Neoliberalisme: Sebuah Catatan
*Frans Wibawa*
# Praktisi pasar modal
Pembahasan mengenai neoliberalisme oleh sebagian ekonom memperlihatkan
adanya indiferensi terhadap neoliberalisme. Suatu kesalahan yang mudah
dibuat jika tidak hati-hati dan kurang mengkaji keseluruhan aspek
pemikiran dan prakteknya. Pada tataran yang lebih fundamental, ini
mengingatkan saya pada diskursus apakah ilmu bebas nilai yang terjadi di
kalangan ilmuwan sejak dulu (Lihat Frans Wibawa, dalam Ivan Wibowo (ed),
Komunitas Bambu 2008). Walaupun berangkat dari niat dan semangat
pencarian "kebenaran obyektif", para ilmuwan murni tetap tidak bisa
lepas dari relativitas subyektif dalam usaha penemuan ilmu pengetahuan.
Demikian halnya ilmu ekonomi, yang dianggap sebagai ilmu sosial yang
berkembang paling maju. Ilmu-ilmu sosial lebih rentan dan sensitif lagi
terhadap unsur subyektivitas, ada faktor nilai dan opini. Kebenaran
dapat dicapai melalui dua ukuran: /common sense/ dan pengujian. Kurang
dari itu, yang ada masih berupa asumsi, prasangka, dan rangkaian pikiran
yang normatif dan sifatnya spekulatif.
Bila asumsi, prasangka, dan rangkaian pikiran dikembangkan secara
berbeda menjadi paham dan ideologi. Jika pada gerak ilmu lebih dominan
pengujian dan analisis, pada paham dan ideologi yang lebih berperan
kehendak, keyakinan, dan sintesis. Di antara keduanya, antara ilmu dan
ideologi terdapat filsafat. Dari asumsi dan rangkaian pikiran
neoliberal, maka ia lebih merupakan sebuah ideologi. Namun, tak bisa
dimungkiri, sebuah ideologi haruslah juga mengadopsi dan mengandung
kebenaran-kebenaran ilmiah. Bila tidak, otomatis paham itu akan runtuh
seketika di depan mata.
Prinsip ilmu ekonomi, seperti disiplin fiskal, tak disangsikan lagi.
Semua orang tahu kalau pemasukan harus lebih besar dari atau minimal
sama dengan pengeluaran. Surplus makin besar berarti makin baik. Ada
pula hal yang memerlukan perhatian dari segi aplikabilitas, dan
bagaimana penerapan pada kondisi spesifik tertentu dapat memberi hasil
sesuai dengan ekspektasi teoretis.
Apa yang disebut neoliberalisme merupakan suatu paham yang di dasarnya
terdapat pengagungan nilai-nilai kebebasan individu dan kepentingan diri
(/self interest/). Sekilas tidak ada yang salah dengan hal ini. Tapi
dalam praktek nyata ternyata membawa implikasi dan konsekuensi spiral
yang tak terbendung, kian lama kian dalam berorientasi diri, berkembang
bersama nafsu (/desire/) dan keserakahan (/greed/) yang dibiarkan.
Neoliberalisme adalah anak kandung dan kelanjutan kapitalisme yang
berkembang semakin canggih dan subtil menerobos segala segi dan dimensi
kehidupan manusia. Diperlukan cara dan metode ekspansi yang semakin
canggih dan subtil, yang pada akhirnya tidak cukup lagi memuaskan sang
aku dengan hanya materi ekonomi.
Sama halnya dengan kapitalisme di mana yang sesungguhnya penting
kemudian bukan modal, melainkan pemodal (pemilik modal). Dalam
neoliberalisme, pada akhirnya sesungguhnya yang penting bukanlah pasar
bebas, melainkan sang penguasa pasar. Teori dan keyakinan akan pasar
bebas diadopsi dan dipoles kembangkan, lalu dipaksakan berlaku pada
setiap kondisi masyarakat dan negara dengan iming-iming efisiensi dan
kesejahteraan untuk semua.
Kebijakan-kebijakan ekonomi diarahkan pada kemungkinan tercapainya
penguasaan dan eksploitasi pasar yang berada dalam kendali /invisible
hand/ penguasa pasar. Mulai pasar keuangan, barang dan jasa, tenaga
kerja, melintasi domain ekonomi tradisional ke pasar budaya, sampai
pasar mitos pengetahuan. Pendeknya, terbentuk pasar peradaban dalam
cengkeraman peradaban pasar. Akhirnya timbul kontradiksi dan komplikasi.
Semuanya lantas menjadi kabur sampai penguasa pasar sendiri semakin
kehilangan identitas dan terjebak dalam bayangan dunia virtual yang
dibuat dan mengalami krisis, yang akan menandai berakhirnya satu episode
kapitalisme-neoliberalisme.
Pada tataran praktis yang lebih mudah dirasa, neoliberalisme
bermanifestasi dalam berbagai bentuk. Sebut saja Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Pemberian pinjaman selalu dikaitkan
dengan persyaratan-persyaratan yang melebar menuju penguasaan dan
eksploitasi pasar. IMF bukan institusi ekonomi murni, melainkan
merupakan instrumen politik ekonomi dari kekuatan
kapitalis-neoliberalis. Beberapa resep (persyaratan pinjaman), seperti
disiplin fiskal, baik adanya sesuai dengan prinsip ilmu ekonomi.
Selebihnya lebih merupakan resep ideologis yang dibungkus dalam bahasa
ilmu ekonomi.
Pengurangan subsidi sampai akhirnya tanpa subsidi sama sekali akan
menyengsarakan rakyat pada kondisi realitas yang ada. Tujuan tertulisnya
supaya tercipta pasar yang efisien serta pengelolaan anggaran pendapatan
dan belanja negara yang sehat, namun yang sebenarnya adalah agar
/invisible hand/ penguasa pasar dapat leluasa bermain. Pembukaan pasar
domestik membuat rakyat jadi sasaran produk-produk korporasi
multinasional. Dampak lanjutan mematikan industri lokal. Bahkan
perusahaan lokal yang bagus kemudian, mau rela atau terpaksa, harus
menerima pinangan untuk diakuisisi dan dikuasai oleh raksasa multinasional.
Kemudian penguasaan sumber daya alam, sebuah modus sejak zaman VOC, kini
dilakukan lewat korporasi, seperti Freeport McMoran dan ExxonMobil.
Semua ini memerlukan politik ekonomi komprehensif yang modern dan
canggih. Untuk itu, negara dilemahkan, pemerintah dibuat menjadi "patuh"
lewat persuasi dan intervensi. Elite dikooptasi dan dibuat tak berdaya,
rakyat dininabobokan dan dibuat bodoh, termasuk di dalamnya dilakukan
infiltrasi budaya pasar dan pola pikir instan melalui berbagai media dan
/lifestyle/.
Apabila sebagian kalangan ekonom dan kelas menengah mengalami kesulitan
dalam mengidentifikasi neoliberalisme, akibat pendidikan dan pembudayaan
ideologi pasar bebas yang cukup berhasil, rakyat kebanyakan di lapisan
bawah justru lebih cerdas melihat karena mengalami langsung akibatnya
dan paling menjadi korban di garis terdepan.
Pada akhirnya, neoliberalisme tidak dapat dipandang sebagai paham
ekonomi yang bersifat netral. Dan bila melihat motif dasar ideologi dan
praktek riil sebagai perwujudan aktualitas ideologinya, pendukung dan
pelaksananya tidak dapat dibenarkan secara ekonomi, ekologi, sosial, dan
moral. Mengatakan ekonomi neoliberal adalah netral kelihatannya menjadi
terlalu lugu, dan bila yang menyatakan adalah para "ahli", mereka
menjadi sangat /misleading/.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/16/Opini/krn.20090616.168268.id.html
Neoliberalisme: Sebuah Catatan
Written By gusdurian on Selasa, 16 Juni 2009 | 12.45
Related Games
If you enjoyed this article just click here, or subscribe to receive more great content just like it.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)


0 komentar:
Posting Komentar