Kejahatan Transnasional, Masalah Narkoba, dan Diplomasi Indonesia
Oleh Desra Percaya Direktur Keamanan Internasional dan Perlucutan
Senjata, Ditjen Multilateral Departemen Luar Negeri
T ULISAN ini secara khusus menyoroti kejahatan terorganisasi
transnasional yang merupakan ancaman terhadap negara dan masyarakat yang
dapat mengikis human security dan kewajiban dasar negara untuk menjaga
keamanan dan ketertiban
Salah bentuk permasalahan kejahatan terorganisasi adalah perdagangan
gelap narkoba (illict drug traffi cking)
Perdagangan gelap narkoba juga menyebabkan terjadinya berbagai
permasalahan yang bersifat multifaceted, seperti peningkatan penularan
HIV/AIDS melalui pengguna narkoba jarum suntik (IDUs/injecting drug
users) di sejumlah negara. Pada sisi lain, kejahatan perdagangan orang,
khususnya terkait dengan kejahatan eksploitasi seksual, kerap juga
dihubungkan dengan kejahatan perdagangan gelap narkoba
Dengan melihat besarnya cakupan permasalahan kejahatan terorganisasi
transnasional, khususnya pengedaran gelap narkoba di dunia, terdapat
keperluan untuk merumuskan beberapa upaya dalam memperkuat kerangka
hukum dan instrumen hukum internasional yang ada
Sebagai catatan, sejauh ini terdapat beberapa instrumen yang menjadi
tolok ukur, yakni Konvensi PBB Tahun 1961 mengenai Narkotika dan
Obat-obatan; Konvensi PBB Tahun 1971 mengenai Psikotropika; Konvensi PBB
Tahun 1988 menentang Perdagangan Gelap Narkoba dan Psikotropika;
Konvensi PBB menentang Kejahatan Terorganisasi Transnasional Tahun 2000
(Konvensi Palermo); dan Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003
(Konvensi Merida)
Walaupun kelima konvensi tersebut merujuk ke kejahatan-kejahatan yang
spesifik (dengan pengecualian Konvensi Palermo), pada intinya terdapat
tiga hal utama yang diatur dalam konvensi-konvensi tersebut. Pertama,
mengatur langkah-langkah yang perlu diambil negara untuk mencegah
terjadinya kejahatan. Kedua, mengatur perbuatan-perbuatan yang dianggap
sebagai tindak pidana (criminalization) sebagai bagian dari penegakan
hukum (law enforcement). Ketiga, pengefektifan dan penguatan kerja sama
internasional melalui kerangka ekstradisi, bantuan hukum timbal balik,
dan kerja sama lainnya
Upaya internasional untuk mengawasi narkoba sudah ada sejak berdirinya
Komisi Shanghai pada 1909. Sejak itu terdapat berbagai ragam konvensi
yang disepakati baik di bawah Liga Bangsa-Bangsa (LBB) maupun PBB.
Selanjutnya pada 1971, negara-negara anggota PBB menyepakati suatu
traktat yang mengawasi obatobatan yang bersifat sintetis yang dikenal
dengan istilah psychotropic substances yang banyak disalahgunakan pada
masa tersebut hingga seka rang ini yang dikenal dengan ATS (amphetamine
type-stimulants), termasuk ekstasi dan sabu. Pada 1988, disadari bahwa
tidak cukup jika negara-negara anggota memfokuskan pada control measures
dan kriminalisasi terhadap narkotik dan psikotropika. Karena itu, lahir
Konvensi 1988 yang bertujuan memberantas perdagangan gelap narkotik dan
psikotropika. Jika dilihat dari segi isi Konvensi 1988, muncul embrio
dari upaya internasional untuk menanggulangi permasalahan organisasi
kejahatan transnasional--yang antara lain dapat diidentifi kasikan
dengan aturan-aturan yang menyangkut ekstradisi; bantuan hukum timbal
balik; penanganan perdagangan gelap narkoba melalui laut; controlled
delivery; pemerkuatan rezim antipencucian uang (termasuk masalah
penyitaan dan perampasan hasil kejahatan narkoba); dan kriminalisasi
diversi prekursor dan pengawasan prekursor
Hal lain yang cukup mengesankan dalam perkembangan masalah narkoba dunia
adalah upaya untuk meningkatkan penanggulangan masalah narkoba bukan
hanya pada sisi ketersediaan (sup ply), tetapi juga dari sisi permintaan
(demand)
Tak dapat dimungkiri bahwa Konvensi Palermo (2000) merupakan suatu
terobosan bagi dunia internasional, khususnya negara-negara anggota PBB
untuk secara efektif dan efi sien mencegah dan memberantas kejahatan
terorganisasi transnasional. Terobosan tersebut dapat dilihat dalam
kesepakatan mengenai defi nisi kelompok terorganisasi (criminal group)
dan ruang lingkup dari kejahatan transnasional
Selain itu, Konvensi Palermo membuat terobosan dengan mengidentifi
kasikan dua hal, yakni pertama, pentingnya upaya memperkuat rezim
antipencucian uang dan antikorupsi sebagai langkah awal yang perlu
dilakukan setiap negara pihak dalam memberantas kejahatan terorganisasi
transnasional. Hal itu bertujuan memastikan adanya upaya untuk
menghentikan urat nadi kejahatan transnasional dari segi keuangannya,
dan menjaga integritas para penegak hukum dalam menindak kejahatan
transnasional. Kedua, luasnya cakupan kejahatan transnasional dengan
dipeloporinya tiga protokol sebagai bagian dari Konvensi Palermo, yakni
perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak-anak; penyelundupan
migran; dan perdagangan gelap senjata api. Hal itu membuka pengertian
bahwa Konvensi Palermo dapat dimanfaatkan untuk mencegah dan memberantas
kejahatan transnasional lainnya, antara lain kejahatan lingkungan hidup,
kejahatan flora dan fauna, kejahatan ekonomi baru, dan kejahatan dunia maya
Disadari bahwa upaya pemberantasan kejahatan internasional melalui
pencegahan dan kriminalisasi korupsi tidak hanya cukup diatur dalam
Konvensi Palermo sehingga pada 2003 negaranegara anggota PBB telah
menyepakati suatu konvensi tersendiri menentang korupsi yang disebut
dengan Konvensi Merida. Manfaat dan terobosan utama dari Konvensi Merida
terletak pada bab yang mengatur masalah pengembalian aset hasil
kejahatan secara tersendiri. Kerja sama dalam pengembalian aset atau
lebih lazim disebut asset recovery merupakan prinsip dasar dari Kon
vensi Merida. Bagi negaranegara pihak, prinsip tersebut pada intinya
membuka peluang bagi negara-negara untuk memperkuat upayanya dalam
penyitaan dan perampasan aset. Hal ini juga dapat dilihat dengan mulai
adanya suatu kesepahaman mengenai manfaat non-conviction based
forfeiture (perampasan tanpa adanya tuntutan pidana) sebagai langkah
pasti bagi negara-negara untuk mengejar hasil-hasil kejahatan korupsi,
yang juga memiliki spillover effect pada hasil kejahatankejahatan lainnya
Dewasa ini, banyak negara yang melihat kejahatan terorganisasi
transnasional, termasuk perdagangan gelap narkoba, sebagai suatu ancaman
nontradisional. Ancaman tersebut merupakan ancaman terhadap kelangsungan
hidup suatu negara dan pemerintahan, dan berdampak terhadap kelangsungan
dan sendi-sendi kehidupan ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan
keamanan
Komitmen Indonesia Jika dilihat dari sisi komitmen Indonesia dalam
memberantas kejahatan nontradisional, Indonesia dapat dikategorikan
sebagai negara yang telah memenuhi persyaratan legalistik dengan
meratifi kasi kelima konvensi dimaksud, serta dua protokol dari Konvensi
Palermo mengenai perdagangan orang dan penyelundupan migran. Namun,
masih terdapat beberapa kelemahan dalam melaksanakan konvensi-konvensi
tersebut jika dilihat dari satu kesatuan antara kelima konvensi
dimaksud. Hal itu disebabkan belum tuntasnya proses harmonisasi dari
ratifi kasi kelima konvensi
Dalam kaitan ini terdapat tiga hal yang mencuat
Pertama, belum adanya defi nisi yang jelas dalam legislasi nasional
mengenai kelompok terorganisasi sebagaimana tecermin dalam Konvensi
Palermo, maupun Konvensi 1988 merupakan tonggak sejarah upaya
memberantas sindikat terorganisasi yang terlibat dalam per dagangan
gelap narkoba pada tingkat internasional
Untuk Indonesia, hal itu akan mempersulit penegak hukum dalam upaya
untuk memberantas bukan hanya peredaran gelap narkoba, melainkan juga
kelompok kejahatan terorganisasi
Kedua, pada kenyataannya upaya untuk menghentikan kegiatan sindikat
terorganisasi dengan mematikan urat nadi fi nansialnya belum mencapai
harapan sesuai dengan rezim antipen cucian uang yang berlaku. Hal itu
merupakan kenyataan bahwa penegakan hukum belum efektif dalam upaya
untuk mengejar sisi fi nansial sindikat narkoba. Sebagai referensi
berdasarkan studi BNN dan UI pada 2008, jumlah keseluruhan biaya ongkos
ekonomi dan sosial dari peredaran gelap narkoba berjumlah sekitar Rp32
triliun. Hal yang sangat besar jumlahnya untuk dikejar melalui mekanisme
antipencucian uang yang sudah ada
Ketiga, kelemahan legislasi nasional yang tidak mengkriminalisasikan
diversi prekursor-pada kenyataan dimanfaatkan sindikat narkoba sebagai
loop hole untuk memproduksi baik dalam skala besar maupun
kecil--pabrikpabrik ekstasi dan sabu. Walaupun pada akhirnya
pabrik-pabrik tersebut bisa diberantas aparat penegak hukum, aparat
penegak hukum belum memiliki wewenang untuk bertindak saat prekursor
mulai diversi. Aparat penegak hukum hanya dapat bertindak saat prekursor
tersebut mulai diproduksi menjadi psikotropika. Namun, bukan merupakan
tujuan dari Konvensi 1988 untuk mencegah dan memberantas diversi prekursor
Oleh karena itu, sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan tersebut,
dapat direkomendasikan tiga hal utama. Pertama, memasukkan unsur/defi
nisi kelompok kejahatan terorganisasi dalam amendemen KUHP ataupun UU
khusus yang terkait dengan kejahatan transnasional. Kedua, memperkuat
legislasi nasional terkait dengan penyitaan dan perampasan aset. RUU
perampasan aset yang sudah masuk Prolegnas 2008 merupakan suatu kemajuan
dalam upaya untuk mencegah pencucian uang maupun merampas hasil kejahatan
Selain mempergunakan ketentuan-ketentuan terkait dengan perampasan yang
terdapat dalam Konvensi Palermo, kiranya RUU perampasan aset dapat
mempergunakan ketentuan non-conviction based forfeiture sebagaimana
terdapat dalam Konvensi Merida. Ketiga, memasukkan unsur perbuatan
pidana untuk diversi prekursor baik dalam ketentuan legislasi nasional
yang mengatur mengenai narkotik dan psikotropika. Hal itu pada akhirnya
akan menjadi suatu langkah maju bagi Indonesia di dunia internasional.
http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/07/07/ArticleHtmls/07_07_2009_017_002.shtml?Mode=0
Desra Percaya: Kejahatan Transnasional, Masalah Narkoba, dan Diplomasi Indonesia
Written By gusdurian on Rabu, 08 Juli 2009 | 15.01
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar