BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » TEROKA

TEROKA

Written By gusdurian on Minggu, 26 Juli 2009 | 10.36

TEROKA
Dari Khotbah Bunga ke Sungai Tak Bicara



*Tia Setiadi*

Pada suatu pagi yang bening dan tenang, Sang Buddha mengumpulkan
murid-muridnya yang paling tinggi pencapaian rohaninya di Taman Kijang
yang terletak di daerah pedesaan Isipatana. Suasana hening aneh ketika itu.

Terasa ada kekhusyukan terpancar dari wajah-wajah para murid pinilih
itu. Dedaunan dan burung-burung tak bergerak, seolah ikut khidmat
menanti ajaran yang akan diwedar Sang Buddha. Yang mengherankan, sekian
lama ditunggu-tunggu Sang Buddha masih juga tak mengatakan sepatah
ajaran pun.

Dia hanya berdiam diri. Kemudian-masih tanpa kata-kata terucap Sang
Buddha berjalan perlahan-lahan di hadapan para muridnya, sembari
memutar-mutar setangkai bunga kuning. Pada saat itu seorang arhant
bernama Kasyapa tiba-tiba tersenyum lebar. Maka Sang Buddha yang
dicerahkan pun lantas berkata, ”Hari ini hanya Kasyapa yang terhormat
yang memahami ajaranku.”

Selepas itu Sang Buddha pergi memasuki tempat samadhi-nya, meninggalkan
para murid yang masih tercengang dan Kasyapa yang tersenyum arif.
Syahdan, di kemudian hari Kasyapa menjadi keluarga pertama dari apa yang
kita kenal sebagai Buddha Zen dan khotbah Sang Buddha yang singkat tanpa
kata-kata itu disebut Sutra Bunga.

Hari-hari ini saya kerap teringat adegan indah Khotbah Bunga itu dan
bersyukur bahwa di dunia kita yang sedih dan tak sempurna ini pernah
hadir seorang pengkhotbah seperti Sang Buddha. Seorang pengkhotbah yang
tahu batas kata-kata sekaligus melampauinya. Yang mengingatkan dan
mengembalikan kita pada kepekaan indera-indera dan visi batin kita
sendiri. Pada apa yang terdengar telinga dan tampak di depan mata, yang
tersentuh mesra oleh kaki dan tangan kita: sekuntum bunga kuning yang
baru mekar, derai angin di pepucuk daun, cahaya dan bayangan,
pohon-pohon, dan udara segar.

Sang Buddha sadar betul bahwa ajaran dan kata-kata sering kali justru
bisa memenjara dan mengasingkan kita dari bumi dan dunia, maka ia
memandu murid-muridnya agar intim dengan alam raya, dengan ajaran-ajaran
yang tak tertulis dalam kitab-kitab dan tak terucapkan para juru
khotbah, tetapi hadir dan terpantul di mana-mana.

*Rakit dan pengkhotbah*

Sedihnya, kali ini kita justru dikepung dan dikelilingi oleh para
pengkhotbah yang ceriwis, yang tak tahu batas kata-kata, yang terlampau
berpegang kaku pada tafsir monolitik atas kitab-kitab tertulis dan
mengabaikan rahasia kitab-kitab yang tak tertulis. Lihatlah, begitu
gemarnya para pengkhotbah itu berdiam dalam mikrofon, meneriakkan dan
menjejalkan ajaran-ajarannya.

Padahal, sang pengkhotbah sejati tak pernah menuntut kepatuhan dogmatis
dari para pengikutnya. Bahkan ia selalu menekankan kepada muridnya untuk
mencari dan menemukan pulau pembebasannya sendiri.

Sang Buddha telah mengatakan segala ajaran yang masih mungkin untuk
dikatakan: daya jangkau pikiran dan keterbatasannya, indera-indera dan
ilusinya. Sementara itu, segala ajaran yang tak terkatakan, dia
kembalikan kepada keheningan. Tetapi, keheningan Sang Buddha bukanlah
ungkapan suatu pengetahuan, melainkan ia menyingkap sesuatu yang datang
setelah pantai pengetahuan berakhir: kearifan.

Sampai di sini, saya jadi teringat sebuah novel liris yang ditulis
Herman Hesse, bertajuk Siddartha. Konon, setelah jauh mengembara mencari
jati dirinya, berguru dan hidup bersama para pertapa, Siddharta tak juga
tercerahkan dan dahaga jiwanya belum juga terpuaskan.

Kemudian tibalah dia di sebuah sungai dan Siddharta menyerah. Dia tak
lagi mengingat ajaran atau bekerja keras menggapai pencerahan. Siddharta
hanya mendengarkan suara arus sungai itu. Dan ketika dia mendengar,
Siddharta benar-benar menyatu dengan mendengar, benar-benar suwung.

Siddharta mendengar ribuan jenis lagu sungai: ratap kerinduan,
tetes-tetes kebijaksanaan, bulir rintihan dan tangisan, serta keceriaan
anak-anak. Dalam keheningan dan kediamdiriannya Siddharta menyatu dengan
keseluruhannya.

Kisah tentang Siddharta lagi-lagi mengingatkan kita akan keterbatasan
ajaran dan kata-kata, dan mendorong kita membukakan pintu batin untuk
menyambut arus sungai keheningan yang datang sebelum dan sesudah kata.

Indonesia sepertinya membutuhkan seseorang yang mau dan mampu berjihad
menjadi ”Siddharta politik”, menjadi kearifan. Yang mungkin sepi,
mungkin sendiri.

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/25/03470831/dari.khotbah.bunga.ke.sungai.tak.bicara
Share this article :

0 komentar: