BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Verifikasi dan Kekayaan Capres/Cawapres

Verifikasi dan Kekayaan Capres/Cawapres

Written By gusdurian on Kamis, 04 Juni 2009 | 11.08

Verifikasi dan Kekayaan Capres/Cawapres
Oleh Sofyan S Harahap Guru Besar FE Universitas Trisakti


EBERAPA hari yang lalu kita menyaksikan KPK telah memverifikasi kekayaan
capres dan cawapres berdasarkan laporan yang disampaikan kepada KPK.
Beberapa laporan menunjukkan bahwa kekayaan semua pejabat, baik yang
masih menjabat maupun yang sudah mantan pejabat mengalami kenaikan.
Kenaikan itu tidak bisa kita ketahui penyebabnya hanya dari laporan yang
ada di publik. Kenaikan itu bisa dalam bentuk wujud (fi sik), dalam
bentuk nilai, atau harga pasar dari wujud fi sik yang meningkat. Jika
kenaikan itu hanya dari sumber remunerasi dari gajinya (bukan dari
bisnis yang diterima dari korupsi), persepsi rakyat selalu ‘wah’ enak
sekali ya. Rakyat bisa menghitung dengan menjumlahkan gaji yang
diterimanya dengan masa kerjanya. Biasanya hal itu selalu menimbulkan
pertanyaan juga. Sementara itu, di negara maju, misalnya, di Amerika
seorang pejabat publik tidak jarang kita temukan kekayaannya justru
berkurang setelah menjadi pejabat. Kenapa demikian? Presiden adalah
jabatan nomor satu paling tinggi yang dimaui dan diincar semua orang, at
all costs. Kendatipun gaji resminya hanya sekitar 250 juta, di bawah
gaji seorang direktur utama bank besar. Namun, kalau disuruh pilih orang
akan lebih menyukai jabatan presiden, mengapa? B Karena, di luar
kehormatan besar (ini sifatnya imateriil) yang diberikan kepada seorang
presiden dan keluarganya, ada hal luar biasa (bersifat material) yang
bisa dinikmati seorang presiden, yaitu kekuasaan mendistribusikan
kekayaan. Di tangan presidenlah kekuasaan memilih orang menjadi pejabat
yang akan berkuasa mendistri busikan kekayaan negara lagi. Di tangan
menteri, dirjen, sekjen, pimpinan lembaga, direksi komisaris, BUMN,
kepala unit, duta besar, dan jabatan lainnya yang memiliki kekuasaan
untuk mendistribusikan siapa yang akan menerima kenikmatan kekayaan atau
harta. Seorang presiden membawahi menteri keuangan yang akan menyusun
RAPBN yang jumahnya hampir mencapai Rp1.500 triliun per tahun yang akan
dibagikan kepada berbagai proyek baik rutin maupun pembangunan.

Memang setelah reformasi ada pembagian kekuasaan dengan DPR atau DPRD
dalam hal pembagian (distribusi dan alokasi) kekayaan itu. Ini merupakan
jawaban atau yang menjadi salah satu penyebab banyak orang yang ingin
menjadi calo legislatif dengan segala biaya yang dibutukan dan sebagai
satu alas an mengapa banyak orang mendirikan partai politik. Permainan
dalam alo kasi anggaran inilah yang membuat bebe rapa Menteri, Gu
bernur, Bupati, Dir jen, anggota DPR dan DPRD menjad tersangka korups
Kekuasaan dalam mengalokasi anggaran itulah yang menjadi salah satu
peluang yang bisa dimanfaatkan semua pihak (jika mau), baik langsung
oleh pemegang kekuasaan tadi maupun dengan cara halus melalui client
atau koncokonconya dalam menikmati kekayaan Negara itu. Apakah saluran
kekayaan itu suatu saat akan bermuara ke kantung pemberi kekuasaan atau
tidak, itu terserah loyalitas hubungan mereka.

Dengan memahami skenario ini, kita tidak perlu heran jika para tokoh
elite, baik yang diusung menjadi capres dan cawapres serta tim suksesnya
melakukan berbagai hal yang kadang tidak etis untuk mencapai tujuannya.
Kenapa keadaan ini masih bisa terjadi di negara kita? Jawabannya
sederhana, karena kita masih membiarkan praktik korupsi dan
penyalahgunaan wewenang itu berjalan seperti biasa tanpa dianggap
sesuatu yang salah dan harus dihentikan secara serius. Kendatipun kita
memiliki KPK, Tap MPR, Irjen, MenPAN, BPK, BPKP, Bawasda, dan DPR semua
itu mandul.

Karena semuanya ikut memberikan kontribusi dalam membiarkan proses dan
sistem itu berjalan. Mereka bisa berkontribusi sebagai pelaku,
membiarkan praktik-praktik tersebut terjadi dengan menutup mata. Yang
dilakukan para koruptor saat ini adalah mencari jalan korupsi alternatif
yang lebih aman dengan cara yang lebih halus dan canggih. Agar
tindakannya itu tidak sempat menjadi objek para pemberantas korup si.
Kasus Antasari Azhar, oknum MA, oknum kepolisian, kejaksaan, Komisi
Yudisial, DPR, BPK, dan Bea Cukai membuktikan kebenaran hipotesa ini.
Terus bagaimana dengan kegiatan verifi kasi kekayaan capres yang
dilakukan KPK? Verifi kasi adalah memastikan apakah laporan yang
disampaikan itu benar atau tidak. Verifi kasi biasanya didasarkan pada
laporan. Objek verifi kasi adalah laporan yang diterima KPK.

Pertanyaan apakah laporan yang disampaikan kepada KPK oleh para Capres
sudah lengkap dan mencakup semua kekayaan yang dimilikinya? Jawabannya
belum tentu. Apakah dengan kegiatan verifi kasi kekayaan yang tidak
dilaporkan itu bisa terdeteksi. Menurut ilmu pengauditan, tentu verifi
kasi tidak bisa menjamin kebenaran suatu laporan dianggap menggambarkan
situasi yang sesungguhnya. Kita mengenal detection risk, ketika audit
atau verifi kasi yang dilakukan tidak menemukan kesalahan.

Tindakan verifi kasi tentu tidak cukup menjamin bahwa laporan hasil
verifikasi KPK nanti akan benar . Verifi kasi hanya salah satu kegiatan
audit dari berbagai kegiatan audit yang dibutuhkan untuk meyakinkan
kebenaran suatu laporan. Bahkan kendatipun semua prosedur audit
dilaksanakan itu tidak bisa menjamin bahwa seorang auditor menjamin
kebenaran laporan audit yang dilakukannya. Seorang auditor independen
(kalaupun independen) hanya sampai pada batas keyakinan bahwa laporan
yang diauditnya tidak mengandung kesalahan material. Apakah KPK itu
independen? Apakah laporan itu sudah lahir dari suatu sistem pelaporan
yang memiliki lingkungan yang sehat, trustee, budaya yang etis, dan
manusia dan staf yang jujur masih perlu dibuktikan. Untuk kasus kita di
Indonesia semua komponen sistem pelaporan yang baik itu diragukan.
Proses menyembunyikan kekayaan melalui berbagai cara apakah kepada
keluarga, atau klien, konco, masih sering terjadi. Apa yang dilakukan
KPK sebenarnya hanya sekadar persyaratan formalitas atau kepura-puraan
yang menjadi ciri bangsa kita, seperti yang di sitir Kak Seto, “Kita
semua berbohong”.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/04/ArticleHtmls/04_06_2009_017_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: