Evaluasi Kinerja Menteri Agama
*As'ad Nugroho*
# Direktur Advokasi Konsumen Muslim Indonesia
Jika diungkapkan dengan sebuah kata, "berbisnis" boleh jadi merupakan
kata yang tepat untuk menggambarkan prestasi Departemen Agama (Depag)
periode ini. Paling tidak ada satu urusan bisnis besar yang saat ini
ditangani, urusan haji, dan satu bisnis yang juga potensinya besar yang
sedang diusahakan untuk diraih, urusan sertifikasi halal.
Untuk urusan pertama, penyelenggaraan haji, Depag adalah penguasanya.
Bisnis musiman beromzet lebih dari Rp 6 triliun per tahun ini telah
dimonopoli Depag dari pengaturan, pengawasan, hingga ke pelaksanaannya.
Tidak mengherankan jika, karena tumpang-tindihnya fungsi yang dijalani
Depag, pelaksanaannya pun makin tahun makin terasa runyam. Bahkan banyak
pihak menuding pelaksanaan haji pada 2008 merupakan titik nadir
penyelenggaraan haji Indonesia.
Kuatnya aroma bisnis dalam urusan penyelenggaraan haji mulai terasa
sejak pembahasan untuk penetapan biaya penyelenggaraan ibadah haji
(BPIH). Merujuk pada proses penetapan BPIH tahun 2009, misalnya, Depag
terasa sebagai pelaku bisnis andal yang bersama-sama dengan perusahaan
penerbangan menawarkan harga yang tinggi kepada masyarakat. Alih-alih
bernegosiasi demi kepentingan jemaah, Depag seia-sekata dengan hitungan
perusahaan penerbangan meminta kenaikan BPIH hingga US$ 84 per anggota
jemaah.
Padahal, menurut hitungan masyarakat, yang tergabung dalam Forum
Reformasi Haji, semestinya BPIH tahun ini bisa turun hingga US$ 584,1
per anggota jemaah. Dengan gaya pebisnis yang hendak menelikung
kepentingan konsumen, penetapan BPIH antara Depag dan Dewan Perwakilan
Rakyat pun dapat dilakukan dalam kesunyian dengan kesepakatan kenaikan
US$ 84. Meskipun pada akhirnya, setelah dilakukan gerilya dari
masyarakat, angka sementara yang ditetapkan adalah sama dengan tahun
lalu, yaitu berkisar US$ 3.258 + Rp 501.000 hingga US$ 3.517 + Rp
501.000 per anggota jemaah.
Proses pembatalan kenaikan sebesar US$ 84 juga terasa janggal. Pasalnya,
semula ternyata Depag menghitung kurs dolar Amerika Serikat terhadap
rupiah adalah 12 ribu per dolar, sebuah angka yang tidak masuk akal
untuk situasi saat ini. Setelah asumsi kurs diubah menjadi Rp 10.500 per
dolar, didapatlah angka BPIH 2009 sama dengan 2008. Utak-atik selisih
kurs ini pun ternyata menjadi lahan bisnis empuk untuk mengeruk keuntungan.
Persoalan kedua, sertifikasi halal. Melalui Rancangan Undang-Undang
Jaminan Produk Halal (JPH) yang diajukan Depag ke DPR sejak pertengahan
2008, ada indikasi adanya keinginan pengalihan pengelolaan urusan ini ke
Depag. Nuansa pengambilalihan kewenangan yang semula berada di tangan
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat, dan Kosmetika-Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM MUI) kepada pemerintah melalui Depag ini terlihat dalam Naskah
Akademik RUU JPH tersebut.
Kewenangan mendaftar, memeriksa, dan mengeluarkan sertifikat halal, yang
semula berada di tangan LPPOM MUI, dalam rancangan tersebut dialihkan ke
pemerintah. Sedangkan MUI bertugas memberikan kepastian hukum. Jika
skenario ini lolos, preseden buruk atas apa yang terjadi di pengelolaan
haji, berupa tumpang-tindih peran regulator dan pelaksana, dikhawatirkan
terjadi lagi. Depag akan memiliki kekuatan absolut dalam penetapan
kehalalan produk.
Tentu saja gunjingan atas adanya dugaan pen-depag-an dan penguasaan
"bisnis halal" ini tidak bisa begitu saja disalahkan, mengingat besarnya
skala bisnis produk halal di Indonesia. Indonesia memiliki jumlah
penduduk muslim hampir 200 juta jiwa, yang semuanya membutuhkan produk
halal. Itu artinya bisnis labelisasi halal merupakan bisnis menggiurkan
yang menjanjikan banyak aliran fulus di dalamnya.
Terbenamnya Depag dalam lahan "basah" tersebut amat disayangkan,
mengingat masih banyaknya urusan moral dan spiritual yang menuntut peran
Depag di dalamnya. Penyakit kronis bangsa, seperti korupsi, dekadensi
moral, dan konflik antarkelompok masyarakat, adalah problem bangsa yang
seharusnya para agamawan turut memberi teladan untuk menyelesaikannya.
Di negeri agamis seperti Indonesia, banyak persoalan yang masih bisa
diselesaikan dengan pendekatan keagamaan.
Dalam periode ini, hampir tidak ada prestasi luar biasa yang patut
dibanggakan dari Departemen Agama, selain ada beberapa hal biasa yang
bisa diselesaikan, semisal lahirnya UU Wakaf beserta institusi Badan
Wakaf Indonesia. Itu pun publik masih menunggu hasil kerja dari badan
tersebut. Meskipun demikian, tidak tertutup adanya tudingan, lagi-lagi
ini soal pengumpulan uang umat yang potensinya sangat besar.
Ke depan, rasanya Depag perlu berbenah untuk mengoptimalkan
kontribusinya bagi pembenahan moral bangsa yang tengah tercabik-cabik.
Hal mendasar yang perlu dilakukan adalah seyogianya Depag menarik diri
dari segala urusan yang berbau pengumpulan uang, karena uang adalah
sumber fitnah. Bukti besarnya fitnah pada uang ini telah dirasakan oleh
Menteri Agama dan dirjen di lingkungan Depag periode yang lalu, yang
terpaksa harus merasakan tinggal di bui.
Sementara itu, untuk menjadi teladan di negeri dengan prestasi korupsi
luar biasa seperti Indonesia, orang harus bersih 100 persen. Harus
disadari bahwa melepaskan diri dari lahan basah bukanlah hal yang mudah.
Keluar dari /comfort zone/, mengelola uang triliunan rupiah, bisa
dibayangkan akan menjadi sebuah keputusan yang menyakitkan. Tapi, demi
kepentingan bangsa yang lebih besar, keputusan mulia ini harus dilakukan
segera. Setelah terbebas dari potensi fitnah yang bisa mengotori tangan
para pejabat Depag ini, barulah Depag bisa bergerak lebih jauh untuk
berbicara soal moral terhadap teman sejawatnya di pemerintahan dan
masyarakat umum.
Hal lain yang perlu menjadi perhatian adalah usaha mengoptimalkan
potensi sumber daya manusia Indonesia melalui kegiatan keagamaan. Saat
ini potensi lembaga pendidikan berbasis agama, seperti pesantren,
seminari, dan sejenisnya, di berbagai agama masih sangat besar. Depag
punya potensi besar untuk mengisi dan memengaruhi substansi
pendidikannya dengan muatan yang lebih bermutu bagi pembangunan agama
itu sendiri, bangsa, dan negara.
Harapan adanya perubahan sikap dan perilaku Depag ini tentu harus
didukung oleh masyarakat. Dengan telah mendarah-dagingnya /attitude/
berbisnis di kalangan Depag ini, ketika masyarakat tidak mengekspresikan
harapannya atas perubahan mereka, dikhawatirkan Depag tidak merasa harus
berubah. Maka tidak ada cara lain, masyarakat luas harus menunjukkan
dukungan atas perubahan pada diri Depag, menuju Depag yang lebih bermutu.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/07/Opini/krn.20090707.170254.id.html
Evaluasi Kinerja Menteri Agama
Written By gusdurian on Rabu, 08 Juli 2009 | 14.57
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar