BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » BANDUL STRATEGI KAMPANYE YANG BERUBAH

BANDUL STRATEGI KAMPANYE YANG BERUBAH

Written By gusdurian on Minggu, 26 Juli 2009 | 10.01

BANDUL STRATEGI KAMPANYE YANG BERUBAH

Amerikanisasi kampanye juga melanda politikus Jepang, yang kini lebih
mengandalkan konsultan politik ketimbang loyalitas terhadap partai.

*TOKYO* - Pemilu legislatif yang sudah di ambang mata kali ini
menguarkan aroma berbeda di kalangan politikus Jepang. Banyak di antara
kandidat yang mulai mendatangi para konsultan komunikasi untuk
mendapatkan slogan kampanye yang efektif, dan menggosok citra diri yang
lebih akrab dan hangat.

"Kampanye itu adalah bagaimana bisa memikat pemilih, bukan pertemuan
untuk membahas kepentingan partai-partai politik atau mengendalikan
situasi politik dalam genggaman. Saya pelajari ini dari (kampanye)
Amerika," ujar Hiroshi Miura, salah seorang konsultan politik terlaris
saat ini yang memulai karirnya setelah melakukan studi sistem kampanye
AS pada 1988. "Apa yang terlihat nyata bagi publik belum tentu terlihat
oleh tim kampanye. Kami mengisi celah itu," ujar Miura.

Gaya kampanye ini mengubah paradigma politik Jepang yang selama ini
meyakini bahwa kemenangan mereka akan terjamin selama mereka menjanjikan
keuntungan-keuntungan atau uang untuk perusahaan-perusahaan, serikat
pekerja, dan kelompok kepentingan lain untuk mendapatkan dukungan.

Namun, dengan perubahan aturan pemilu dan pola pemberian suara, para
kandidat kini menghadapi tekanan yang lebih besar dari publik yang kian
sinis terhadap sistem politik, terutama pada masa pemerintahan empat
perdana menteri terakhir.

Para pemilih yang tak punya loyalitas terhadap partai tertentu kini
jumlahnya hampir separuh, lebih besar dibanding pada awal 1980-an ketika
jumlah mereka hanya sekitar 20 persen dari pemilih resmi. Karena itu,
para pemilih bebas ini, yang lebih memperhatikan citra dan kebijakan
ketimbang hubungan emosional dengan partai tertentu, akan sangat
menentukan hasil pemilu.

Tren ini juga terpancar dari anjloknya dukungan terhadap Perdana Menteri
Taro Aso dari Partai Demokrat Liberal (LDP) yang berkuasa. Meski partai
itu sudah memerintah Jepang selama lebih dari setengah abad terakhir, ia
terancam kehilangan kekuasaan pada pemilu 30 Agustus nanti menurut
berbagai hasil jajak pendapat terakhir. Lebih dari 1.200 politikus akan
bertarung dalam pemilu yang diperkirakan berlangsung sangat ketat itu,
namun akan memberikan kemenangan kepada kubu oposisi yang dikomandani
Yukio Hatoyama dari Partai Demokrat Jepang (DPJ).

LDP, yang selalu mendominasi pemilihan, terutama di wilayah pedesaan,
tempat karyawan perusahaan-perusahaan perkebunan, konstruksi, dan
karyawan pos selalu mendukung mereka sebagai kompensasi dari keuntungan
mendapat subsidi, selalu menjadi salah satu sumber kekuatan suara.

Namun, perubahan legal pada 1994, yang mengganti sistem distrik
multipartai dengan sistem satu kursi konstituen, membutuhkan keahlian
lebih jauh dari sang kandidat untuk bisa menarik suara pemilih dalam
jumlah lebih banyak.

Di tingkat kebijakan, DPJ mengoreksi strategi membuang pilihan misi
pembekalan bahan bakar bagi angkatan laut Jepang di Samudra Hindia yang
mendukung misi militer aliansi pimpinan AS di Afganistan, yang
disepakati sebelumnya. "Misi ini tetap penting untuk melanjutkan
keberlangsungan diplomasi Jepang," ujar Hatoyama.

Sebelum ini, salah satu tudingan terhadap DPJ yang selalu dilontarkan
oleh LDP adalah bahwa DPJ tak punya cukup program yang realistis, selain
minimnya kemampuan yang teruji di pemerintahan. Namun, dominasi
legislator di Majelis Tinggi yang kini dikuasai kubu oposisi bisa
membuat keyakinan LDP menjadi bumerang.*Yomiuri | AFP | Reuters | Akmal
Nasery Basral
*

*http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/07/25/Internasional/krn.20090725.172004.id.html
Share this article :

0 komentar: