TNI yang Merana
TUJUH kasus kecelakaan pesawat angkut, pesawat latih, dan helikopter
milik TNI yang terjadi selama 2009 dan menewaskan tidak kurang dari 133
orang (Seputar Indonesia, 15/6) telah membuka mata kita,termasuk para
anggota eksekutif dan legislatif, betapa parahnya alat utama sistem
senjata (alutsista) TNI.
Berapa kali sudah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan
akan membuat tim untuk mengkaji berbagai kecelakaan tersebut, tetapi
hingga kini kita tak tahu rimbanya, apakah tim tersebutsudah,
sedangataubahkanbelum bekerja. Hari demi hari telah berlalu dan dalam
dua bulan terakhir terjadi empat kali kecelakaan yang memakan banyak
korban jiwa.
Dalam berbagai kajian mengenai lingkungan strategis Indonesia, bahkan di
dalam Buku Putih Pertahanan 2003, selalu dinyatakan bahwa dalam 20 tahun
mendatang tidak akan terjadi invasi militer dari luar terhadap
Indonesia. Budaya strategis militer kita pun masih terfokus pada ancaman
daridalamnegeri,khususnya gerakan separatisme,walau belakangan sudah
juga memperhitungkan ancaman nontradisional/ nonkonvensional yang
berbentuk kejahatan lintas negara seperti terorisme, narkotik,
penyelundupan senjata, pencurian ikan, penjualan kayu ilegal, dan
penyelundupan manusia.
Ketiadaan ancaman militer dari luar ditambah dengan keterbatasan
anggaran negara mengakibatkan anggaran pertahanan kita kini menduduki
peringkat ketujuh dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
2009.Pertama kali pula dalam sejarah pemerintahan di era Reformasi,
anggaran pertahanan negara mengalami pengurangan dua kali dari Rp36,5
triliun pada 2008 menjadi Rp35 triliun, kemudian dipotong lagi menjadi
Rp33,6 triliun sebagai akibat dari krisis ekonomi dunia.
Akibat dari persoalan demonstrasi tentara di Abepura, Papua, beberapa
waktu lalu anggaran operasi militer ditambah dari Rp300 miliar menjadi
Rp500 miliar yang pada 2008 berjumlah Rp800 miliar. Kini juga timbul
pemikiran untuk menaikkan anggaran pertahanan sebesar Rp10 triliun pada
2010, terutama untuk membeli alutsista baru dan memelihara alutsista
yang ada.
Jika kita bandingkan dengan lima negara tetangga ASEAN,anggaran
pertahanan Indonesia termasuk yang terkecil kedua setelah Filipina.
Indonesia yang memiliki populasi sekitar 230 juta jiwa hanya memiliki
395.000 tentara dan anggaran sebesar USD3,90 miliar atau USD16,96 per
kapita pada 2008.
Bandingkan dengan Thailand yang berpenduduk 64.300.000 jiwa memiliki
tentara 242.000 dengan anggaran USD4,49 miliar atau USD69,83 per kapita.
Singapura yang hanya berpenduduk 4.588.000 jiwa memiliki tentara 60.000
personel dengan anggaran terbesar di ASEAN,yakni USD6,93 miliar atau
USD1.510 per kapita.
Malaysia dengan penduduk 25.300.000 memiliki tentara 107.500 personel
dengan anggaran USD3,28 miliar atau USD1.426 per kapita.Adapun Vietnam
yang berpenduduk 83.600 jiwa memiliki 455.000 tentara dengan anggaran
sebesar USD3,60 miliar atau USD43,06 per kapita.
Semua anggaran tersebut adalah anggaran pertahanan pada 2008. Anggaran
pertahanan Indonesia yang Rp33,6 triliun pada 2009 tersebut 70% di
antaranya habis hanya untuk gaji dan upah personel tentara dan personel
yang ada di Departemen Pertahanan RI serta hanya 30% yang digunakan
untuk perawatan dan pembelian terbatas alutsista TNI.Sebenarnya sejak
awal era Reformasi bukan hanya pesawat tempur TNIAU yang akan
diremajakan,melainkan juga angkutan udara dan kekuatan armada laut milik
TNI AL.
Namun, fokus pada peremajaan alat angkut udara TNI hingga kini belum
diimplementasi kan walau kini embargo senjata dari AS kepada Indonesia
sudah berakhir. Hingga kini juga masih terjadi silang pendapat mengenai
alutsista TNI, apakah akan diremajakan atau hanya merawat yang sudah usang?
Tak sedikit kalangan pengamat militer di Indonesia yang berpandangan
agar dilakukan moratorium alutsista tua dan lebih baik alutsista TNI
diremajakan secara bertahap karena biaya pemeliharaannya jauh lebih
murah, masa pakai cukup lama serta masih dapat diandalkan.
Satu sisi yang menarik,sumbersumber di Departemen Pertahanan ada juga
yang berpendapat bahwa akibat dari kekurangan anggaran, tidak jarang
suku cadang yang digunakan bagi alutsista TNI adalah yang abal-abal
(asli tapi palsu atau baru tapi bekas). Minyak pelumas bagi kendaraan
TNI dan bukan mustahil bagi alutsista TNI juga oli bekas atau oli yang
dijual drum-druman, yang tidak memenuhi standar.
Hingga kini rencana peningkatan anggaran TNI masih sekadar wacana. Dari
tiga pasangan capres dan cawapres, tidak ada yang secara tegas
menyatakan akan meningkatkan kapabilitas pertahanan kita yang berarti
pula meningkatkan anggaran pertahanan.
Pasangan SBY-Boediono atau dalam hal ini Presiden SBY sendiri selalu
mengatakan anggaran pertahanan akan dinaikkan jika ekonomi Indonesia
semakin baik. Prabowo Subianto, cawapres yang diusung oleh PDIP dan
Gerindra, menyatakan hal yang sama.
Padahal saat ia masih perwira muda, Prabowo memiliki obsesi agar TNI
kita memiliki peralatan canggih dan kapabilitas sumber daya manusia sama
dengan tentara Israel. Pasangan Jusuf Kalla- Wiranto juga hanya berjanji
akan menaikkan anggaran pertahanan tanpa mematok bagaimana caranya dan
tahapannya.
Meningkatkan postur TNI bukan suatu yang asal jadi atau tanpa rencana
berjangka. Sampai kini TNI kita belum sampai pada tahap minimal
essential force yang harus dimiliki oleh negara kepulauan seluas
Indonesia.Jika anggaran terus terbatas, ini juga akan mengganggu proses
reformasi TNI, dari yang dulu tentara politik dan tentara niaga menjadi
tentara profesional murni yang benar-benar menanggalkan aktivitas
politik dan bisnisnya.
Pada seminar yang membahas reformasi sektor keamanan yang diorganisasi
Indonesia Solidarity di Sydney, 12–13 Juni 2009 lalu, masih ada peneliti
Australia yang percaya bahwa anggaran negara buat TNI adalah 30%,
sedangkan off-budget militer masih 70%, yang didapat dari bisnis TNI.
Mereka tidak tahu bahwa dari 100% yang diminta TNI, hanya 30% yang dapat
dipenuhi negara.
Bisnis militer harus berakhir atau diambil alih oleh negara pada 20
Oktober 2009 mendatang walau kita ragu apakah Presiden SBY berani dan
serius melakukan amanat UU No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia
itu. Departemen Pertahanan RI juga sudah melakukan kajian strategis
mengenai kapabilitas apa yang seharusnya dimiliki TNI dalam jangka
pendek, menengah atau panjang mendatang.
Namun kita juga masih bertanya soal implementasinya. Di Indonesia memang
berlaku bukan kegiatan yang menentukan anggaran, melainkan kegiatan
ditentukan oleh terbatasnya anggaran.(*)
IKRAR NUSA BHAKTI
Profesor Riset Bidang
Intermestic Affairs LIPI
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/247434/38/
TNI yang Merana
Written By gusdurian on Selasa, 16 Juni 2009 | 12.47
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar