Topik yang Terlupakan dalam Kampanye
Kampanye Presiden 2009 telah dimulai dan sedang berlangsung dengan
sangat semarak dan vokal.Ada yang tidak suka keramaian ini.Katanya
membingungkan dan menimbulkan emosi berlebih-lebih, padahal kita perlu
ketenangan.
Memang setiap orang harus punya perspektif masing-masing terhadap suatu
masalah. Dalam masyarakat yang ragam, perspektif ini bisa sangat berbeda
dari satu orang ke orang lain, satu kelompok ke kelompok lain. Namun,
satu hal dapat disetujui bersama,yaitu pemilihan Presiden Republik
Indonesia belum pernah mencapai tingkat kesemarakan seperti sekarang.
Pemilihan presiden secara langsung itu sendiri kini menjadi ciri khas
Indonesia. Kita yang tinggal di Indonesia banyak tidak merasakan bahwa
ini merupakan keberhasilan demokrasi yang terpuji di dunia.Tidak ada
lagi negara yang memilih kepala negara secara langsung.
Amerika Serikat menerjemahkan suara pemilih menjadi suara Electoral
College, dan bisa terjadi bahwa mayoritas suara rakyat berbeda dengan
keputusan akhir karena perbandingan umumlah suara Electoral College
menghasilkan kesimpulan berbeda dengan suara pemilih.
Sebagai contoh, di tahun 2000 Al Gore mendapat suara pemilih terbanyak,
tapi George W Bush terpilih menjadi Presiden AS karena jumlah suaranya
di Electoral College lebih besar. Selain format demokrasi langsung yang
kita pakai, kampanye terbuka dan kebebasan warga menilai calon juga
merupakan hal yang baru di Indonesia.
Untuk anak muda yang tidak mengalami Orde Baru, dianggap biasa saja,
kampanye di mana tiga pasangan dan pendukungnya saling menyindir dan
mempromosikan kelebihan masing- masing.Baik JK-Wiranto, SBYBoediono,
maupun Mega-Prabowo sama-sama menggunakan mimbar bebas dengan bersemangat.
Tidak terbayang sewaktu Soekarno dan Soeharto menjadi Presiden RI,ada
yang berani mengkritik kedua presiden itu dalam masa jabatannya.
Langsung masuk penjara. Perkembangan kampanye presiden juga menunjukkan
ciri yang menggembirakan.
Tahun lalu, kolom ini pernah melakukan imbauan umum agar kampanye tidak
hanya mempersoalkan pribadi para calon, tapi juga melakukan pembahasan
umum mengenai topik yang relevan bagi perkembangan Indonesia depan.
Bicaralah mengenai isu, jangan hanya mengenai calon.Tidak disangka,
harapan itu kini terwujud.Banyak topik yang dibicarakan,mulai dari
sistem ekonomi sampai kepada sikap nasionalisme.
Akan tetapi, ada topik sangat penting yang sepi dalam kampanye ini.
Berbagai isu telah dikemukakan, dominan di antaranya adalah ekonomi
neoliberal vs kerakyatan. Namun, justru masalah paling kunci dalam
menjamin ketenteraman hidup warga belum muncul dalam pembahasan:
kekerasan negara,yang secara formal disebut pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam tulisan untuk blog www.perspektif.net, Didiet Adiputro menyatakan,
sejatinya salah satu tugas pokok negara selain memberikan kesejahteraan
di bidang ekonomi,juga memberikan perlindungan dan rasa aman bagi
warganya dari ancaman kekerasan. Akan tetapi,bangsa kita pernah
mengalami suatu masa di mana negara yang harusnya melindungi warganya
dari kekerasan justru melakukan kekerasan itu sendiri kepada warga
negaranya.
Mungkin kita pernah mengetahui terjadinya peristiwa Pembantaian PKI,
Tragedi Santa Cruz, Tanjung Priok, Lampung,Kedung Ombo, Marsinah,
Penyerbuan Kantor PDI 27 Juli 96, penculikan aktivis oleh Tim
Mawar,sampai yang terbaru peristiwa Mei 98, Pelanggaran HAM Timtim dan
tragedi Semanggi yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa di
kalangan sipil tak berdosa.
Berbagai peristiwa memilukan tersebut ternyata masih menyisakan tanda
tanya besar mengenai siapa pelaku utama (aktor intelektual) di balik
berbagai peristiwa pelanggaran HAM tersebut.Akan sangat mudah bagi kita
untuk menunjuk Soeharto sebagai dalang utama berbagai peristiwa tersebut.
Oleh karenanya, dengan kekuatan masyarakat,Soeharto dipaksa
mundurdarijabatannya sebagaiPresiden RIketikaitu.Namun,kitajanganlupa
bahwa masih ada pelaku-pelaku lain yang mempunyai peran besar dalam
berbagai peristiwa berdarah tersebut. Ternyata mereka masih bisa dengan
leluasa berkeliaran di lingkaran elite kekuasaan,bahkan sebagian juga
ikut dalam bursa persaingan calon pemimpin nasional.
Ditekankan Didiet Adiputro, saat ini kita menghadapi dua masalah
utama.Pertama, publik cenderung mudah melupakan peristiwaperistiwa
pelanggaran HAM masa lalu dan cenderung mengalami ”Tuna
Sejarah”(masyarakat kita adalah masyarakat yang melodramatik
sehinggacepatlupadancepatmemaafkan).
Lalu, menganggap hal itu bukan masalah penting yang perlu dikaitkan
dengan beberapa orang yang hingga kini masih eksis di perpolitikan
nasional. Kedua, para aktor pelanggaran HAM tersebut dengan memanfaatkan
sikap melodramatik sebagian besar masyarakat Indonesia berhasil
membungkus dirinya dengan pencitraan yang baik sehingga terkesan mereka
bersih dan tidak punya beban kelam sejarah masa lalu yang mengakibatkan
terbunuhnya puluhan hingga ratusan warga sipil tak berdosa.
Kalau sementara tokoh nasional menurunkan derajat masalah HAM menjadi
diskusi teori umum, kita merasakan bahwa pelanggaran HAM merupakan
derita yang sangat pribadi dan fundamental dalam kehidupan sebagai warga
negara. Kasus yang harus tetap berada dalam perhatian publik adalah
kasus pembunuhan Munir. Siapa yang tak kenal dengan almarhum Munir, SH.
Seorang pejuang HAM yang berani dan menjadi simbol perlawanan bagi rezim
militeristik.Namun karena kegigihannya itu, dia harus pergi untuk
selamanya karena perbuatan beberapa oknum yang tidak ingin melihat
Indonesia menjadi lebih baik. Sangat disesalkan ketika ada sebagian
orang yang menganggap bahwa HAM adalah isu musiman, bahkan keterlaluan
ada pemimpin yang menganggap HAM adalah persoalan masa lalu.
Untung kekuasaan negara yang sekarang sedang berlaku tidak menolak
seluruh pengusutan kasus Munir. Salah satu harapan saat ini ada pada
Komisi Yudisial sedang memeriksa tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan yang memutus bebas tersangka pembunuhan Munir yang menjabat
pimpinan suatu partai kontestan pemilu.
Ironis bahwa orang yang disangka sebagai dalang pembunuhan bebas
berkeliaran, bahkan berlindung menyelamatkan dirinya lewat partai
politik. Meski demikian, kita harus percaya bangsa ini akan lebih baik
dalam penegakan HAM, karena ini semata-mata tergantung political will
dari pemerintahan yang baru.
Untuk bekal dalam Pemilihan Presiden 2009, tidak perlu kita menuduh dan
membantah siapa melakukan pelanggaran HAM. Cukup kita menyimak bahaya
kekerasan negara.Kalau sampai kembali lagi, Anda bisa menjadi korban
berikutnya. Jadi, gunakanlah hak pilih Anda dengan cermat. Tentukan
pilihan Anda dengan tepat jika tidak mau kekerasan negara terhadap
warganya akan terulang di kemudian hari.(*)
Wimar Witoelar
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/247347/
Topik yang Terlupakan dalam Kampanye
Written By gusdurian on Selasa, 16 Juni 2009 | 12.46
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar