BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Dari Pesta Demokrasi ke Pesta Edukasi

Dari Pesta Demokrasi ke Pesta Edukasi

Written By gusdurian on Selasa, 14 Juli 2009 | 11.22

Dari Pesta Demokrasi ke Pesta Edukasi


Oleh: Mohammad Faisol

/Seorang musikus harus menciptakan musik, seorang seniman harus melukis,
//dan //seorang penyair harus menulis jika dia ingin merasa damai dengan
dirinya sendiri. Apa yang seseorang bisa lakukan harus dia lakukan./
(Abraham Maslow)

Yang dikatakan Maslow itu pada dasarnya merupakan bentuk apresiasi
terhadap setiap orang yang hidupnya diabdikan untuk ''berbuat",
berkarya, berinovasi, atau melakukan sesuatu yang berharga dalam
dirinya. Sesuatu yang berharga bagi diri seseorang itu hanya ditentukan
oleh kegigihan atau usaha keras untuk ''menciptakan", seperti melukis,
menulis, atau menunjukkan karya lainnya, yang bermanfaat bagi diri,
masyarakat, dan bangsanya.

Ajakan Moslow tersebut sudah dilalui oleh ''pekerja-pekerja" politik
yang memainkan perannya untuk mengantar seseorang yang didukung menjadi
calon presiden atau wakil presiden. Mereka telah ''berbuat" dalam bentuk
mewarnai, mendesain, atau menghadirkan atmosfer hiruk-pikuk dalam pesta
demokrasi, yang membuat rakyat memberikan apresiasi atau kepercayaan.

''Pekerja-pekerja politik" itu berhasil membuat (menggiring atau
mendidik) rakyat menjadi pemegang kedaulatan atau pemilik hak
mencontreng yang mau memasuki bilik suara (TPS) guna menunjukkan kepada
dunia bahwa negeri ini mampu menggelar demokrasi, yang bahkan menurut
istilah Gus Mus (/JP/, 10 Juli 2009) rakyat sudah semakin dewasa dalam
menunjukkan suaranya.

Terlepas adanya kelemahan di sana-sini dalam pesta demokrasi itu, yang
jelas, pesta yang menghabiskan dana sangat besar itu harus ditinggalkan
dulu. Kalaupun ada ''pekerja politik" yang kecewa atas adanya dugaan
''pekerja politik" lainnya bermain curang atau tidak menegakkan prinsip
/fair play/ dalam pesta, maka jalur hukum bisa digunakan sebagai alternatif.

***

Kenapa pesta demokrasi tersebut perlu ditinggalkan dulu?

Masyarakat negeri ini tak boleh larut dalam atmosfer pesta yang menguras
banyak energi, apalagi dengan menghambur-hamburkan uang. Sebab, pada
Juli ini, masyarakat kembali menghadapi pesta yang juga membutuhkan atau
berpotensi menguras uang yang tidak sedikit. Pesta yang dihadapi
(dimasuki) masyarakat itu adalah pesta edukasi (tahun ajaran baru).

Uang yang dibelanjakan masyarakat pada tahun ajaran baru (2009/2010) ini
masih tergolong banyak, bahkan barangkali ''mencekik". Yang dibutuhkan
anak-anak pada tahun ajaran baru ini hampir selalu bernilai pada soal
uang. Seragam, sepatu, tas, buku, laptop, dan berbagai jenis iuran di
sekolah merupakan kebutuhan yang ''mencekik" setiap orang tua, khususnya
keluarga miskin.

Bagi orang tua yang mempunyai anak lebih dari satu, yang sama-sama masuk
pada tahun ajaran baru, kebutuhan ber-/cost / uang tersebut jauh lebih
membebani lagi. Akibat beban pengeluaran yang demikian besar, tidak
asing baginya kalau menjatuhkan opsi ''gali lubang tutup lubang".
Bahkan, keluarga yang terdesak kebutuhan itu terpaksa ''menyekolahkan"
atau menggadaikan barang-barang yang masih bisa dibarterkan dengan uang.

Bagaimana dengan janji pemerintah yang bertema ''menggratiskan"
pendidikan? Masyarakat sudah tahu jawabannya, bahwa apa yang dijanjikan
pemerintah itu masih belum mengempirik. Pemerintah masih "berjanji" atau
menyanyikan lagu manis politik atas nama pendidikan berbasis kerakyatan,
dan "belum bisa" menunjukkan buktinya. Berbagai bentuk keluhan
masyarakat akibat ditarik iuran dan penentuan besaran SPP serta
biaya-biaya lainnya adalah contoh bahwa masyarakat dituntut mengikuti
alur politik "kapitalisasi pendidikan" yang diregulasikan sekolah.

Itu menggambarkan bahwa orang tua, dari yang kaya hingga miskin,
dilibatkan sekolah untuk menggelar pesta edukasi, yang /cost/ pestanya
masih jelas-jelas di tangannya, dan bukan (belum) diambil alih
pemerintah meski seharusnya (sesuai janji) pemerintah yang menanggung.

Dalam kasus tersebut, pemerintah berarti mempunyai "utang" kepada
masyarakat yang harus dibayar secepatnya. Pembayaran "utang" kepada
masyarakat itu sebenarnya akan memberikan manfaat besar terhadap
terwujudnya pesta edukasi yang lebih baik, yang bisa membuat
terbentuknya masyarakat pembelajar.

***

Selain menunggu pelunasan pembayaran "utang" pemerintah kepada
masyarakat, pesan Maslow di atas tampaknya lebih tepat dikembangkan oleh
sekolah dalam mengisi pesta edukasi. Sisi yang secepatnya wajib
dikembangkan adalah membumikan kosa kata berbuat atau mencipta yang
bertajukkan "menulis, melukis, berkreasi, berinovasi", atau bernalar
untuk melahirkan sesuatu yang bermanfaat, tanpa perlu minder atau merasa
takut kalau yang "dilahirkan" dinilai salah, tidak pantas, tidak
bermutu, atau jauh dari layak.

Guru-guru yang berjuluk "rasul pembaruan" wajib mengarahkan atau
membimbing anak-anak didiknya menjadi sosok yang tidak kenal lelah
bernalar untuk melahirkan sesuatu yang bermanfaat. Tanpa didikan atau
arahan demikian, masyarakat akan mengalami krisis generasi atau SDM yang
produktif, kreatif, dan militan (tangguh secara moral, ideologis, dan
keberagamaan).

Negeri ini sudah kaya anak-anak didik atau manusia-manusia yang pintar
menghafal rumus-rumus, teori-teori, dan mazhab-mazhab, tetapi masih
tergolong "miskin" sosok siswa atau manusia-manusia yang sukses jadi
penelur mazhab, teori, dan temuan-temuan lain, yang mencerminkan diri
sebagai komunitas pembelajar dan pekerja hebat.

Dalam pasal 1 angka (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional disebutkan bahwa pendidikan itu usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.

Dalam dasar yuridis tersebut terdapat kosa kata ''mengembangkan" potensi
yang menggabungkan kognisi, afeksi, dan psikomotorik sehingga target
pencapaian dalam setiap proses pembelajaran menekankan pada akumulasi
nilai. Dengan akumulasi nilai yang menjadi tolok ukur itu, sebenarnya
konsentrasi penyelenggara pendidikan terletak pada upaya maksimalitas
untuk mengantar atau "mengelola" anak didik supaya menjadi manusia yang
mampu "menikmati" pesta edukasi.

Siswa bisa "menikmati" pesta itu bila penyelenggara pendidikan
(sekolah/guru) benar-benar memusatkan konsentrasi atau aktivitas
edukatifnya pada upaya memenuhi kebutuhan siswa, bukan kebutuhan sekolah
yang dipaksakan seolah-olah sebagai kebutuhan siswa. *(*)*

/*). Mohammad Faisol, p/ /egiat di International Network for Human
Rights, tinggal di Malang

http://jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=80143
Share this article :

0 komentar: