BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Lantai Dansa Para Pembohong

Lantai Dansa Para Pembohong

Written By gusdurian on Jumat, 19 Juni 2009 | 12.33

Lantai Dansa Para Pembohong
Oleh Max Regus Direktur Parrhesia Institute Jakarta


P UBLIK Indonesia secara resmi akan mendengarkan capres-cawares
‘melengkingkan’ parade janji politik dari podium kampanye pilpres. Paket
capres-cawapres ini merupakan kombinasi ‘program’ dan ‘sosok’. Bagaimana
para kandidat mendeskripsikan program prorakyat dan
mempertanggungjawabkan ‘sosok’ yang berpihak pada kepentingan rakyat
akan menentukan ‘kemenangan’ dan ‘kekalahan’ mereka. Ini menunjukkan
sebuah imperatif politik bahwa hasil akhir pertarungan pilpres niscaya
memiliki koherensi kuat dengan kesejahteraan rakyat
Di satu sisi, setiap kandidat berusaha memenangi pilpres dengan strategi
kampanye yang elegan. Di sisi lain, kita harus menegaskan bahwa
masyarakat (miskin) bukan ‘entitas’ politik yang terlepas dari
keseluruhan proses politik ini. Ke terpilihan politik akan kehilangan
basis legitimasi saat meninggalkan rakyat miskin sebagai alasan mengapa
mereka menjadi pemimpin Indonesia
Media Indonesia, di tengah kegagahan caprescawapres memoles penampilan,
dengan lugas membuka diskusi seputar substansi pembangunan prorakyat
(Media Indonesia, 10 dan 11 Juni)
Konkretnya, apakah tepat mendefi nisikan pembangunan prorakyat dengan
meluncurkan paket seperti BLT, ditambah lagi dengan menggunakan uang
dari utang! Gugatan yang diajukkan Ketua BPK, Anwar Nasution, amat tepat
untuk memeriksa kembali ‘kejujuran’ semua elite kekuasaan tentang
bagaimana mereka memperlakukan bangsa ini dengan fokus masa depan yang
lebih baik. Artinya, jangan pernah menampilkan ‘kemurahan’ kepada rakyat
dengan membagikan uang gratis, tetapi di ujungnya ada kawah kehancuran
yang siap menelan generasi mendatang. Ini peringatan bagi siapa saja
yang masih punya ambisi untuk berkuasa! Elitik Paket capres-cawapres
yang sedang bertarung saat ini merupakan salah satu gambaran sejauh mana
langkah demokrasi sebagai mekanisme politik di Indonesia. Sesudah publik
memperoleh hasil dari pemilihan legislatif dengan munculnya badan
legislatif, sekarang kita memiliki tiga paket capres-cawapres untuk
kepentingan pilpres
nanti. Secara eksplisit kenyataan ini menegaskan bahwa demokrasi pada
akhirnya merupakan ‘pengerucutan’ perwakilan politik
Sementara demokrasi secara substansial menegaskan rakyat sebagai energi
perubahan sosial politik, mekanisme ‘perwakilan politik’ cenderung
menjauhkan badan-badan politik terhadap kawah penderitaan dan kemiskinan
rakyat. Demokrasi dengan sendirinya memperkuat konstelasi sosial politik
piramidal tatkala para pejabat publik yang mendapatkan ‘kepercayaan’
rakyat bertengger terlalu tinggi dari habitat rakyat paling miskin.
Ketika orangorang kepercayaan publik mengubah penam
pilan sebagai elite yang tidak memedulikan nasib rakyat
Di sini, barangkali tetap penting apa yang ditegaskan pemikir politik
klasik V Pareto (1968) bahwa politik bisa sekadar menjadi sirkulasi elite
Pareto membagi elite dalam dua kelompok. Pertama, elite yang memiliki
kelihaian dan kecerdikan –menyebutnya dengan fox – rubah yang cerdik.
Kedua, elite yang memiliki pengaruh terkuat dengan merujuk pada
‘kepemimpinan’ militer – menyebutnya dengan lions – para singa yang
ganas. Kekuasaan bisa mempresentasikan
salah satu kelompok elite ini atau merupakan konsolidasi keduanya,
tergantung keadaan dan kebutuhan politiknya. Adalah kecelakaan
mahadahsyat yang tidak terlukiskan andaikata pilpres hanya menjadi
bagian dari sirkulasi elite kekuasaan yang rakus dan penuh kebohongan!
Zona beku Sirkulasi elite merupakan formula politik yang sengaja dibuat
sedemikian rupa untuk memenangkan dan mengutamakan segenap kepentingan
stakeholder kekuasaan. Sesuatu yang tidak lagi menempatkan dan
memperhitungkan ke
pentingan rakyat dalam ranah kekuasaan dan proses politik
Pada titik tertentu demokrasi mendorong munculnya dukungan politik.
Namun, ada semacam backlash against for democracy serangan balik
terhadap demokrasi yang dilakukan para elite kekuasaan politik. Ini
termanifestasikan secara masif dalam bentuk perilaku politik dan kultur
kekuasaan. Tidak dapat disangkal bahwa para diktator justru terlahir dan
dibesarkan dalam arena semacam ini
Dinamika politik hanya menjadi momentum
pembenaran para diktator menerapkan aturan dan hukum yang merujuk pada
nafsu serakah mereka sendiri. Studi Raymond Bonner yang dituangkan dalam
buku The Waltzing with a Dictator (1987) – memperlihatkan keserakahan
para penguasa menjadikan sejarah politik sekadar ‘lantai dansa’ para
diktator yang tamak dan rakus. Saat semua ini terjadi, rakyat serentak
mengalami ‘zona beku’ (frozen zone) kesejahteraan
Skandal Kondisi ini sejajar dengan apa yang disampaikan Samuel
Brittan–seorang komentator ekonomi pada Financial Times–dengan judul
pidato The Limits pf Democracy pada International Society for Individual
Freedom (2005)– bahwa kemelaratan merupakan bahasa paling lengkap dari
‘keterbatasan demokrasi’. Ini menjadi skandal dalam sejarah politik
Skandal ini koheren dengan tragedi demokrasi
Ini muncul pada saat orang-orang yang seharusnya berperang bersama
demokrasi (democratic crusade) lebih memilih meninggalkan keletihan
perjuangan dan kesenyapan rakyat miskin. Mereka menggabungkan diri
dengan kekuasaan dalam segala kemewahan dan kemeriahan
Demokrasi membersihkan para maniak kekuasaan dari kesan penuh ketamakan
Validasi Sementara itu, demokrasi membawa publik pada pilihan politik
terbatas, sampai sejauh ini bayangan bahaya munculnya para pemimpin
feodal di ujung lorong persaingan politik ini selalu menghantui
kesadaran publik
Itulah sebabnya demokrasi mengandaikan maturitas publik. Kematangan ini
ditunjukkan dengan kesadaran publik untuk tidak menyerahkan nasib
pilpres ini ke tangan para pelaku politik semata. Melakukan yang
sebaliknya akan memunculkan aksi pembajakan demokrasi yang dilakukan
para elite, para pelupa asalmuasal kekuasaan dalam genggaman mereka
Publik dalam kerangka pilpres harus melakukan validasi politik terhadap
demokrasi sebagai metode politik menuju kemakmuran
Tentu, kemakmuran bukan sekadar bualan dari orang-orang munafi k yang
senantiasa membidik kekuasaan belaka! Hanya dengan ini, kita dapat
menghindarkan bangsa ini sekadar lantai dansa para pembohong politik dan
kekuasaan!

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2009/06/18/ArticleHtmls/18_06_2009_018_002.shtml?Mode=0
Share this article :

0 komentar: