Mengapa JK Saya Promosikan?
*Ahmad Syafii Maarif*
Dalam kultur demokrasi yang kita perjuangkan agar kian sehat, kuat, dan
bersih, mungkin tidak ada salahnya menyampaikan ”rahasia” dapur politik
pribadi.
Pada putaran pertama Pilpres 2004, saya memilih Amien Rais-Siswono.
Mereka saya pandang akan melakukan perubahan politik yang lebih berpihak
kepada rakyat, tidak membungkuk kepada asing. Pilihan itu saya nilai
benar meski kalah—posisi nomor empat, di atas Hamzah Haz-Agum
Gumelar—karena aneka faktor.
Meski Amien Rais-Siswono menjadi pilihan saya, kekalahan ini tidak
mengagetkan meski menyisakan perasan tak sedap. Setelah Amien Rais
kandas, untuk beberapa lama, merasa tak nyaman melihat saya. Tim
suksesnya menduga, saya tidak mendukung sepenuh hati.
Dalam posisi sebagai pimpinan Muhammadiyah saat itu, saya tidak mungkin
melangkah lebih jauh. Perkara ada pihak yang tidak nyaman, biarlah itu
menjadi simpanan dalam memori masing-masing. Saya menerima semuanya
dengan perasaan biasa.
*Rindu Indonesia sejahtera*
Jika melihat hasil pertarungan politik beberapa tahun terakhir, saya
sadar tidak punya pengaruh signifikan dalam pemilu legislatif dan
pilpres. Karena itu, jangan memandang saya sebagai warga penting di
republik ini. Saya adalah seorang warga sepuh yang amat merindukan
Indonesia yang adil, sejahtera, dan berdaulat penuh. Jika saya kadang
terkesan mengeluarkan pernyataan bernuansa politik, itu karena kecintaan
saya kepada bangsa dan negara ini agar cepat keluar dari belenggu
ketidakpastian.
Bisa saja pernyataan semacam itu dinilai kurang arif. Itu risiko yang
harus saya terima. Di dunia politik, orang tidak jarang memberi tafsiran
saling berlawanan, bahkan tafsiran liar. Saya ingin, pemimpin puncak
Indonesia modern adalah pribadi yang teguh, berani, tegas, tidak peragu.
Pertimbangan inilah yang sering memaksa saya untuk tidak diam.
*Soal JK*
Kembali ke Pilpres 2004. Karena pilihan saya kandas dalam ronde pertama,
pasangan yang akan bertarung 20 September 2004 adalah Mega-Hasyim versus
SBY-JK. Lagi-lagi karena ingin perubahan, saya beralih ke pasangan
SBY-JK meski hubungan baik dengan Mega-Hasyim tetap terjaga.
Kepala BIN Syamsir Siregar bersama pengusaha Rusdi Latif malah mengajak
saya ke Aceh untuk sekadar membaca peta meski sebenarnya telah terjadi
kampanye terselubung. Di Aceh saya tidak menganjurkan untuk memilih
pasangan yang mana, tetapi karena bersama rombongan BIN, orang tentu
akan memberi tafsiran tersendiri.
Sebagai pimpinan Muhammadiyah saat itu, saya berusaha netral, tetapi
amat sulit. Sebagaimana dimaklumi, SBY-JK memenangi Pilpres 2004. KPU
yang dibentuk di bawah pemerintahan Mega-Hamzah, meski belakangan
menyisakan masalah hukum, telah bekerja profesional. Hampir tidak ada
protes atas kinerja KPU dalam Pileg/Pilpres 2004.
Dengan latar belakang itu, mengapa pada Pilpres 2009 saya mempromosikan
JK berpasangan dengan Wiranto? Tentu dengan kelebihan dan kekurangannya.
Mohon maaf jika saya tidak pernah simpati kepada Golkar meski JK ketua
umumnya. Saya memilih JK berdasar jejak rekam dan kiprahnya dalam
politik kebangsaan selama 10 tahun terakhir, yang saya nilai positif dan
berani. Seandainya JK lahir di Jawa, Kalimantan, atau Ende, tetapi
dengan jejak rekam yang sama, saya tetap memilihnya.
Jadi, tidak ada hubungan dengan jargon Jawa-luar Jawa, hal yang sudah
lebur dalam kemasan keindonesiaan saya. Tentang jejak rekam JK, banyak
dibongkar, bertalian dengan proses perdamaian di Poso, Ambon, dan Aceh,
gertakan terhadap IMF yang ingin mendikte Indonesia, atau beberapa
kebijakan publik yang kontroversial. Faktanya jelas. Para penulis
sejarah politik kebangsaan pasti akan bermunculan untuk mengenal lebih
jauh sosok JK meski dia gagal menjadi presiden ke-7 Indonesia.
Sebenarnya, baru belakangan JK menyatakan siap dicalonkan menjadi
presiden karena desakan berbagai situasi, bukan diarsiteki lebih dini.
Jika dirancang sejak dua tahun sebelumnya, strategi akan lebih matang
meski Golkar tidak sepenuh hati mendukung.
Ketika sekitar dua tahun lalu saya katakan kepada JK agar berpikir untuk
maju sebagai capres, isyarat yang terlihat adalah ”geleng”, bukan
”angguk”. Artinya, sejak mula JK tidak pernah bermimpi menjadi presiden.
Maka, kekalahannya secara kesatria dapat dipahami, karena tidak ingin
menjadi presiden.
Namun, jika hoki, saya percaya Indonesia akan berubah ke arah lebih baik
dan bermartabat dalam tempo cepat. Seandainya ada putaran kedua dan yang
lolos pasangan SBY-Boediono versus Mega-Prabowo, demi perubahan, pilihan
saya jatuh kepada Mega-Prabowo, dengan segala catatan kaki terhadap mereka.
*Tak menyesal*
Meski terempas, saya tak menyesal telah mendukung JK-Wiranto karena
negeri ini memerlukan pemimpin nasional yang tangguh dan sigap, kualitas
yang terlihat pada pasangan itu.
Dalam pertimbangan serupa, saya berharap agar pemilih pasangan
SBY-Boediono jangan menyesal jika janji-janji tidak menjadi kenyataan,
kemiskinan tetap mendera bangsa ini.
Kekalahan JK tidak perlu ditangisi sebab sejarah akan mencatat, dalam
Pilpres 2009 demokrasi Indonesia masih terpukau bentuk, bukan jejak
rekam substansial seseorang.
Selamat kepada SBY-Boediono, pemenang Pilpres 2009. Semoga kita belajar
dari kegagalan atau keberhasilan masa lampau. Amanat perbaikan bangsa
lima tahun mendatang ada di pundak SBY-Boediono. Siapa tahu pasangan ini
membawa terobosan signifikan bagi Indonesia yang berwibawa dan
diperhitungkan dalam percaturan global.
/Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah
/
/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/25/04481387/mengapa.jk.saya.promosikan
/
Mengapa JK Saya Promosikan?
Written By gusdurian on Minggu, 26 Juli 2009 | 10.05
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar