BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Industri Televisi Kita

Industri Televisi Kita

Written By gusdurian on Minggu, 12 Juli 2009 | 13.40

*Amir Effendi Siregar*

Saat kampanye lalu, para calon presiden dan calon wakil presiden hampir
tidak ada yang membicarakan perkembangan media, terutama televisi.

Kita juga tidak cukup memberi perhatian pada perkembangan industri
televisi yang kini berjalan bak berprinsip neoliberal, menyerahkan
perkembangan industri sepenuhnya kepada pasar bebas. Perkembangan ini
perlu dikoreksi karena bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan lainnya.

Sistem politik yang demokratis seharusnya mengubah sistem media yang
otoriter represif dan sentralistis ke arah demokratis dan
desentralistis. Namun, yang terjadi adalah perpindahan ke dalam dominasi
segelintir pemodal dan pemilik stasiun televisi. Perpindahan ke sistem
otoriter dan dominasi baru kelompok swasta sama bahayanya dengan
dominasi negara. Inilah yang kita sebut jalan neoliberal.

Dalam kondisi ini, pemilik stasiun televisi yang menggunakan ranah
publik dapat menggunakan stasiun televisinya untuk kepentingan pribadi.
Demikian juga keseragaman isi yang banyak dikritik masyarakat adalah
akibat sentralisme siaran televisi.

*Kepemilikan*

Arah pemusatan kepemilikan stasiun televisi dapat dilihat secara
terbuka. Pada Juni 2007, diketahui melalui pasar modal, PT Media
Nusantara Citra Tbk (MNC) menguasai 99 persen stasiun RCTI, 99 persen
Global TV, dan 75 persen TPI. Melalui media juga dapat dibaca rencana
penggabungan antara Indosiar dan Surya Citra Media Tbk (SCTV) sehingga
sebuah badan hukum menguasai dua stasiun televisi di satu daerah.

Seperti yang dinyatakan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI)
dalam somasinya terhadap pemerintah pada 29 Oktober 2007, hal itu adalah
peristiwa yang melanggar undang-undang yang membatasi satu orang atau
badan hukum menguasai beberapa lembaga penyiaran, paling banyak memiliki
dua izin penyelenggaraan penyiaran televisi yang berlokasi di dua
provinsi yang berbeda.

Di Amerika Serikat saja, kepemilikan televisi dibatasi berdasar
jangkauannya. Seseorang boleh memiliki banyak stasiun televisi selama
jumlah nation’s TV homes yang dijangkau (jangkauan terhadap penduduk
yang mempunyai akses) tidak lebih dari 39 persen.

Untuk Indonesia, berdasar data Media Scene 2006-2007, jangkauan setiap
televisi swasta dengan puluhan stasiun relai membuat 60-90 persen
penduduk dapat mengaksesnya. Jumlah ini jauh lebih besar daripada yang
diizinkan di Amerika Serikat. Apalagi bila menguasai lebih dari satu
lembaga penyiaran yang memiliki puluhan bahkan ratusan stasiun relai.

Melalui pemberitaan, kita juga mengetahui adanya jual beli lembaga
penyiaran. Seharusnya pengalihan penguasaan frekuensi yang merupakan
public domain diatur oleh negara dan didistribusikan secara tepat, adil,
dan merata berdasar prinsip keanekaragaman. Industri televisi berbeda
dengan industri sepatu, tidak dapat dilepas begitu saja ke pasar yang
dikuasai pemodal besar tertentu saja.

DPR melalui Komisi I, dalam rapat kerja 15 September 2008, pernah tegas
meminta agar pemerintah membatalkan izin yang diberikan kepada sebuah
perusahaan yang dinilai melanggar undang-undang. Selain itu, dalam rapat
kerja Komisi I dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (17/3/2008),
pemerintah didesak menyelesaikan pengaturan penggunaan frekuensi dan
penyelenggaraan penyiaran swasta, termasuk masalah monopoli, kepemilikan
TV, dan radio, agar sesuai dengan undang- undang penyiaran, yang mengacu
pada prinsip diversity of ownership dan diversity of content.

Selanjutnya, anggota MPPI sendiri, sejak Juli hingga Oktober 2008,
mendaftarkan ke pengadilan tiga gugatan terhadap pemerintah yang
dianggap membiarkan pelanggaran hukum. Salah satu gugatan menyangkut
kepemilikan sebuah perusahaan terhadap tiga lembaga penyiaran sekaligus.

Untuk gugatan ini, perdamaian melalui pengadilan telah dicapai, yaitu
setiap pihak secara bergandeng tangan akan menegakkan peraturan
perundang- undangan. Namun, hingga kini, belum ada perkembangan berarti.
Tampaknya pemerintah tidak keberatan terhadap merger yang berdasarkan
pendapat banyak pihak melanggar peraturan perundang-undangan di bidang
penyiaran.

*Ada arti sosial*

Bila dulu negara mengooptasi pelaku usaha untuk kepentingan rezim, kini
dikhawatirkan kooptasi dilakukan pelaku usaha terhadap birokrat hanya
untuk kepentingan bisnis dan melupakan kepentingan masyarakat. Kita
menerima ekonomi pasar, tetapi yang selalu diperbaiki dan dikontrol oleh
negara terutama hal-hal yang terkait ranah publik, pencerdasan bangsa,
dan usaha kecil. Ekonomi pasar harus mempunyai arti sosial, inilah yang
disebut ekonomi pasar.

Diharapkan, pemerintahan mendatang menghindari jalan neoliberal,
melakukan langkah tegas dalam membangun sistem penyiaran yang
demokratis. Sebuah sistem yang melahirkan keragaman isi dan kepemilikan.

/Amir Effendi Siregar Ketua Dewan Pimpinan Serikat Penerbit Suratkabar
(SPS) Pusat; Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta
/

/http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/11/04542853/industri.televisi.kita
/
Share this article :

0 komentar: