BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Agama dan Terorisme

Agama dan Terorisme

Written By gusdurian on Minggu, 26 Juli 2009 | 10.37

Agama dan Terorisme


*Budi Kleden*

Sudah menjadi satu ritual yang terulang, setiap ada aksi kekerasan di
negara ini, para pemimpin agama tampil berdoa bersama bagi para korban
sembari mengecam dan menyesalkan aksi itu.

Mereka mendemonstrasikan kesatuan dan menyatakan dengan tegas bahwa
tindak kekerasan dan terorisme adalah perbuatan antikemanusiaan dan
berlawanan dengan ajaran agama mana pun. Tidak ada agama yang
membenarkan kekerasan.

Bersamaan dengan itu, warga pun diajak untuk tidak mengidentikkan agama
tertentu dengan aksi teror dan kekerasan tertentu. Pertanyaan kita
adalah apakah benar agama-agama sama sekali tidak mempunyai kontribusi
dalam aksi teror yang terjadi?

*Ambivalensi agama*

Kita akan mudah menemukan kesepakatan bahwa sejatinya tidak ada agama
yang eksplisit mengajarkan warganya untuk menggunakan kekerasan. Pada
tataran normatif, agama berurusan dengan yang ilahi, yang dipandang dan
disembah sebagai sumber dan tujuan kehidupan manusia. Karena memiliki
Tuhan sebagai sumber dan tujuan, kehidupan manusia terlindung secara hakiki.

Dalam alur silogisme ini, tiap agama juga harus menghargai hak hidup
tiap manusia. Maka, tindak kekerasan yang menghancurkan kehidupan
manusia seperti terorisme adalah bertentangan dengan sikap dasar kepada
yang ilahi. Orang yang membunuh orang lain dalam aksi teror tidak berhak
menyebut diri penyembah Tuhan.

Persoalan yang dihadapi adalah kompleksitas fenomena keagamaan yang
tidak selalu demikian terang layaknya sebuah silogisme. Agama berbicara
dan merayakan yang ultim, yang tidak dapat direduksi hanya pada akal
budi. Tuhan menyentuh seluruh diri manusia.

Karena itu, agama tidak hanya berbicara dan mewartakan, tetapi juga
merayakan. Hanya karena itu, agama menjadi tempat perlindungan bagi
manusia saat dia terancam hanyut dalam kalkulasi ekonomi, perhitungan
politik, atau rekayasa ilmu pengetahuan, dan dapat menjadi inspirasi
untuk pembebasan saat terjadi banjir emosi yang membutakan.

Dalam bahasa Habermas, agama membangkitkan kesadaran akan sesuatu yang
hilang (das BewuƟtsein von dem, was fehlt). Dia mengingatkan, manusia
tidak boleh direduksi hanya pada beberapa faktor.

Dalam cirinya yang holistis serentak misterius ini, agama memiliki alur
argumentasinya sendiri, yang tidak selalu dapat diterima semua orang.
Masalah muncul saat agama dengan pola berpikir yang khas mengklaim diri
mewakili rasionalitas manusia seumumnya.

Dengan anggapan ini, agama mudah terjebak dalam godaan untuk memaksakan
semua orang menerima kebenarannya sebagai satu-satunya yang paling
sesuai jati diri alamiah manusia. Yang berpikir lain dinilai terlalu
angkuh atau terlalu bodoh.

Ketika banyak cara tidak mempan untuk membalikkan orang dari kebodohan
atau keangkuhannya, penggunaan kekerasan pun mudah mendapat legitimasi.
Dan membiarkan diri menjadi sarana untuk tujuan ini merupakan satu
kemuliaan. Maka, segelintir orang rela mati demi tujuan luhur itu.
Godaan ini melekat pada setiap agama. Karena itu, tiap agama memiliki
kisah kekerasan dalam sejarahnya kendati sering kita mendeklarasikan,
agama-agama sejatinya antikekerasan.

*Menjadi peziarah*

Bahaya penggunaan kekerasan, termasuk terorisme, adalah godaan laten
dalam agama-agama. Karena itu, tugas paling mendesak serentak paling
sulit bagi agama-agama adalah menyediakan perangkat penjelasan dalam
tradisinya sendiri untuk mengakui kebebasan yang sama bagi setiap
manusia dan semua kelompok.

Kerangka penjelasan itu harus digali dari tradisi sendiri sebab selama
dia dipaksakan dari luar, sifatnya amat rapuh dan membentuk semacam
toleransi semu. Orang lain terpaksa diterima selama dia belum dapat
disingkirkan.

Toleransi seperti ini dapat dipaksakan oleh ideologi politik, relasi
kekerabatan, atau simbiosis mutualis dalam sebuah sistem ekonomi. Dia
berubah saat ideologi politik runtuh, relasi kekerabatan melonggar atau
saat orang merasa dirugikan dalam hubungan perekonomian.

Untuk memupuk satu kehidupan bersama dalam kedamaian yang langgeng,
seruan toleransi dan demonstrasi kebersamaan agama-agama amat penting
tetapi belum memadai. Lebih dari itu, tiap agama harus
mempertanggungjawabkan kepada para pemeluknya landasan teologis yang
meyakinkan bagi penerimaan dan penghargaan terhadap semua orang dan
kelompok lain.

Toleransi baru menemukan akarnya yang kuat apabila agama sanggup melihat
manusia, apa pun agama dan orientasi politisnya, sebagai makhluk yang
dilindungi Tuhan dan karena itu memiliki hak yang harus dihormati.
Terorisme tidak menambah apa pun pada kemuliaan Tuhan, sebaliknya
merupakan penghinaan terhadap-Nya.

Orientasi kepada kemanusiaan ini mendorong agama-agama untuk menempatkan
dirinya dalam dialog yang hidup dengan setiap kondisi sosio-historis.
Ketika kondisi sosio-historis menampakkan ciri plural yang semakin
radikal seperti dewasa ini, klaim agama sebagai pemangku kebenaran
absolut harus ditafsir secara baru.

Rasionalitas agama harus menjadi kesadaran fragmentaris, yang hanya
dapat menunjuk kepada kebenaran absolut Tuhan tanpa bisa
menggantikannya. Agama menjadi sikap manusia peziarah, bukan pengawal
benteng abadi yang tak tersentuh goresan kefanaan. Peziarah mencari
dalam keterbukaan, pengawal benteng abadi mempertahankan dengan
menghancurkan. Selama kita memilih mempertahankan Tuhan dalam semangat
pengawal benteng, bahaya laten terorisme pun tetap terpelihara.

/*Budi Kleden* Dosen Teologi pada STFK Ledalero
/

/http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/24/04514867/agama.dan.terorisme
Share this article :

0 komentar: