BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » A. Mustofa Bisri: Rakyat Sudah Dewasa

A. Mustofa Bisri: Rakyat Sudah Dewasa

Written By gusdurian on Jumat, 10 Juli 2009 | 11.30

A. Mustofa Bisri: Rakyat Sudah Dewasa
Sebelum pilpres, mengikuti perkembangan pilpres di Iran, banyak di
antara kita yang ketir-ketir. Apalagi, dinamika kampanye para kandidat
dan tim-tim sukses mereka begitu luar biasa. "Kampanye putih", "kampanye
abu-abu", hingga "kampanye hitam" keluar semua dari sana-sini.

Namun, alhamdulillah, pilpres kita kemarin berlangsung aman dan lancar.
Rakyat yang berdatangan ke TPS-TPS terlihat begitu santai dan guyub.
Setelah mencontreng, mereka melanjutkan kegiatan masing-masing seperti
biasa.

Setelah itu, mereka secara sendiri-sendiri atau beramai-ramai nonton
hasil pencontrengan mereka di /quick count. /Bahkan, banyak yang nonton
bareng sesama pencontreng yang berbeda pilihan. Mereka tertawa-tawa,
kadang-kadang saling ledek laiknya sesaudara. Lihatlah, betapa dewasanya
mereka.

Kalau harus ada yang diacungi jempol dalam pesta demokrasi ini, tidak
diragukan lagi yang pertama-tama berhak kita acungi jempol adalah
mereka: rakyat Indonesia.

Rakyat Indonesia, rupanya, benar-benar belajar dan menyerap pelajaran
dengan baik. Dengan berkali-kali pemilu dan pilkada, mereka semakin
terbiasa dengan pengamalan demokrasi. Sudah dua kali pilpres, mereka
menunjukkan kedewasaannya. Bahkan, jika dibandingkan dengan para
pemimpin dan tokoh politik di atas yang sok demokratis, tampaknya,
mereka lebih dewasa.

Mungkin mereka -rakyat Indonesia itu- belajar juga dari kompetisi sepak
bola dunia yang begitu enak ditonton. Para pemain begitu serius dan
sungguh-sungguh dalam bertanding; masing-masing berusaha dengan segenap
daya untuk mengalahkan lawan. Para penonton juga tidak kalah dahsyat di
dalam menyemangati jago masing-masing. Namun, begitu peluit panjang
ditiup, para pemain bersalaman dan berangkulan dengan lawan; bahkan
saling bertukar kaus. Mungkin yang tidak kunjung menyerap pelajaran
seperti ini-ironisnya- justru insan-insan persepakbolaan kita sendiri.

***

Seperti juga saat selesai pertandingan antara dua kesebelasan dunia,
orang-orang -sering kali bersama-sama antara para pendukung kesebelasan
yang berbeda- dengan santai melakukan evaluasi. Mengapa ini menang,
mengapa itu sampai kebobolan.

Dalam pilpres kali ini, yang menarik mereka bicarakan adalah dua calon
/incumbent/:SBY dan JK. Dari sejak mencalonkan diri hingga menjelang
pencontrengan, JK tak henti-hentinya diberitakan berkibar di mana-mana.
Tokoh-tokoh pengusaha, intelektual, dan kiai -bahkan ada yang secara
kelembagaan- beramai-ramai mendukung dan ikut mengampanyekannya. Tapi,
mengapa perolehannya -menurut /quick count- /cuma sekian? Tentu tidak
lucu jika kita menyalahkan /quick count/.

Beberapa pengamat pun melemparkan pendapat. Ada yang berpendapat, waktu
JK terlalu mepet untuk memperkenalkan diri sebagai capres. Ada yang
mengatakan bahwa gaya JK yang ditampilkan terlalu cepat; mestinya untuk
tahun 2019. Ada pula yang menyalahkan partainya: Golkar.

Tak tertinggal, tentu banyak juga yang mempertanyakan, kenapa begitu
banyak kiai -bahkan ada yang membawa lembaganya, pesantren atau NU- yang
terang-terangan dan dengan tegas mendukung JK, namun hasilnya seperti
tidak ada?

Dalam hal ini, umat rupanya juga benar-benar belajar dan menyerap
pelajaran terutama dari para pemimpin mereka itu sendiri. Selama ini
mereka diajari untuk mencintai ilmu agama dan amal; konsentrasi ke
urusan akhirat; tidak menggandrungi dunia, pangkat, dan kekuasaan; tidak
membawa-bawa NU atau pesantren ke ranah politik praktis.

Di lain pihak, mereka juga mengamati sepak terjang para kiai panutan
mereka itu. /Nah/, mereka pun kemudian mendapatkan "ilmu" dan berpikir
positif: sepanjang berkaitan dengan ilmu agama, amal, dan urusan
akhirat; mereka akan ikut dan /sam'an watha'atan/ kepada para kiai
panutan mereka itu. Tapi, kalau soal dunia, pangkat, kekuasaan, dan
politik praktis, mereka akan "ijtihad" sendiri.

Bahkan, tidak sedikit yang sengaja seperti "melawan" ketidaksesuaian
ajaran panutan mereka dengan perilakunya, lalu memilih asal bukan
pilihan panutannya itu. Maka terbukti; baik dalam pilkada, pileg, maupun
pilpres; kebanyakan calon yang didukung para kiai -apalagi yang membawa
institusi- selalu kalah.

Di ranah ini, dalam hal pengumpulan suara, para kiai seperti tidak
mempunyai pengaruh apa-apa. JK orang pertama yang terkejut dengan hasil
yang begitu jomplang antara perkiraan sebelum pemilu dan hasil
sesudahnya. Sebelumnya, sudah ada yang terkejut seperti itu, termasuk
para cagub dan cabup.

***

Demikianlah; rakyat dan umat sudah benar-benar belajar dan mengamalkan
"ilmu /titen/", tapi rupanya tidak demikian halnya dengan kebanyakan
para tokoh pemimpin mereka. Para kiai yang ikut sibuk /ngurusi /politik
praktis ternyata tidak kunjung pandai dalam hal satu ini. (Tampaknya,
sulit benar mereka memahami "/khidaa/"/ /dalam "/alharb/"). Meski sudah
sering berhubungan dengan umara dan politikus, tetap saja mereka tidak
kunjung mengenal tipologi umara. Demikian pula sebaliknya, banyak umara
dan politikus yang tidak kunjung mengenal tipologi kiai dan peta
pengaruhnya.

Ya, rakyat Indonesialah yang cepat belajar. Karena itu, mereka tampak
kian dewasa dan arif di hadapan demokrasi. Semoga para pemimpinnya
segera belajar dari kedewasaan dan kearifan rakyat mereka. Mudah-mudahan
yang menang tetap rendah hati dan berpikir: kemenangan adalah amanah dan
bukan anugerah; selalu mengingat janji-janjinya saat kampanye. Sedangkan
yang kalah tetap berjiwa besar laiknya pemimpin bangsa sejati dan
berpikir: kekalahan adalah anugerah dan bukan musibah; mengabdi kepada
Indonesia tidak harus menjadi presiden atau wakil presiden.

Akhirnya, Indonesia dan rakyat Indonesia akan memetik manfaatnya.
Semoga. *(*) *

*) /KH A. Mustofa Bisri, rais Syuriah PB NU, pengasuh Ponpes Raudlatut
Thalibin, Rembang.

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=79647
Share this article :

0 komentar: