BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » TNI: Reformasi atau Transformasi?

TNI: Reformasi atau Transformasi?

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.34

TNI: Reformasi atau Transformasi?

*Connie Rahakundini Bakrie*

# dosen politik Universitas Indonesia dan Peneliti Senior IODAS

Hanya dalam kurun waktu empat bulan, terjadi tujuh kecelakaan pesawat
TNI. Kecelakaan terakhir, helikopter Puma SA 330 jatuh di lapangan
rumput Pangkalan Udara Atang Sendjaja, Bogor, pada 11 Juni 2009.
Rentetan kejadian kecelakaan pesawat TNI pada dasarnya tidak hanya
mengorbankan alutsista (alat utama sistem persenjataan), namun juga
menyia-nyiakan prajurit terbaik yang dimiliki TNI. Ini hanya salah satu
dari banyak persoalan yang dihadapi TNI. Berdasarkan data, jumlah
alutsista TNI AL dan TNI AU yang dapat dioperasikan hanya sekitar 40
persen.

Kerugian negara banyak diakibatkan oleh keterbatasan dan ketidaksiapan
alutsista TNI menghadapi ancaman terhadap kedaulatan negara.
Persoalannya, apakah kita perlu memodernisasi alutsista TNI? Sebagian
besar alutsista TNI sudah ketinggalan zaman dan berumur 25-40 tahun.
Lalu, apa yang harus dimodernisasi dari teknologi yang tertinggal
sekitar 30 tahun yang lalu? Bukankah yang dibutuhkan TNI saat ini adalah
mengganti semua alutsistanya dengan teknologi terbaru yang sanggup
secara efektif dan efisien meng-/cover /seluruh wilayah kedaulatan NKRI?

Jika dilihat dari sisi finansial, memang anggaran pertahanan selalu
menurun dari tahun ke tahun. Kondisi ini sangat menyulitkan TNI dalam
menjalankan tugas utamanya menjaga kedaulatan negara secara eksternal.
Fungsi eksternal ini sebenarnya mengandung arti bahwa TNI harus memiliki
kapasitas untuk menyerang dan menghancurkan musuh di titik-titik terluar
kedaulatan NKRI atau di wilayah ZEE, sehingga perang tidak sampai
terjadi di wilayah sendiri. Namun, faktanya, reformasi TNI tidak
disertai dengan pemenuhan kebutuhan alutsista yang seharusnya dibangun
dengan memiliki kapasitas /outward-looking/.

Apakah reformasi TNI sudah terjadi? Runtuhnya Orde Baru akibat tuntutan
demokrasi telah mengubah secara fundamental hubungan sipil-militer di
Indonesia. Besarnya desakan terhadap militer untuk kembali pada peran
pertahanan negara menyebabkan TNI mereposisi dan meredefinisi fungsi dan
perannya sebagai alat pertahanan negara. TNI telah kembali kepada jati
dirinya sebagai tentara profesional yang berperan sebagai alat
pertahanan NKRI. Artinya, ketika TNI telah melaksanakan keinginan rakyat
untuk kembali ke barak, reformasi TNI sudahlah selesai!

Reformasi itu sendiri memiliki makna kembali (/re/) ke asal atau bentuk
semula (/formation/). TNI sudah kembali ke fungsi militer yang
sebenarnya di dalam negara, yaitu TNI sebagai "tentara perang" di mana
itu berarti kita harus meredefinisi secara konkret tugas TNI sebagai
militer yang /outward-looking/ (menjalankan fungsi eksternal menjaga
kedaulatan negara). Logika inilah yang kemudian melahirkan frasa
"profesionalisme TNI". Namun, perlu disadari bahwa profesionalisme TNI
hanyalah retorika semata jika semua kebutuhan TNI untuk menjadi
profesional tidak dapat dipenuhi oleh negara. Isu yang relevan dalam
masalah profesionalisme TNI sebenarnya adalah mentransformasi TNI.

*Transformasi TNI*

Transformasi sendiri dapat diartikan dengan berubah bentuk atau berubah
dari satu bentuk ke bentuk lainnya. Masihkah Anda ingat film yang
berjudul /Transformers/ (2008) dan sekuel keduanya yang berjudul
/Transformers: Revenge of the Fallens/ (2009), di mana para robot bisa
berubah bentuk menjadi mobil? Para robot tersebut dikatakan sebagai
/transformer/ karena dapat berubah bentuk yang berbeda dari bentuk awal.
Demikian juga transformasi TNI. Apa yang harus diubah dari TNI? Dalam
konteks ini, TNI harus memiliki kapasitas untuk menyerang musuh.
Sehingga dibutuhkan alutsista yang berkemampuan perang multifungsi dan
jauh dari daratan (perang laut dan udara). Mengingat bahwa alutsista TNI
sudah berumur tua, yang artinya juga ketinggalan teknologi, perlu
dilakukan transformasi alutsista TNI.

TNI harus berubah menjadi modern karena fungsi /outward-looking/
menuntut kapasitas ini. Modern di sini bukan berarti memodernisasi
teknologi alutsista TNI yang sudah tua, namun mengganti teknologi
alutsista dengan generasi terbaru. Tidak ada yang dapat dimodernisasi
dari teknologi yang sudah kedaluwarsa. Yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan TNI profesional hanyalah mentransformasi alutsista TNI. Tidak
ada pilihan lain bagi TNI dalam menjalankan tugas dan kewajiban utamanya
yang bersifat eksternal, menjaga kedaulatan NKRI secara efektif dan
efisien, jika tidak melakukan transformasi alutsista!

*Kesiapan pemerintah*

Anggaran pertahanan negara-negara di dunia selalu meningkat. Negara yang
justru bertindak sebaliknya adalah Indonesia. Anggaran pertahanan
Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia Selatan
tergolong paling rendah, bahkan untuk tahun 2009, hanya sebesar 0,65
persen PDB, sementara rata rata anggaran pertahanan negara-negara di
Asia Selatan mencapai 3-5 persen PDB. Negara-negara tetangga Indonesia,
seperti Singapura dan Malaysia, terus menambah kapasitas alutsistanya
menjadi modern sesuai dengan kebutuhan zaman. Bahkan baru-baru ini
dikeluarkan buku putih pertahanan Australia (2009), di mana Australia
mencanangkan pembangunan kapasitas militernya secara modern dengan
melakukan /up-grade/ atas kapal selamnya dan membeli pesawat tempur
multifungsi dengan generasi teknologi terbaru, F-32.

Melihat perkembangan pembangunan militer di kawasan, siap atau tidak
siap pemerintah Indonesia harus segera menaikkan anggaran pertahanan
negara guna mentransformasi alutsista TNI yang /out-of-date/. Jika
jangka waktu transformasi TNI adalah 30 tahun ke depan, dibutuhkan
anggaran pertahanan yang mencapai persentase dua digit dari PDB, yaitu
rata rata sebesar 11,4 persen PDB. Patut dicatat, anggaran sebesar ini
pun hanya akan mencakup penguatan personel serta alutsista semata dan
belum dapat memenuhi faktor faktor lain termasuk infrastruktur,
/training/ pada sistem peralatan baru, juga tidak termasuk pada
pengembangan industri dan teknologi yang seyogianya akan memerlukan
anggaran besar mengikuti tren kemandirian alutsista yang kita tetapkan.

Berdasarkan berbagai hal di atas, mau tidak mau pemerintah harus tetap
konsekuen dalam membangun profesionalisme, yaitu dengan transformasi
TNI. Kedaulatan suatu negara akan terancam jika tidak memiliki militer
yang kuat. Jika pemerintah Indonesia tidak segera melakukan transformasi
TNI menjadi TNI yang profesional dalam artian yang sebenarnya,
taruhannya adalah kedaulatan negara. Satu hal yang harus dipahami oleh
elite politik dan pemimpin bangsa adalah prinsip para jenderal hebat di
dunia bahwa kita harus membiarkan para negara tetangga membangun
kekuatan pertahanannya, tetapi jangan sampai membiarkan mereka lebih
kuat dari kita sehingga mereka berpotensi menjadi /our next enemy/. *

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/06/18/Opini/krn.20090618.168479.id.html
Share this article :

0 komentar: