*Globalisasi dan "Wong Cilik" Berpelukan*
Harta Manullang
Usai sudah pesta demokrasi bangsa kita yang kedua, memilih pasangan
putra terbaik Ibu Pertiwi untuk periode 2009 - 2014. Hasil penghitungan
cepat menunjukkan, pasangan SBY-Boediono memenangi pertarungan tersebut.
Program pertumbuhan ekonomi secara khusus dan perkembangan di segala
sektor secara umum, merupakan poros pokok dalam perbedaan warna visi dan
misi yang disampaikan setiap pasangan capres-cawapres selama kampanye.
Isu ekonomi liberal mencuat dan isu ekonomi kerakyatan yang merangkul
wong cilik hadir sebagai a contrario pada awal penetapan capres dan
cawapres, beberapa waktu lalu. Namun, tidak banyak rakyat yang mengerti
sesungguhnya, apa itu yang dimaksud dengan ekonomi liberal, ekonomi
kerakyatan, atau program pembangunan seperti apa yang sungguh-sungguh
berpihak kepada wong cilik.
Laissez-faire economic policy (pas trop gouvernor) yang merupakan slogan
dari konsep ekonomi liberal atau pasar bebas, menekankan no state
intervention atau menghindari campur tangan pemerintah dalam
perekonomian. Konsep ini pertama kali digunakan oleh Rene de Voyer,
salah satu pelopor perdagangan bebas pada abad delapan belas. Kemudian,
Benjamin Franklin dan George Whatley menuangkannya dalam bukunya yang
berjudul Principles of Trade tahun 1774. Namun, tidak satu pun negara di
dunia ini yang benar-benar menerapkan konsep tersebut. Bahkan,
negara-negara yang termasuk jajaran ekonomi liberal melakukan intervensi
di beberapa sektor tertentu dalam menjalankan pembangunannya.
Sejak tahun 1980-an, Indonesia menerapkan mixed economy atau Keynesian
Concept, di mana perdagangan dibuka pada pasar bebas dengan tingkat
intervensi tertentu. Tentunya, intervensi yang diperlukan adalah campur
tangan yang memihak pada kepentingan umum dan bukan berdasarkan
kepentingan elite tertentu.
Tingkat keterbukaan Indonesia kepada pasar bebas dan tingkat intervensi
dengan aturan main yang jelas, sangat menentukan perjalanan bangsa ini
ke depan. Terpuruknya perekonomian Indonesia sejak 1998 dipacu oleh
keberpihakan pemerintah pada elite tertentu dan intervensi dan subsidi
pada sektor yang bukan strategis. Situasi demikian, tentunya diharapkan
tidak akan terulang ke depan, karena satu dekade lebih setelah krisis
1997/1998, bangsa ini masih belum seutuhnya pulih, yang walaupun sejak
2004 pemulihan di berbagai bidang sudah mencapai tingkat yang cukup
baik, dan dalam hal ini sebagai bangsa Indonesia kita boleh berbangga hati.
Potensi
Selanjutnya, dalam era globalisasi, Indonesia tentunya harus mampu
menggali potensi untuk berpartisipasi dan mengambil keuntungan yang
maximum dari the shrinking global market. Karena suka atau tidak, bangsa
kita tidak bisa terlepas dari saling ketergantungan antara negara yang
satu dan yang lain.
Dengan kata lain, Indonesia tidak bisa mengisolasi diri atau mencoba
untuk membangun ekonomi yang mandiri. Karena apabila hal ini terjadi,
maka perekonomian kita akan "membajai" sementara perekonomian negara
tetangga akan "meroket". Selanjutnya, kompetisi yang sangat berat
merupakan part of the game, di mana negara - negara tetangga bisa
merupakan ancaman dan kesempatan pada saat yang bersamaan. Sebaliknya,
pasar global merupakan sebuah kesempatan besar untuk membawa Indonesia
sebagai one of the players di dalam era globalisasi. Tentunya, kunci
utama untuk mengatasi ancaman tersebut adalah pengolahan dan alokasi
sumber daya yang dimiliki dengan baik.
Globalisasi telah mampu membawa 300 juta penduduk Tiongkok keluar dari
lembah kemiskinan sejak tiga dekade terakhir. Kalau Tiongkok bisa,
kenapa Indonesia tidak? Untuk mencapai tujuan ini, negara sangat
membutuhkan pemimpin yang punya visi dan misi yang jelas.
Trias Politica dari Montesquieu merupakan suatu konsep fundamental dalam
demokrasi, di mana pembagi-bagian kekuasaan atau la distribution des
pouvoirs diklasifikasikan ke dalam tiga fungsi; (le pouvoir législatif,
le pouvoir exécutif, dan le pouvoir judiciaire). Di Indonesia,
pengaturan ketiga fungsi ini sudah terlaksana dengan baik. Namun, aturan
main pembagi-bagian kekuasaan atau yang disebut sebagai kontrak politik
di badan eksekutif sendiri masih agak bias. Indonesia, yang masih
tergolong sangat muda dalam sistem demokrasi, koalisi atau deal politik,
merupakan suatu hal yang sangat mudah dipahami. Dalam hal ini, tujuan
utama pemilihan calon wakil presiden, baik dari partai yang sama atau
dari partai yang berbeda, membantu maupun meningkatkan kesempatan partai
untuk memenangkan pemilu. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan,
hendaknya setiap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden
memiliki visi dan misi yang sama dalam menentukan arah pembangunan ke
depan, karena dualisme kepemimpinan hanya akan melahirkan conflict of
interest yang akan membawa berbagai macam dampak negatif.
Masih ingat pesan imut Teletabis, "berpelukan"? Sebuah kata yang sangat
sederhana, namun mampu menebar suasana damai dan hangat.
Biru-kuning-merah-hijau bersatu dalam sebuah pelukan. Kiranya,
warna-warni yang hadir di tengah-tengah pesta demokrasi kita mampu
memberikan suasana yang tenteram dan semakin dewasa dalam berdemokrasi.
Yang kalah dan yang menang bisa berpelukan.
Penulis adalah dosen di Institut Catholique de Paris, Prancis
http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=9190
*Globalisasi dan "Wong Cilik" Berpelukan*
Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 10.48
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar