BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Jejak Golput di Jantung Kota

Jejak Golput di Jantung Kota

Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 15.02

Jejak Golput di Jantung Kota

Pemilu presiden pada 8 Juli lalu menyisakan ganjalan masih tingginya
angka golongan putih (golput) alias tidak memilih di Jakarta. Menurut
Sumarno, anggota Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, angka golput diduga
mencapai 40 persen. Ini merupakan perkiraan kasar berdasarkan survei
yang dilakukan oleh anggota KPU di beberapa tempat pemungutan suara saat
pemilihan. Berikut ini reportase rekam jejak golput di Jakarta.

"/Nggak/ mungkin mereka tak tahu waktu pelaksanaan dan tata cara
pemilihan."

Hati Syamsuri kembali gundah. Sudah dua kali ia menjadi panitia pemilu
di kelurahannya. Selama itu pula ia merasa sedikit "dicueki" oleh
warganya. "Dua kali pemilu partisipasinya rendah terus." tutur pria 45
tahun itu kepada /Tempo/ akhir pekan lalu.

Ketua Panitia Pemungutan Suara di Kelurahan Gelora, Tanah Abang, Jakarta
Pusat, itu melihat fenomena unik di kampung tempat tinggalnya. Sekalipun
terletak di jantung Kota Jakarta dan bertetangga dengan hotel-hotel
mewah, kantor menteri, dan asrama atlet Senayan, angka partisipasi
politiknya bak di kampung terpencil. "Angka pemilihnya /gak/ pernah
lebih dari 60 persen," ujarnya.

Dalam pemilu presiden lalu, jumlah pemilih tercatat mencapai 1.801 orang
atau hanya 57,63 persen dari total 3.125 pemilih yang terdaftar. Bahkan,
pada pemilu legislatif, kata Syamsuri, jumlah pemilih hanya mencapai 50
persen dari 3.000-an pemilih.

Fenomena ini, kata Syamsuri, ditengarai lantaran kesadaran politik
masyarakatnya masih rendah. Di kawasan itu, rata-rata warga hanya
berpendidikan sekolah menengah atas. Pekerjaan dan taraf ekonominya,
ujar Syamsuri, masuk kelas menengah ke bawah. "Di sini banyak penganggur
dan pekerja informal. Mungkin karena itu kesadaran politiknya agak
rendah," tuturnya.

Selain itu, Kelurahan Gelora dikenal sebagai "kampung transit". Di
kawasan itu banyak bermukim pekerja komuter dari luar kota, bahkan atlet
unggulan dari berbagai daerah, yang menginap di Asrama Kementerian
Pemuda dan Olahraga.

Syamsuri mengakui sekitar 20 persen pemilih di wilayahnya merupakan
penduduk transit yang mencontreng dengan berbekal kartu tanda penduduk
(KTP) dan formulir pindahan atau form A7. Tapi, entah apa sebabnya,
partisipasi mereka pun rendah. "Padahal kami sudah melakukan sosialisasi
hingga membuka TPS di hotel dan kantor. Tetap saja angka partisipasinya
rendah," ujar Syamsuri.

Namun hal itu dibantah oleh Sulastri, karyawan salah satu hotel di
bilangan Senayan. Ia mengaku tak mencontreng karena tak diberi tahu oleh
pihak manajemen kantornya ataupun petugas pemilu. "Kalau saya tahu bisa
mencontreng dengan formulir khusus, saya mau /nyontreng/," ujar warga
Depok berusia 26 tahun itu.

Rudi, 45 tahun, warga Arteri Pejompongan Gelora, mengaku tak mencontreng
karena telanjur skeptis. "Ah, sama /aja nyontreng/ apa /nggak/," ujar
pemilik warung rokok itu.

Tak hanya di kawasan warga kebanyakan, jejak golput juga terendus di
kawasan elite Menteng. Dari 67.182 pemilih yang terdaftar, 30,74
persennya tercatat golput. Jumlah pemilih yang berpartisipasi tercatat
sebanyak 46.527 orang. Nurizal, salah satu anggota panitia pemilu di
kawasan itu, mengaku tak tahu alasan warga yang memilih golput. "Saya
rasa alasannya pribadi, karena /nggak/ mungkin mereka tak tahu waktu
pelaksanaan dan tata cara pemilihan presiden," kata dia.

Bagaimana di Pondok Indah, daerah elite lain di Jakarta Selatan?
Partisipasi warga yang mencontreng mencapai 70 persen. Orang yang enggan
mencontreng lebih memilih menggunakan hari spesial itu untuk berlibur,
bepergian ke luar negeri, mencontreng di tempat lain, atau memang
sengaja golput. "Jangan lupa, banyak juga pembantu rumah tangga yang
terdaftar tapi tidak mencontreng karena pulang kampung," kata Djayadi,
Ketua RW 15.

Anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) Pondok Pinang, Ade Meriana,
mengakui partisipasi warga cenderung lebih rendah dibanding dengan warga
di luar Pondok Indah. Menurut dia, kondisi itu lebih baik dibanding
pemilu legislatif yang hanya berkisar 50-60 persen. *FERY
FIRMANSYAH|AMIRULLAH
*

*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/13/Metro/krn.20090713.170818.id.html
Share this article :

0 komentar: