BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Kerakyatan Vs Neoliberal

Kerakyatan Vs Neoliberal

Written By gusdurian on Kamis, 04 Juni 2009 | 10.31

Kerakyatan Vs Neoliberal
Oleh Ichsanuddin Noorsy Tim Ahli Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan
Universitas Gadjah Mada


P ERSETERUAN aliran pemikiran di Indonesia kembali mengemuka setelah
Prof Dr Boediono dipilih menjadi cawapres untuk Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY). Boediono dengan latar belakang ilmu ekonomi dan kebijakan yang
diambilnya selama menjadi pejabat publik telah dituding sebagai
neoliberal. Wiranto dengan segala kiprahnya menawarkan ekonomi kemandirian.

Prabowo Subianto bersama perjalanan kehidupannya memasarkan ekonomi
kerakyatan. Jika dirunut ke belakang, perseteruan pemikiran ini berakar
pada paham individu versus paham kemasyarakatan atau individualis versus
sosialis.

Paham individualis berpijak pada kebebasan berpikir dan berbuat. Paham
sosialis berpijak pada kepentingan bersama di atas kepentingan individu.
Ketika masuk ke wilayah kehidupan bernegara, hal tersebut menjadi
perdebatan ideologi. Dalam untaian pemikiran lebih lanjut, hal itu
menentukan aliran pemikiran ekonomi.

Di Indonesia, perdebatan itu minimal sudah terjadi sejak BPUPKI
bersidang. Pada 29 Mei 1945, Muhammad Yamin mengatakan bahwa negara
menolak paham liberalisme, demokrasi ala Barat, fasisme dan negara
boneka. Soepomo mengambil paham negara integralistik, yakni penghidupan
bangsa seluruhnya. “Negara tidak memihak kepada sesuatu golongan yang
paling kuat atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan
seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup
bangsa dan negara seluruhnya sebagai persatuan yang tak dapat
dipisah-pisahkan.” kata Soepomo.

Pada masa Bung Karno (BK), pemikiran itu dapat ditelusuri pada
tulisannya bertajuk Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi, pada 1932.
Tulisan itu bermuatan pokok sosiodemokrasi.

Yakni, demokrasi politik bersamaan dengan demokrasi ekonomi. Dalam
pidatonya pada 1 Juni 1945 yang melahirkan Pancasila itu, BK mengatakan,
“Jika kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencintai rakyat
Indonesia, marilah kita terima prinsip persamaan politik dan di lapangan
ekonomi pun kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan
bersama yang sebaik-baiknya.” Pada pemikiran Bung Hatta, hal itu dapat
dibaca pada Daulat Rakyat 1931, dengan menggunakan istilah perekonomian
rakyat sebagai lawan perekonomian kolonial yang berwatak perbudakan,
menghisap, diskriminatif, mau menang sendiri, dan serakah. Dari sana Moh
Hatta bersikap bahwa Indonesia belumlah merdeka, jika hanya dengan
demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi.

Aliran berpikir para pejuang itu dituangkan dalam Kata Pembukaan UUD
1945, Pasal 33 dan penjelasannya, serta Pasal 23, 27 Ayat (2), 31, dan
34. Kata kunci dari ekonomi kerakyatan itu adalah penjelasan Pasal 33
UUD 1945 yang dipangkas sejumlah ekonom Indonesia. Yakni, dalam Pasal 33
tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan semua, untuk
semua, di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang.

Pemikiran founding fathers itu dilanjutkan Sritua Arief, Mubyarto, dan
Sri Edi Swasono. Sritua Arief dengan pemikiran permintaan efektif yang
dalam kebijakan ekonomi berarti mengutamakan kekuatan nasional dan
penguasaan pasar domestik oleh pelaku nasional. Mubyarto dengan
pemikiran ‘sistem ekonomi Pancasila’-nya. Sementara itu, Sri Edi Swasono
dengan penolakan ekonomi subordinasinya. Revrisond Baswir, Hendri
Saparini, Iman Sugema, dan saya memahami dan menerjemahkan hal itu
sebagai Ekonomi Konstitusi.

Dalam bahasa yang lebih ringkas, barang dan jasa publik harus tetap
dikuasai, diatur, diperuntukkan, dan didayagunakan setinggi-tingginya
bagi kemakmuran rakyat luas, dan tidak didikte mekanisme pasar. Pada
perspektif ini, paham individualis tidak berlaku karena hajat hidup
orang banyak yang dijunjung. Karena Indonesia juga mengakui, menerima,
dan melakukan pergaulan internasional, dalam perekonomiannya bersifat
closed open circuit economy. Artinya, keuangan dan komoditas tertentu
diberlakukan tertutup selama domestik mengalami defisit.

Kebutuhan modal pembangunan, jika menggunakan pemikiran Sritua Arief,
berpijak pada permintaan efektif yang menciptakan tabungan nasional
sehingga tabungan ini dapat digunakan untuk investasi. Sementara itu,
kekurangan atau ketiadaan komoditas tertentu dipasok dari dalam negeri.
Jika kemampuan dalam negeri terbatas, pasokan dari luar negeri tidak
boleh menciptakan situasi ketergantungan. Itu berarti pembangunan harus
berpijak pada sinergi padat karya dan padat modal. Dari cara berpikir
ini jelas sekali bahwa menerima utang luar negeri nyaris tidak
diperkenankan. Apalagi sampai memenuhi syarat-syarat yang
menjungkirbalikkan ekonomi konstitusi.

Pemikiran neoliberal dapat ditelusuri melalui Adam Smith, seorang fi
lsuf yang menerbitkan buku The Wealth of Nations (1776). Sebagai
penganut paham individualis dan pembela kaum industri, Smith
mengharamkan campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar karena pasar
akan mampu menggenapi dirinya sendiri.

Tangan-tangan tak terlihat akan menciptakan keseimbangan penawaran dan
permintaan dalam pasar komoditas maupun pasar surat-surat berharga
(pasar uang dan pasar modal). Intinya adalah akumulasi modal dengan
keniscayaan memperoleh keuntungan semaksimal-maksimalnya.

Sekitar 1729 di Inggris lahir The Bubble Act, yakni melarang para
pemilik uang untuk menjualbelikan surat-surat utang. Kekuatan lobi para
pemilik modal pada penguasa luar biasa sehingga pada 1829 UU itu dicabut.

Bersamaan dengan dinamika perekonomian yang didukung keberhasilan
revolusi industri, maka pada awal abad ke-19 David Ricardo meyakinkan
kerabatnya tentang kegunaan dan keuntungan perdagangan internasional.
Sejak saat itu isu tentang pertarungan kaum merkantilis yang melindungi
kepentingan ekonomi nasional (dengan subjektivitas agar bisnis dan pasar
mereka tidak tergerus) berhadapan dengan kaum industriawan yang menolak
proteksionisme.

Puncak dari pergumulan ini adalah perebutan pasar serta sumber daya
energi dan produksi, maka lahirlah Perang Dunia I dan II.

Amerika Serikat (AS) tidak lagi menghendaki Eropa mendominasi
perekonomian. Sekaligus diperlukan strategi baru bagaimana mengatur
perekonomian dalam pergaulan internasional.

Pemikiran itulah yang melahirkan apa yang disebut Bretton Woods tiga
lembaga ekonomi, yakni (Bank Dunia, IMF, dan GATT yang kemudian menjadi
WTO) dan satu lembaga politik (PBB). AS-lah penentunya yang berhadapan
dengan Uni Soviet. Fokus utama tidak berubah, yakni mekanisme pasar
bebas, kebebasan korporasi meningkatkan skala ekonomi melalui perluasan
pasar melewati batas negara, tidak dikenal barang dan jasa publik.

Washington consensus Namun, liberalnya pasar ini menemui kegagalan
karena AS terus mengalami defisit ang garan dan defi sit perdagangan.
Karena itu, pada Juli 1971 Presiden AS Richard Nixon mengubah sistem
nilai tukar tetap menjadi mengambang dan cadangan devisa diubah dari
emas menjadi dolar AS. IMF ‘menerapkan’ pada anggotanya melalui Jamaica
Agreement pada 1976.

Toh, situasi perekonomian AS tidak berubah.

Perekonomian Inggris juga mengalami hal yang sama. Dua negara
‘sekandung’ itu berpendapat, kesejahteraan mereka beralih ke negara lain
terutama karena Jepang dan Jerman telah kembali menancapkan pengaruh
mereka dalam kancah perekonomian. Maka lahirlah Washington Consensus
sebagai koreksi atas kegagalan bangun pemikiran ekonomi Bretton Woods
berbasis ekonomi neoklasik. Konsensus itu bisa diringkas pada soal (1)
larangan menyubsidi rakyat dan membiayai penyediaan dan pengelolaan
barang dan jasa publik melalui istilah disiplin fi skal. (2) Jika
pemerintah sudah telanjur terlibat pada penyediaan barang dan jasa
publik, harus dijual kepada swasta. Itulah yang dikenal dengan
privatisasi. (3) Meliberalkan semua sektor perekonomian dengan
memberlakukan asas nondiskriminatif antara pelaku asing dan pelaku
nasional. Hasilnya adalah, AS dan terutama negara G7 serta negara-negara
yang berpatron ke prinsip neoliberal itu mengalami krisis lagi pada
Oktober 2008. Menurut catatan National Bureau of Economic Research,
krisis ekonomi yang disebut sebagai siklus bisnis itu sudah terjadi 33
kali sejak 1854 sampai dengan 2007.

Dalam kajian ekonomi politik dan sosiologi pembangunan, maka ekonomi
neoliberal selalu menghadapi kegagalan mengatasi pengangguran,
kemiskinan, dan ketimpangan. Ekonomi berbasis neoli beral sebagaimana
dikaji ilmuwan Barat sendiri telah membuat orang kaya makin kaya dan
kaum papa makin ternista. Neoli beral bahkan telah memosisikan pengusaha
berhadapan dengan rakyat.

Jan Tinbergen menemukan penyebabnya, yakni karena diterapkannya the
greedy capitalism (1992) yang oleh Joseph E Stiglitz disebut sebagai
market fundamentalism (2002). Dengan alasan itulah sejak awal the
founding fathers kita menolaknya dan membahasakan ideologi ekonomi
Indonesia sebagai sosialisme Indonesia, walau istilah itu tidak
ditemukan dalam UUD 1945.

Bagaimana ke depan? Tergantung kita, setia pada pemikiran anak bangsa
dan cinta pada rakyat Indonesia atau memilih aliran pemikiran ekonomi
yang selalu menemui kegagalan.

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/04/ArticleHtmls/04_06_2009_017_003.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: