BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Melihat Kinerja Departemen Perhubungan

Melihat Kinerja Departemen Perhubungan

Written By gusdurian on Rabu, 08 Juli 2009 | 14.55

Melihat Kinerja Departemen Perhubungan

*Darmaningtyas*

# Ketua INSTRAN (LSM Transportasi) di Jakarta

Departemen Perhubungan sebagai departemen teknis merupakan institusi
yang sering mendapat sorotan dari masyarakat, mengingat dampak
kebijakannya dirasakan langsung oleh masyarakat. Kinerja Departemen
Perhubungan dapat dilihat dari tingkat praktis di lapangan,
konsepsional, sampai pada masalah regulasi.

Masyarakat awam bisa melihat kinerja Departemen Perhubungan dari tataran
praktis di lapangan, yaitu banyaknya kecelakaan, seperti pesawat, kapal
laut, kereta api, dan kendaraan bermotor. Semua kasus kecelakaan itu
menelan korban jiwa mencapai puluhan ribu jiwa setiap tahunnya dan
kerugian material ratusan miliar rupiah. Kerugian yang tidak terhitung
adalah terjadinya proses pemiskinan pada keluarga yang ditinggal mati
akibat korban kecelakaan, terlebih bila yang menjadi korban kecelakaan
itu adalah tulang punggung keluarga. Selama lima tahun terakhir
(2005-2009) angka kecelakaan di bidang transportasi itu cukup tinggi
sampai menimbulkan kecemasan masyarakat dalam bertransportasi. Bahkan
masyarakat sempat mengalami trauma naik semua moda transportasi. Sebab,
ternyata angkutan laut pun tidak menjamin keselamatan. Tahun ini ada
beberapa kecelakaan laut yang menelan banyak korban jiwa.

Kecelakaan kereta api, meskipun tidak membawa korban jiwa banyak, sering
terjadi sehingga mengusik rasa aman dan nyaman masyarakat. Kecelakaan
kereta api yang sering menelan korban jiwa adalah yang melibatkan
kendaraan bermotor dan terjadi di persimpangan yang tidak ada palang
relnya. Kesalahan ini tidak dapat ditimpakan pada PT Kereta Api, tapi
tetap berada dalam lingkup kerja Departemen Perhubungan, sehingga
mempengaruhi kinerja Departemen Perhubungan yang buruk. Sedangkan
kecelakaan yang paling besar menelan korban jiwa adalah yang disebabkan
oleh kendaraan bermotor. Memang belum ada data akurat mengenai jumlah
korban mati akibat kecelakaan lalu lintas, tapi diprediksi jumlahnya
sekitar 30 ribu jiwa per tahun, mayoritas melibatkan sepeda motor (roda
dua).

Fakta besarnya jumlah jiwa yang menjadi korban kecelakaan di bidang
transportasi belum menjadi acuan penyusunan kebijakan transportasi. Di
angkutan darat, misalnya, kebijakan transportasi masih tetap bertumpu
pada kendaraan bermotor, sedangkan angkutan tidak bermotor yang tidak
berpolusi dan memiliki tingkat vatalitas rendah justru tidak terwadahi,
termasuk dalam Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan yang baru.
Memang sekarang di Departemen Perhubungan telah ada Direktur Keselamatan
Direktorat Jenderal Perhubungan Darat. Tapi apakah pembentukan institusi
baru itu didorong oleh adanya perhatian yang besar terhadap aspek
keselamatan ataukah untuk menggaet dana besar yang disalurkan melalui
/global road safety partnership/?

*Pungli terhadap angkutan*

Menilai kinerja Departemen Perhubungan dari sisi praktis juga dapat
dengan melihat praktek pungutan liar (pungli) terhadap angkutan umum dan
barang, yang sampai sekarang masih marak di mana-mana dan dirasakan
sebagai beban berat oleh para pelaku transportasi (operator dan sopir).
Pungli dapat menyebabkan beberapa hal. Pertama, untuk angkutan barang,
pungli mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena uang yang dipungut itu
akan diperhitungkan sebagai biaya operasional dan dikompensasikan pada
harga barang yang dijual.

Kedua, pungli pada angkutan umum berdampak pada kenyamanan dan
keselamatan. Karena awak angkutan dikejar setoran yang tinggi di satu
pihak dan membayar pungutan di pihak lain, solusinya adalah mengangkut
penumpang melebihi kapasitas. Kecuali itu, dana yang seharusnya untuk
pemeliharaan disedot untuk pungli, sehingga pemeliharaannya terabaikan.
Terabaikannya pemeliharaan dapat mengancam keselamatan awak angkutan
maupun penumpang.

Ketiga, pungli pada angkutan umum memaksa operator menaikkan tarif yang
bebannya dipikul penumpang, demi menutup biaya operasional. Padahal
penumpang angkutan umum mayoritas adalah golongan miskin.

Keempat, pungli menurunkan kinerja angkutan umum. Karena beban ekonomis
dan psikologis bagi awak angkutan umum sangat tinggi, yaitu di satu
pihak harus memenuhi setoran, dan di sisi lain digencet aparat untuk
membayar upeti, kompensasinya, pelayanan terhadap penumpang buruk. Dan
karena pelayanannya buruk, lama-lama kinerjanya pun menurun lantaran
banyak penumpang yang meninggalkan angkutan umum.

Praktek pungutan liar secara gamblang itu dapat disaksikan, misalnya,
naik bus umum dari Ciamis ke Jakarta atau ke Sukabumi. Pada setiap
perempatan tertentu, awak bus akan melempar korek api yang berisi uang
kepada para petugas yang berjaga di jalan. Melihat peristiwa yang
menyedihkan itu, seorang berkomentar: "Betapa sedih para kernet dan
sopir itu, yang harus bekerja dengan peluh dan pilu hati demi dapat
menebar uang di jalan kepada oknum-oknum yang seharusnya mengayomi mereka."

Hasil penelitian Asia Foundation bekerja sama dengan Universitas
Indonesia (2008) di beberapa daerah di Sumatera, Kalimantan, dan
Sulawesi menunjukkan hasil yang sama, bahwa para sopir truk di daerah
tersebut selalu dibebani pungutan liar. Pihak-pihak yang melakukan
pungutan liar pun beragam, dari oknum polisi, tentara, petugas DLLAJ,
sampai preman. Pungli itu telah menyebabkan naiknya harga barang sampai
di tujuan, karena beban pungutan itu ditambahkan pada biaya operasional.

Pungutan liar tidak hanya terjadi di jalan, tapi juga di bengkel uji
emisi, uji KIR, pengurusan trayek, serta pengurusan SIM, STNK, dan
sejenisnya. Departemen Perhubungan mengetahui praktek pungutan liar
tersebut, baik yang dilakukan oleh aparatnya maupun oleh aparat lain,
tapi belum melakukan tindakan konkret untuk mengatasinya.

*Angkutan umum*

Hal konkret yang dapat dilihat di lapangan adalah sampai sekarang
Departemen Perhubungan belum mampu menyelesaikan masalah angkutan umum,
baik yang berbasis rel, laut, udara, maupun darat. Contoh konkret adalah
permasalahan angkutan Lebaran yang tidak pernah tuntas, padahal masalah
ini muncul sejak 30 tahun lalu. Saatnya ada terobosan dari Departemen
Perhubungan untuk menyelesaikan angkutan Lebaran sehingga dapat
memperlancar perjalanan warga, baik dalam satu pulau maupun antarpulau.
Di Jawa, yang tingkat komuternya tinggi, terutama dari/menuju Jakarta,
Departemen Perhubungan belum mampu memecahkan kebutuhan angkutan akhir
pekan, terutama yang berbasis rel. Ketidakmampuan Departemen Perhubungan
menyelesaikan masalah transportasi itu juga terjadi di perkotaan. Hal
itu tecermin dari kondisi transportasi umum di Jakarta, Surabaya,
Makassar, Medan, dan kota-kota besar lainnya yang cenderung memburuk dan
digantikan oleh dominasi kendaraan pribadi, yang bikin macet dan polusi.

Departemen Perhubungan mencoba mendorong daerah mengembangkan angkutan
umum massal dengan memberikan bantuan bus kepada beberapa daerah yang
mau melaksanakan pengembangan angkutan umum massal. Tapi, karena tidak
didasari dengan konsep yang jelas, terutama menyangkut soal
operasionalisasinya, bantuan bus itu di beberapa kota kurang efektif
karena adanya penolakan dari operator. Satu hal yang perlu diapresiasi
dari kinerja Departemen Perhubungan adalah adanya beberapa langkah maju,
seperti pengadaan kereta ekonomi AC di wilayah Jabodetabek, penambahan
jam operasi kereta di Jakarta sampai malam hari, perbaikan
stasiun-stasiun kereta api, perbaikan gerbang kereta api, perbaikan
pelabuhan, dan pembangunan beberapa bandara di sejumlah daerah. Tapi
semuanya itu jauh lebih lamban bila dibandingkan dengan percepatan
tuntutan masyarakat.

Kemajuan cukup signifikan yang dicapai Departemen Perhubungan adalah
pada aspek regulasi seluruh sektor angkutan, karena dalam lima tahun
terakhir Departemen Perhubungan telah berhasil merevisi beberapa
regulasi yang semula dinilai sudah tidak sesuai dengan semangat otonomi
dan demokratisasi. Beberapa undang-undang baru yang telah dihasilkan
selama lima tahun terakhir ini adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007
tentang Perkeretaapian, UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU No. 1/2009
Penerbangan, dan yang terakhir adalah UU LLAJ yang baru disahkan sebagai
pengganti UU No. 14/1992 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan. Keempat
udnag-undang tersebut merupakan revisi terhadap perundangan sebelumnya
yang dibuat oleh Orde Baru. Meskipun demikian, pada tingkat implementasi
juga kedodoran, seperti misalnya peraturan pemerintah dari Undang-Undang
Perkeretaapian sampai sekarang belum terbit. Padahal, seperti
diamanatkan dalam undang-undang, peraturan pemerintah tersebut harus
terbit maksimal setahun setelah disahkannya Undang-Undang
Perkeretaapian. Tapi itulah prestasi maksimal yang dicapai Departemen
Perhubungan selama lima tahun terakhir. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/07/Opini/krn.20090707.170255.id.html
Share this article :

0 komentar: