BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Lanjutkan (Membunuh) KPK

Lanjutkan (Membunuh) KPK

Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 12.10

Lanjutkan (Membunuh) KPK



Oleh *Saldi Isra*

Komisi Pemberantasan Korupsi tengah berjuang menghadapi sakratulmaut.
Bukan tidak mungkin, ”malaikat maut” segera mencabut nyawa KPK, lembaga
yang ditakuti dan dibenci para koruptor.

Jamak diketahui, meski masih ada banyak catatan, KPK berhasil menyentuh
hampir semua episentrum korupsi yang selama ini sulit dijangkau lembaga
penegak hukum konvensional. Diakui atau tidak, sepanjang sejarah
penegakan hukum di negeri ini, belum pernah ada capaian pemberantasan
korupsi sebagaimana terjadi selama terbentuknya KPK.

Dengan sepak terjang KPK, banyak kalangan merasa gerah. Terlebih saat
KPK masuk ke wilayah-wilayah yang selama ini mempunyai posisi politik
amat kuat, termasuk penangkapan sejumlah anggota DPR yang terlibat kasus
korupsi.

Dari catatan yang ada, sebenarnya kegerahan atas langkah KPK bukan hanya
muncul belakangan. Resistensi sudah muncul sejak KPK menjamah
kasus-kasus besar (skandal) korupsi. Karena resistensi lebih banyak
datang dari mereka yang tersangkut kasus korupsi, isu corruptors fight
back cukup untuk menghadapinya.

Namun, ketika kegerahan masuk wilayah para pengambil keputusan,
eksistensi KPK benar-benar terancam. Misalnya, bagaimana proses seleksi
calon pimpinan KPK generasi kedua menyingkirkan sebagian figur yang
dikenal memiliki keberanian, integritas, dan kompetensi dalam proses fit
and proper test di DPR. Atau dengan cara lain, melalui proses legislasi,
hingga kini RUU Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masih
jauh dari selesai.

*Upaya membunuh KPK*

Terkuaknya dugaan keterlibatan Antasari Azhar dalam pembunuhan Direktur
PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen memberi dampak luar biasa
atas eksistensi KPK. Melihat gejala yang ada, skandal kematian Nasrudin
potensial menjadi menjadi titik balik sekaligus menjadi serangan balik
terhadap KPK. Sejak skandal itu, upaya membunuh KPK sepertinya berjalan
secara sistematis.

Masih segar dalam ingatan kita, betapa bernafsunya sebagian anggota DPR
untuk menghentikan semua upaya penegakan hukum yang akan dilakukan KPK.
Argumentasi yang digunakan cukup sederhana, dengan nonaktifnya Antasari
Azhar, pimpinan KPK tidak lagi memenuhi syarat kolektif sebagaimana
diisyaratkan Pasal 21 UU KPK. Bagi mereka, kolektif harus berjumlah lima
orang. Jika pimpinan kurang dari lima, KPK tidak dapat lagi menjalankan
kewenangan untuk melakukan penyidikan atau penuntutan.

Beruntung, argumentasi itu dibantah sebagian anggota DPR yang lain.
Karena itu, ibarat menepuk air di dulang, argumentasi kolektivitas yang
digunakan sebagian anggota DPR itu akhirnya memercik ke muka sendiri.
Argumentasi kolektif itu lebih banyak datang dari anggota DPR yang
selama ini bersuara miring terhadap eksistensi KPK.

*Tidak lazim*

Belum usai keterperangahan publik menghadapi upaya pembunuhan KPK
melalui argumentasi pimpinan kolektif, tiba-tiba BPKP melakukan langkah
tidak lazim: berupaya mengaudit KPK. Padahal, sebagai auditor internal
pemerintah, BPKP sama sekali tak berwenang mengaudit lembaga independen,
termasuk KPK. Ketidaklaziman tindakan BPKP ini terasa kian aneh saat
Kepala BPKP Didi Widayadi menyatakan rencana mengaudit KPK dilakukan
atas perintah Presiden. Meskipun Yudhoyono membantah pernyataan itu,
sulit dipercaya bahwa tindakan BPKP atas inisiatif sendiri.

Dari semua upaya yang ada, tindakan yang dilakukan kepolisian
benar-benar masuk ke jantung pertahanan KPK. Pada akhir Juni lalu, Wakil
Ketua KPK Chandra Hamzah diperiksa sebagai saksi dalam kasus pembunuhan
Nasrudin Zulkarnaen. Hasil pemeriksaan itu belum tentu membuat kasus
pembunuhan kian terang. Yang dirasakan publik, pemeriksaan Chandra
Hamzah sepertinya sedang bergerak menuju pendulum berbeda.

Dalam hal ini, menarik menyimak pendapat Ketua Pengurus Masyarakat
Transparansi Indonesia Hamid Chalid (Kompas, 2/7), polisi seolah bicara
kasus Antasari, tetapi jangan-jangan semacam preemtive action.
Kecurigaan Hamid bukan tanpa alasan karena polisi amat agresif
mempersoalkan kewenangan penyadapan KPK. Yang paling meresahkan dan
menakutkan, sedang dibangun upaya sistemik berupa kriminalisasi atas
kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK.

*Lanjutkan KPK*

Merujuk tenggat yang terjadi, hampir semua langkah untuk membunuh KPK
terjadi dalam masa-masa menuju pemilihan umum presiden 8 Juli. Aneh
sekaligus mengherankan, tidak ada calon presiden yang memberi dukungan
(terbuka) bagi KPK. Jangankan dukungan, rasa prihatin saja tak keluar
dari para calon presiden.

Selain itu, masalah-masalah krusial lain yang berhubungan erat dengan
pemberantasan korupsi juga tidak mendapat solusi dan dukungan terbuka.
Salah satunya, isu krusial dalam RUU Pengadilan Khusus Tipikor, yaitu
komposisi hakim ad hoc. Sepanjang masa kampanye, tidak ada calon
presiden yang berani secara nyata menyatakan mempertahankan komposisi
hakim ad hoc yang ada saat ini.

Karena itu, secara jujur harus diakui, agenda pemberantasan korupsi yang
ditawarkan calon presiden dalam masa kampanye lalu jauh tertinggal jika
dibandingkan dengan tahun 2004. Padahal, ancaman korupsi tidak kalah
seriusnya dibandingkan dengan lima tahun lalu. Masalahnya, jika dalam
suasana menuju pemilihan presiden saja sulit meraih komitmen untuk
meneruskan dan meningkatkan agenda pemberantasan korupsi (termasuk
dukungan bagi KPK), pasca-8 Juli bisa menjadi semakin sulit.

Yang terasa, saat ini agenda pemberantasan korupsi sedang dalam masa
sulit. Meski demikian, kita tidak boleh menyerah pada segala upaya yang
bermuara pada melemahnya agenda memberantas korupsi. Karena itu, sebagai
pasangan yang mendapat dukungan terbesar pada 8 Juli lalu,
Yudhoyono-Boediono punya tanggung jawab besar dan tidak boleh surut
dalam memberantas korupsi.

Diyakini, kepercayaan pemilih (terutama bagi Yudhoyono) untuk meneruskan
pemerintahan pada periode kedua harus dibaca dan dimaknai sebagai
perpanjangan amanat untuk melanjutkan agenda pemberantasan korupsi.
Artinya, eksistensi KPK harus dilanjutkan dan jangan lanjutkan (lagi)
segala macam upaya yang dapat membunuh KPK.

*Saldi Isra* /Dosen Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi
(PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/14/03440594/lanjutkan.membunuh.kpk
Share this article :

0 komentar: