BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Mari Membuka Sejarah Budaya Bangsa Sendiri

Mari Membuka Sejarah Budaya Bangsa Sendiri

Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 11.58

Mari Membuka Sejarah Budaya Bangsa Sendiri
Dari: semar samiaji kind_evil_06@yahoo.com


Jika merunut kepada tahun-tahun yang diperkirakan, kehadiran kerajaan-kerajaan di Nusantara dan membaginya dalam tiga kurun utama, di mana ditentukan oleh kehadiran keyakinan yang berasal dari luar wilayah Nusantara menjadi sebagai berikut:



Kurun 0 Masehi – 600 Masehi:

Nama-nama kerajaan yang ada antara lain adalah Salaknagara, Tarumanegara, Sunda Galuh, Kalingga, dan Kanjuruhan



Kurun 600 Masehi – 1.500 Masehi:

Nama-nama kerajaan yang ada antara lain adalah Mataram Kuno, Medang, Kahuripan, Janggala, Kadiri, Singhasari, Majapahit, Pajajaran, dan Blambangan



Kurun 1.500 Masehi – sebelum kemerdekaan / sekarang:

Nama-nama kerajaan yang ada antara lain adalah Demak , Pajang, Banten, Cirebon, Sumedang Larang, Mataram Islam, Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunagaran, dan Paku Alaman.



Kurun-kurun di atas ditentukan oleh kehadiran keyakinan atau agama yang berasal dari luar Nusantara. Kurun pertama dan kedua ditandai dengan masuknya Hindu,Budha. Kristen, Sedangkan kurun ketiga didominasi oleh kehadiran Islam. Secara keseluruhan diperkirakan jumlah seluruh kerajaan yang ada di tanah Nusantara adalah berjumlah 760 kerajaan dalam kurun-kurun tersebut. Dari sekian banyak kerajaan, tidak semua dibahas dalam sejarah bangsa Indonesia , hanya beberapa kerajaan besar dan yang diperkirakan memiliki pengaruh dalam penyatuan Nusantara.



Belum ada tulisan atau pun sejarah yang membuka bagaimana sejatinya kehidupan Nusantara sebelum kehadiran keyakinan yang berasal dari luar wilyah Nusantara yang saat ini disebut dengan Indonesia , kecuali melalui two magic words - “animisme dan dinamisme”.



Benang merah yang jelas-jelas ditarik dari semua perjalanan kerajaan tersebut, ada kerajaan awal yang merujuk ke beberapa literatur, yang di antaranya adalah buku dengan nama “Pustaka Rayja-rayja I Bhumi Nusantara” yang disusun oleh Wangsakerta, Cirebon menyampaikan beberapa nama kerajaan di wilayah Jawa sebelah Barat sebagai berikut:

1. Salakanagara

2. Tarumanagara (beribukota di Chandrabhaga/Bekasi & Sundapura)

3. Kerajaan Sunda (disebut juga Sunda-Galuh, beribukota di Pakuan Pajajaran; Saunggalah dan Kawali)

4. Kesultanan Banten, Kesultanan Cirebon & Kerajaan Islam Sumedang Larang
Menurutnya sangat mungkin bahwa Argyre atau Argyros pada ujung barat Iabadiou yang disebutkan Claudius Ptolemaeus Pelusiniensis (Ptolemy) dari Mesir (87-150 AD) dalam bukunya “Geographike Hypergesis” adalah Salakanagara. Suatu laporan dari Cina pada tahun 132 menyebutkan Pien, raja Ye-tiau, meminjamkan stempel mas dan pita ungu kepada Tiao-Pien. Kata Ye-tiau ditafsirkan oleh G. Ferrand, seorang sejarawan Perancis, sebagai Javadwipa dan Tiao-pien merujuk kepada Dewawarman.

Terlepas dari kebenaran yang bisa saja masih menjadi proses tuju kepada bagaimana sejatinya tatanan budaya bangsa Indonesia awalnya, sudah sangat jelas bahwa sejarah yang ada saat ini lebih didominasi cara menyusunnya merujuk kepada kehadiran keyakinan / agama dari luar Nusantara. Sebagai contoh sederhana, saat tahun 600 M – 700 M sudah ada tatanan budaya yang berjalan dan berlaku di tanah Nusantara, dengan adanya beberapa kerajaan besar dalam kurun tersebut. Di saat yang sama, jika merujuk kepada budaya yang dihadirkan oleh seorang anak manusia bernama Ahmad pun hadir di wilayah lainnya. Baru setelah lebih kurang 600 – 700 tahun kemudian kehadiran ke tanah Nusantara ini. Maka, bentuk atau pola demikian pun sudah bisa dipastikan juga hadir sebelumnya di bumi Nusantara ini.



Jadi kajian, apa yang memotivasi kehadirannya ke tanah ini? Apakah aspek budaya hanya berkait kepada tatanan agama atau keyakinan saja? Dalam hal ini belum atau kalau pun ada sudah dalam bentuk penjajahan dalam konteks satu bangsa tertentu, seperti bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris.



Jika merujuk nama yang ada, sebagai mana “salakanagara” yang bermakna “negara perak” apakah ini kemudian budaya leluhur bangsa ini tertinggal dari belahan dunia lainnya atau bangsa yang hadir banyak menyerap budaya yang sudah dihadirkan oleh leluhur bangsa ini?



Beberapa hal yang perlu dikaji dalam percampuran satu budaya:



Pertama, penduduk yang ada bisa disebut sebagai tuan rumah dan bisa membawa watak yang ramah karena tatanan kehidupannya sudah maju dalam konteks mampu menghidupi dan menerima pendatang dalam keramahtamahan, sehingga terjadi percampuran;

Kedua, apakah esensi yang dibawa oleh pendatang saat hadir? Apa bentuk bekal yang tidak pernah habis dibawanya?;

Ketiga, saat percampuran terjadi, aspek apa yang paling dominan?

Keempat, watak dasar manusia yang hendak menguasai apakah berbeda dalam setiap keyakinan yang ada?

Kelima, rentetan kehidupan dari jatuh bangunnya budaya bangsa ini terkristalisasi dalam ISI Pancasila dan juga makna kata Bhinneka Tunggal Ika, yang kata-katanya dirujuk dari bahasa ibu bangsa ini.



Dalam khasanah Sunda ada kata yang disebut dengan “wiwitan” atau “asal muasal” dalam konteks kehidupan. Maknanya, bukan kepada ujud atau bentuk tatanannya, namun kepada esensi atau jiwa budaya yang pernah ada di tanah ini, dalam bahasa saat ini disebut dengan Pancasila. Inilah reinkarnasi jiwa yang mampu menembus semua kurun waktu kehidupan manusia dalam penataan budaya dan mempersatukan semua warna yang dihadirkan di tanah ini.



Jika setiap warna negara Indonesia bersedia berkaca kepada perjalanan dan kajian yang selalu berupaya menemukan benang merah dari sejarah bangsanya sendiri, maka tidak akan ada perseteruan antar kelompok yang merasa benar dengan apa yang diyakininya. Semua itu terjadi karena lebih didominasi oleh ego, keserakahan, iri, dengki, dendam, dan sejenisnya sebagai bagian dari karakter / sifat makhluk Tuhan yang bernama manusia. Sehingga, upaya mentrasformasikan sifat-sifat demikian tuju kepada nilai-nilai kewelasasihan adalah hal utama yang sepatutnya dilakukan setiap warga negara Indonesia dalam melakoni hidupnya di tanah yang memberinya kehidupan.



Inilah sejatinya, “akhir akan bertemu dengan awal” dalam perjalanan bangsa ini khususnya dan secara umum bagi perjalanan umat manusia……melalui penataan sejarah sebagai bagian perekat bangsa ini akan menjadi salah satu ujud langkah kecil agar bangsa ini bersedia saling menghargai satu dengan lainnya dalam nilai-nilai kemanusiaan yang utama – kewelasasihan….



“semua ujud keyakinan kepada Yang Maha Kuasa adalah kewelasasihan dalam ujud laku, bercermin kepada air susu awal dari hadirnya satu hidup bagi kehidupan”



Bogor , 13 Juli 2009

Salam sejarah,

ss

note: disarikan dari beberapa literatur dan kajian diri
Share this article :

0 komentar: