BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Pelajaran dari Dekrit Presiden

Pelajaran dari Dekrit Presiden

Written By gusdurian on Minggu, 12 Juli 2009 | 13.23

KOLOM POLITIK EKONOMI



*Budiarto Shambazy*

Persis setengah abad lalu, 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menerbitkan
Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante hasil Pemilu 1955 dan
mengganti UUD ’50 dengan UUD ’45. Penerbitan dekrit dilatarbelakangi
kegagalan Konstituante menetapkan UUD baru pengganti UUD ’50.
Konstituante sudah memulai sidang sejak 10 November 1956, tetapi sampai
1958 gagal merumuskan UUD seperti harapan. Padahal, berbagai kalangan
masyarakat menghendaki negara kembali ke UUD ’45.

Menanggapi desakan itu, Soekarno menyampaikan amanat di Konstituante, 22
April 1959, yang isinya menganjurkan kembali ke UUD ’45. Tanggal 30 Mei
1959 Konstituante mengadakan voting dan hasilnya 269 suara setuju
kembali ke UUD ’45, 199 tak setuju. Meski yang setuju lebih banyak,
voting harus diulang karena jumlah suara tak kuorum.

Voting berlangsung 1-2 Juni 1959 dan Konstituante kembali gagal mencapai
kuorum. Untuk meredam kemacetan, Konstituante reses yang ternyata jadi
akhir dari upaya penyusunan UUD baru. Untuk mengakhiri krisis, Soekarno
menerbitkan dekrit yang diumumkan di Istana Merdeka pukul 17.00 melalui
upacara resmi.

Dalam proses pembuatan UUD ’45 tak lama sebelum Proklamasi, para pendiri
republik keburu memercayai sistem presidensial ala Amerika Serikat (AS)
yang disesuaikan dengan kondisi-kondisi Indonesia. Namun, AS jauh lebih
dulu merdeka dan dalam sistem presidensial hanya bisa dicapai jika
integrasi politik, ekonomi, dan budaya telah mencapai tingkatan ideal.
Sementara kita saat itu masih terbelakang.

Ketika Badan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPKI) bersidang sejak Mei
1945 terdapat tiga kelompok yang berperanan merumuskan UUD ’45: priayi,
Islam, dan sekuler. BPKI secara tersirat menyimpulkan kepresidenan yang
memimpin bangsa mesti tokoh yang merefleksikan aspirasi mayoritas rakyat
yang dibantu parlemen yang bekerja berdasarkan musyawarah dan mufakat.

Tidak ada pemisahan kekuasaan dan checks and balances
eksekutif-legislatif seperti di AS karena presiden tak bertanggung jawab
kepada parlemen. Ancaman otoritarianisme presiden dapat dicegah karena
eksekutif wajib konsultasi dengan parlemen yang memberikan
masukan-masukan aspiratif berdasarkan konsensus yang lahir dari
masyarakat luas. Dalam pidato 17 Agustus 1959 Soekarno mengatakan, ”UUD
’45 cerminan asli identitas negara yang menerapkan sistem pemerintahan
berdasarkan musyawarah dan mufakat, dengan kepemimpinan pusat di tangan
sesepuh yang tidak mendikte, melainkan meneladani serta mengayomi.”

UUD ’45 memberikan tugas dan kewajiban dominan bagi presiden karena ia
bukan saja berperan sebagai kepala negara, melainkan juga kepala
pemerintahan. Presiden sebagai kepala negara, misalnya, menjabat sebagai
pangti. Ia memberikan grasi/amnesti serta menyatakan perang, damai,
serta mengikat perjanjian dengan negara asing dengan persetujuan DPR.
Sebagai kepala pemerintahan, presiden memiliki hak dan tanggung jawab
seperti di negara lain, yakni membentuk kabinet atau menetapkan program
selama masa jabatannya. Tak satu pun RUU luput dari persetujuan presiden
maupun DPR yang memperlihatkan proses checks and balances.

Sistem presidensial guncang beberapa bulan setelah Proklamasi.
Soekarno-Hatta sempat membentuk kabinet 31 Agustus 1945, tetapi sejumlah
faktor internal dan eksternal mengakibatkan perubahan ke sistem
parlementer melalui penerbitan ”Maklumat X” (Maklumat Wakil Presiden)
Hatta. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang sebelumnya mempunyai
kekuasaan terbatas, mengambil alih sebagian kekuasaan eksekutif yang
menurut UUD ’45 dikendalikan MPR dan DPR yang belum terbentuk.

Sejak itulah Dwitunggal sekadar simbol kepemimpinan nasional yang tetap
berpengaruh, sementara kabinet Sjahrir menjalankan roda pemerintahan
yang bertanggung jawab kepada KNIP dan Badan Pekerja KNIP (BP KNIP).
Perimbangan kekuasaan ala sistem parlementer melibatkan tiga aktor:
Presiden Soekarno-Wakil Presiden Hatta, PM Sjahrir dan kabinetnya, serta
KNIP/BP KNIP.

Eksperimentasi sistem parlementer periode November 1945-Januari 1948
gagal karena ketidaksiapan partai-partai mengembangkan sistem parlementer.

Krisis lain adalah pengunduran diri Wakil Presiden Hatta, 20 Juli 1956.
Sekalipun desakan agar Dwitunggal dipersatukan, pengunduran diri Hatta
telanjur jadi simbol ketidakpuasan daerah terhadap pusat. Legitimasi
sistem parlementer melemah karena partai hampir tak berperanan dalam
pengelolaan konflik dan konsensus nasional.

Kelemahan ini juga yang membuat Soekarno menjajakan ”Konsepsi”. Jika
ingin demokrasi parlementer ala Barat bekerja, dibutuhkan tingkat melek
huruf dan kesejahteraan memadai. Saat ini kita belum mencapai tingkatan itu.

Sekitar sebulan kemudian Soekarno menetapkan Konsepsi terdiri dari tiga
pokok: pertama, demokrasi ala Barat telah gagal di Indonesia; kedua,
Demokrasi Terpimpin seperti yang diterapkan di desa-desa harus
diterapkan di tingkat nasional; dan ketiga, Demokrasi Terpimpin
setidaknya diberlakukan untuk sementara sampai rakyat siap menerima
demokrasi Barat. Hal itulah yang kelak memperkuat tekad Soekarno
menerbitkan dekrit.

Kondisi saat ini agak menyerupai masa sebelum dekrit. Nilai dan
institusi demokrasi Barat telah diuji coba, tetapi kurang mujarab
menyelesaikan berbagai masalah kebangsaan. Kabinet-kabinet selama era
Reformasi belum berhasil bekerja sebagai pemerintahan yang efisien.

Kabinet-kabinet selama 11 tahun terakhir jadi penonton yang tak berdaya
menghadapi korupsi yang merajalela di berbagai cabang maupun tingkatan
kekuasaan karena ketiadaan moral hazard. Reformasi birokrasi belum
berjalan sesuai rencana. Satu-satunya jalan keluar mengakhiri berbagai
masalah untuk menjaga keutuhan bangsa adalah memiliki presiden yang
berani dan tegas. Itulah hikmah yang dapat dipetik dari sejarah setengah
abad Dekrit 5 Juli.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/07/11/02590322/pelajaran.dari.dekrit.presiden
Share this article :

0 komentar: