BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Dani Rodrik: Deglobalisasi Dunia

Dani Rodrik: Deglobalisasi Dunia

Written By gusdurian on Kamis, 04 Juni 2009 | 11.10

/Deglobalisasi Dunia/

*Dani Rodrik*
Guru Besar Ekonomi Politik pada Harvard University, peraih pertama
Hadiah Albert O. Hirschman yang diselenggarakan Social Science Research
Council

Mungkin perlu waktu beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum Amerika
Serikat dan negara-negara ekonomi maju akhirnya pulih dari krisis yang
terjadi saat ini. Namun, ekonomi dunia tidak bakal seperti dulu lagi.
Bahkan, dengan berakhirnya krisis, kita kemungkinan besar akan berada di
sebuah dunia yang sudah tidak begitu global lagi di mana perdagangan
dunia bakal tumbuh lebih lambat, sumber keuangan eksternal berkurang,
dan nafsu negara-negara kaya untuk membiarkan defisit neraca pembayaran
yang besar juga berkurang. Apakah semua ini berarti bencana bagi
negara-negara berkembang?

Seharusnya tidak. Ada tiga varian pertumbuhan di negara-negara
berkembang. Pertama, pertumbuhan yang dipacu pinjaman luar negeri.
Kedua, pertumbuhan sebagai produk sampingan /booming/ komoditas. Dan
yang ketiga, pertumbuhan yang dipacu restrukturisasi ekonomi dan
diversifikasi produk-produk baru. Kedua model yang pertama lebih
berisiko dari yang ketiga. Kita tidak boleh lengah, karena model pertama
itu banyak cacatnya dan sulit bertahan. Yang harus lebih diperhatikan
adalah potensi bahaya yang dihadapi negara-negara yang berada di
kelompok terakhir. Negara-negara ini perlu melakukan perubahan besar
dalam kebijakannya guna menyesuaikan diri dengan realitas baru ini.

Kedua model pertumbuhan yang pertama itu pasti akhirnya mengalami jalan
buntu. Dengan pinjaman luar negeri, pemerintah dan konsumen bisa untuk
sementara hidup di luar kemampuannya. Tapi ketergantungan pada modal
asing bukan strategi yang bijaksana. Persoalannya, arus modal asing
bukan hanya bisa dengan mudah berbalik arah, ia juga menghasilkan model
pertumbuhan yang salah, bertumpu pada mata uang yang /overvalued/, yang
dinilai berlebihan, dan investasi di bidang barang dan jasa yang tidak
dapat diperdagangkan, seperti investasi di bidang perumahan dan konstruksi.

Pertumbuhan yang dipacu tingginya harga komoditas juga rentan meletus,
karena alasan yang sama. Harga komoditas cenderung bergerak dalam
siklus. Ketika harganya tinggi, komoditas cenderung menggeser investasi
di bidang industri manufaktur dan barang-barang non-tradisional yang
dapat diperdagangkan lainnya. Lagi pula, /booming/ komoditas sering kali
menghasilkan kebijakan yang buruk di negara-negara yang lemah
lembaga-lembaganya, sehingga berujung pada persaingan mendapatkan
/resource rent/ yang jarang diinvestasikan dengan bijaksana.

Maka, tidak mengejutkan jika negara-negara yang mengalami pertumbuhan
jangka panjang yang konstan selama enam dekade terakhir adalah
negara-negara yang mengandalkan strategi yang berbeda, yaitu memajukan
diversifikasi barang-barang manufaktur dan barang-barang "modern"
lainnya. Dengan merebut pangsa pasar yang semakin besar di dunia,
negara-negara ini meningkatkan peluang kerja di dalam negeri di bidang
industri yang berproduktivitas tinggi. Pemerintah di negara-negara ini
bukan hanya mengejar "fundamental" yang kuat (misalnya, stabilitas
makroekonomi dan orientasi ke luar), tapi juga mengejar apa yang bisa
disebut kebijakan yang "produktivis": mata uang yang /undervalued/, yang
dinilai rendah, kebijakan industri, dan kontrol keuangan.

Cina merupakan contoh pendekatan semacam ini. Pertumbuhannya dipacu oleh
transformasi struktural yang luar biasa cepat ke arah peningkatan
produksi barang-barang industri yang canggih. Pada tahun-tahun terakhir
ini, Cina juga menikmati surplus perdagangan yang besar /vis-à-vis/
AS--rekanan mata uangnya yang /undervalued/ itu. Tapi bukan cuma Cina.
Negara-negara yang tumbuh dengan cepat sebelum terjadinya krisis
keuangan 2008 juga memiliki surplus perdagangan (atau defisit yang
sangat kecil). Negara-negara ini tidak mau menjadi penampung arus modal,
karena langkah semacam itu akan mengacaukan upaya untuk mempertahankan
mata uang yang bersaing.

Sekarang sudah menjadi bagian kearifan umum bahwa neraca eksternal yang
besar--yang dicontohkan oleh hubungan perdagangan bilateral
AS-Cina--merupakan penyebab utama krisis keuangan. Stabilitas
makroekonomi global mengharuskan kita menghindari ketidakseimbangan
neraca perdagangan yang besar di masa depan. Tapi kembalinya pertumbuhan
yang tinggi di negara-negara berkembang juga mengharuskan mereka mulai
lagi berfokus pada barang dan jasa yang dapat diperdagangkan. Di masa
lalu, fokus ini diakomodasi oleh kesediaan AS dan beberapa negara maju
lainnya untuk membiarkan defisit perdagangan yang besar. Ini bukan lagi
strategi yang mungkin cocok bagi negara-negara berkembang yang besar dan
menengah.

Karena itu, apakah persyaratan bagi tercapainya stabilitas makroekonomi
global dan persyaratan bagi pertumbuhan di negara-negara berkembang itu
saling bertabrakan? Apakah perlunya negara-negara berkembang
meningkatkan pasokan produk-produk industri itu pasti bentrok dengan
ketidakseimbangan perdagangan yang tidak bisa ditoleransi itu?
Sebenarnya tidak ada konflik yang inheren bila kita memahami bahwa yang
penting untuk pertumbuhan di negara-negara berkembang bukan besarnya
surplus perdagangan, atau bahkan volume ekspornya. Yang penting adalah
produksi barang (dan jasa) industri modern yang dapat meningkat tanpa
batas selama permintaan dalam negeri juga meningkat pada saat yang sama.
Mempertahankan mata uang yang /undervalued/ punya sisi baik karena ia
mensubsidi produk barang-barang tersebut di atas; tapi ia juga punya
sisi buruk, karena ia membebani konsumsi dalam negeri--karena itulah
sebabnya ia menimbulkan terjadinya surplus perdagangan. Dengan mendorong
produksi industri secara langsung, kita mungkin memperoleh sisi baik
tanpa sisi buruknya.

Banyak cara melakukan hal ini, termasuk mengurangi ongkos /input/ dan
jasa dalam negeri melalui investasi di bidang infrastruktur yang
terencana. Kebijakan industri yang eksplisit bisa menjadi instrumen yang
bahkan lebih kuat. Kunci utamanya adalah bahwa negara-negara berkembang
yang peduli terhadap daya saingnya di sektor modern bisa membiarkan mata
uangnya terapresiasi (dalam arti riil) selama mereka punya akses
mengambil kebijakan alternatif yang mendorong kegiatan industri secara
lebih langsung. Maka, berita baiknya adalah bahwa negara-negara
berkembang bisa terus tumbuh dengan cepat bahkan jika perdagangan dunia
melamban dan nafsunya untuk menampung arus modal berkurang. Potensi
pertumbuhannya tidak akan terpengaruh benar selama implikasi dunia baru
ini terhadap kebijakan dalam negeri dan luar negerinya dipahami.

Salah satu implikasinya adalah bahwa negara-negara berkembang harus
mengganti kebijakan industri riil dengan kebijakan yang bergulir melalui
nilai tukar mata uang. Implikasi lainnya adalah bahwa aktor kebijakan
eksternal (misalnya Organisasi Perdagangan Dunia) harus lebih toleran
terhadap kebijakan-kebijakan ini selama efeknya terhadap neraca
perdagangan dinetralkan melalui penyesuaian nilai tukar mata uang yang
layak. Diterapkannya kebijakan industri yang lebih luas adalah harga
yang harus dibayar untuk mengurangi ketidakseimbangan makroekonomi.

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/04/Opini/krn.20090604.167131.id.html
Share this article :

0 komentar: