendiri.Seperti
amburadulnya DPT, baik dalam pemilu legislatif maupun pemilu presiden.
Begitu pula dengan adanya spanduk dan alat peraga yang menggiring
pemilih untuk mencontreng capres tertentu.Menurut KPU,masalahmasalah
tersebut bukan merupakan suatu kesengajaan, tetapi hanya kesalahan
teknis.Jika benar pelanggaran tersebut merupakan kesalahan teknis,
berarti korupsi politiknya terjadi di DPR,yaitu ketika proses seleksi
anggota KPU yang dipilih adalah individuindividu yang tidak kredibel.

Tidak kredibelnya anggota KPU antara lain bisa dilihat dari amburadulnya
penggunaan IT dalam penghitungan suara pemilu legislatif dan
pencontrengan tidak pada hari yang sama di seluruh Indonesia. Begitu
pula dengan terlambatnya distribusi kartu suara di beberapa daerah dan
maju mundurnya waktu kampanye damai para calon presiden dan wakil presiden.

Korupsi Intelektual

Intelectual corruption (korupsi intelektual) adalah korupsi dalam bentuk
memanipulasi informasi, data,dan pengetahuan bagi kepentingan orang atau
kelompok tertentu. Misalnya kasus lumpur Lapindo, oleh pemerintah dan
DPR ditetapkan sebagai bencana alam sehingga negara harus menyediakan
dana yang besar untuk menanggulangi musibah tersebut.

Padahal,pertemuan pakar geologi sedunia di Afrika Selatan beberapa waktu
lalu menyimpulkan, kasus lumpur Lapindo bukan bencana alam, tetapi
kesalahan manusia.Antara lain,ketika proses pengeboran, perusahaan tidak
menggunakan casing sehingga ketika terjadi gegaran lumpur dapat muncrat
ke permukaan bumi. Jelas hal ini melanggar standard operating
procedure(SOP) yang ada.

Hal ini jelas merupakan tindakan melawan hukum yang mengakibatkan
kerugian keuangan dan perekonomian negara. Dengan demikian, menurut UU
Tindak Pidana Korupsi, perusahaan Lapindo telah melakukan pidana
korupsi. KPK tidak bisa menangani kasus ini karena Lapindo adalah
perusahaan swasta. Kepolisian dan kejaksaan yang berwenang dalam kasus
ini. Dalam pemilu presiden yang tinggal dua hari lagi, banyak terjadi
korupsi intelektual semasa kampanye.

Misalnya ada klaim pemerintah berhasil memberantas korupsi karena KPK
menangkap banyak pejabat dan penyelenggara negara. Klaim ini merupakan
korupsi intelektual karena KPK adalah lembaga negara yang independen,
bukan lembaga pemerintah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai ukuran
keberhasilan pemerintah dalam memberantas korupsi. Jika pemerintah ingin
menunjukkan prestasinya dalam pemberantasan korupsi, maka yang harus
ditampilkan adalah kinerja kepolisian dan kejaksaan.

Ada pula partai yang menolak mendukung capres tertentu dengan alasan
capres tersebut tergolong Orde Baru. Pernyataan ini terkategorikan
sebagai korupsi politik karena semua capres dan cawapres adalah kader
Orde Baru. Prabowo Subianto adalah mantan komandan jenderal Kopassus dan
panglima Kostrad. SBY adalah kepala staf Kodam V Jaya ketika terjadi
penyerangan kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Boediono adalah
kepala Bappenas dan PNS pada zaman Orde Baru.

JK adalah anggota MPR pada zaman Orde Baru, dan Wiranto adalah mantan
panglima ABRI. Mungkin hanya Megawati yang bukan elite Orde Baru karena
beliau adalah anak dari penguasa Orde Lama.

Kekuasaan di Tangan Rakyat

Dalam lima tahun terakhir, sering ditemukan para ibu yang membunuh anak
sendiri karena dililit kemiskinan. Ada perempuan hamil mati akibat
kekurangan gizi.Ada anak SMP yang menggantung diri karena tidak bisa
membayar uang aktivitas sekolah.

Ada pula yang meninggal karena terinjak kerumunan manusia akibat berebut
zakat menjelang Lebaran. Hutan menjadi gundul dan sumber daya alam
semakin terkuras. Bencana alam,kecelakaan kereta api,kapal laut dan
pesawat terbang, semuanya disebabkan perilaku korupsi di kalangan aparat
penegak hukum, pelayanan publik, lembaga pengawasan dan lembaga
legislatif. Kemiskinan, penderitaan, dan kegalauan hukum seperti di atas
tidak bisa dibiarkan berlarut-larut.

Rakyat harus menggunakan haknya untuk menetapkan pilihan yang tepat agar
melahirkan seorang presiden baru. Merujuk pada sifat korupsi yang
merupakan extra-ordinary crime (kejahatan luar biasa),maka yang paling
mendesak adalah perlunya seorang presiden yang serius memberantas
korupsi. Hal ini menjadi penting karena selama tiga tahun terakhir ada
upaya sistematis untuk memberangus KPK, berikut beberapa indikasinya.

Pertama, Undang-Undang Pengadilan Tipikor lambat diajukan oleh
pemerintah sehingga masih belum jelas statusnya di DPR, padahal deadline
yang ditetapkan MK adalah 19 Desember 2009, sementara masa bakti anggota
DPR akan berakhir September ini Kedua, pemerintah menetapkan komposisi
hakim ad hoc dan hakim karier ditentukan oleh ketua pengadilan
negeri,sehingga dikhawatirkan jumlah hakim karier lebih banyak dari
hakim ad hoc. Padahal, selama ini majelis hakim Pengadilan Tipikor
terdiri atas 3 hakim ad hoc dan 2 hakim karier.

Dengan komposisi itu, kalau terjadi voting, ketiga hakim ad hoc selalu
menjatuhkan hukuman atas terdakwa koruptor Ketiga, RUU Tindak Pidana
Korupsi yang diajukan pemerintah penuh dengan potensi pemberangusan
kewenangan KPK. Misalnya pemisahan kewenangan penyidikan dengan
penuntutan dari KPK.Artinya,KPK akan dijadikan seperti kepolisian, di
mana hasil penyidikannya harus dilimpahkan ke kejaksaan Keempat, ada
suara-suara yang mau mempreteli kewenangan penyadapan yang dimiliki KPK
yang mungkin karena mereka merasa gerak-gerik mereka tidak nyaman selama
ini.

Karena itu, secara konseptual, pemilih bisa menilai ketiga pasangan ini,
mana yang serius mendukung KPK dalam pemberantasan korupsi.Dari segi
integritas pribadi, pemilih bisa menilai pasangan mana yang mungkin
korupsi dan mana yang tidak. Salah satu caranya adalah dengan
membandingkan kekayaan mereka dengan gaji yang diperoleh selama menjadi
PNS, tentara, atau anggota DPR.

Jika pemilih menjatuhkan pilihan yang tepat, dalam arti presiden yang
baru, melaksanakan reformasi birokrasi yang direkomendasikan KPK, insya
Allah dalam dua puluh tahun mendatang Indonesia akan menjadi negara yang
makmur,aman,damai dan sejahtera.

Jika pemilih salah menjatuhkan pilihan hanya karena ”serangan fajar”
sehingga KPK mengalami degradasi kewenangan, maka diperlukan setidaknya
75 tahun lagi untuk memakmurkan bangsa dan rakyat Indonesia. Tragis!(*)

Abdullah Hehamahua
Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)



http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/252738/
Share this article :

0 komentar: