BERITA DARI ANDA UNTUK MEDIA KLATEN

Home » » Sri Mulyani Indrawati: Pemerintah Tak Pernah Bisa Menjadi Neolib

Sri Mulyani Indrawati: Pemerintah Tak Pernah Bisa Menjadi Neolib

Written By gusdurian on Senin, 15 Juni 2009 | 14.21

Sri Mulyani Indrawati:
Pemerintah Tak Pernah Bisa Menjadi Neolib

Menteri Keuangan Sri ­Mul­yani Indrawati seper­ti sedang berada di atas
roller­ coaster. Di tengah pereko­nomian dunia yang sedang menurun,
harga minyak tibatiba melesat hingga di kisaran US$ 70 per barel.
Padahal harga minyak pada awal tahun baru setengahnya. Bagi Indonesia,
kenaikan harga minyak bisa mendatangkan berkah, tapi dapat pula
mendatangkan kerepotan.

Menurut bekas Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini, minyak bumi menjadi berkah
atau petaka bergantung pada nilai tukar rupiah, volume (produksi dan
konsumsi dalam negeri), dan tentu saja harga. Jika kenaikan harga minyak
diikuti menguatnya rupiah, si emas hitam akan menambah gemuk pendapat­an
peme­rintah. Namun ada risiko lain, yakni beban subsidi bahan bakar
mi­nyak naik.

Meski demikian, Sri Mulyani menjamin harga bahan bakar minyak tidak akan
dinaikkan selama harga mi­nyak tak melampaui US$ 70an. Menurut dia, pada
saat seperti inilah pemerintah diuji, apakah menggunakan pendekatan
neoliberalis­me atau kerak­yatan. ”Kalau neolib, harga akan dibiar­kan
mengikuti pasar, dan biarkan masyarakat berdarahdarah,” kata­nya kepada
Tempo yang menemui­nya Selasa dua pekan lalu.

*Harga minyak naik lagi, apa dampaknya terhadap pemulihan ekonomi? *

Soal kenaikan harga minyak yang sudah sampai US$ 70 per barel ini,
ada mixed feeling. Di satu sisi, kenaik­an harga ini menunjukkan
ekonomi dunia sudah berdenyut lagi. Harga minyak terkoreksi
mendekati harga yang lebih normal, the real value. Namun, di sisi
lain, beberapa bulan lalu dunia masih menyimpan trauma dengan harga
mi­nyak yang begitu tinggi.

Lalu, kalau harga minyak kembali melesat, bagaimana kebijakan
peme­rintah? Ini berarti sudah mendekati debat sebenarnya, bagaimana
kelompok neoliberal bereaksi dan apa yang akan dilakukan kelompok
pendukung ekonomi kerakyatan. Kalau neolib, itu berarti biarkan
harga mengikuti pasar dan biarkan masyarakat berdarahdarah. Peran
pemerintah hanya minimal. Faktanya, pemerintah Indonesia tak pernah
bisa menjadi neolib.

*Apa yang akan dilakukan pemerintah? *

Pemerintah punya instrumen subsidi. Masalahnya, seperti apa
kebijakan yang paling efektif dan rakyat­ mana yang harus
dilindungi. Ini soal pemihakan. Kalau semua orang mendapat subsidi
bahan bakar ­minyak murah, rakyat miskin hanya akan ­menikmati
subsidi dari busway atau angkot. Sebaliknya, kelas menengah­ atas
menikmati subsidi lebih banyak.­ Mereka punya pendingin udara,
kulkas, motor, atau mobil.

*Sampai harga minyak berapa, anggaran negara bisa bertahan? *

Anggaran negara itu bentuknya ­undangundang. Salah satu pasalnya
menyebutkan besarnya penerimaan dan berbagai asumsi, antara lain
­harga minyak, pertumbuhan ekonomi, dan tingkat inflasi. Tapi itu
semua kan asumsi. Artinya berupa proyeksi, ­bukan sesuatu yang
eksak, sehingga selalu meleset.

Bagaimana bila penerima­an turun, atau melampaui target seperti­
tahun lalu? Kalau asumsi awal ha­rga minyak US$ 40 per barel dan
kurs rupiah terhadap dolar Amerika Rp 11 ribu, tapi sekarang harga
­minyak berkisar US$ 70 dan nilai tukar ­dolar Rp 10 ribu, apa yang
terjadi? P­enerimaan pasti berubah. Tapi, kalau ada anggota DPR yang
mengatakan angkaangka dalam APBN tak boleh diubah seperti kitab
suci, ya, silakan saja. Artinya, kalau anggaran untuk subsidi habis,
ya sudah, tak ada lagi subsidi. Artinya, harga bahan bakar harus naik.

*Apakah target produksi minyak tetap seperti dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara 2009? *

Tetap 960 ribu barel per hari (naik dari 927 ribu pada 2008). Angka
itu sangat menentukan. Dan kenaik­an­­ itu sebagian disumbangkan
oleh Blok Cepu. Pada kenyataannya, sampai Mei lalu, belum
terealisasi. Saya katakan kepada Departemen Energi, kalau tambahan
20 ribu barel itu tak ­terealisasi, penerimaan negara akan bolong.
Tapi Departemen Energi dan BP Migas menjamin bahwa pada akhir tahun
ini Cepu sudah berproduksi.

*Dengan kenaikan harga minyak, apakah harga bahan bakar akan naik? *

Ini pilihan kebijakan. Sewaktu ekonomi global merosot, pemerintah
harus menjamin faktor eksternal itu tidak menggerus ekonomi dalam
negeri. Konsumsi rumah tangga tidak boleh goyah. Pada kuartal
pertama 2009, konsumsi rumah tangga naik luar biasa,­ didorong
kenaikan gaji, pemilu, dan penurunan harga BBM.

Pemerintah juga mengucurkan ­sti­mulus untuk menjaga ekonomi dalam
negeri. Kalau sekarang harga­ bahan bakar dinaikkan, itu sama saja
menetralisasi dampak stimulus.­ Dari sisi ekonomi, belum ada
urgen­si untuk menaikkan harga BBM. Kalau ratarata harga minyak pada
sisa tahun ini bertahan US$ 70, itu berarti sampai akhir ­tahun
harga minyak­ ratarata sepanjang 2009 ­masih berkisar US$ 50 per
barel. Maka anggaran negara tak akan bermasalah.

*Defisit akan berubah? *

Pasti ada yang berubah, tergantung nilai tukar, harga minyak, dan
tingkat lifting. Kalau harga minyak saja yang naik, yang lain tak
berubah, penerimaan masih positif. Bagaimana jika harga dan nilai
tukar yang berubah? Nilai tukar yang melemah membuat kita negatif.
Kita tidak bisa melihat hanya dari satu variabel. Tapi, secara umum,
defisit 2,5 persen itu sampai akhir tahun masih relatif valid.

*Untuk menutup defisit anggaran, pemerintah menerbitkan surat utang. Apa
implikasinya? *

Di seluruh dunia, untuk ­menutup defisit anggaran, pilihannya ­hanya
dua: menjual aset atau berutang, baik ke dalam negeri maupun ke luar
negeri.­ Sekarang, dalam kondisi ­ekonomi yang turun, menjual aset
bukan pilihan. Selama tiga tahun ini, pemerintah sama sekali tidak
menjual aset. Kalau berutang, pilihannya adalah meminjam dengan
hatihati dan biayanya yang paling murah. Pemerintah membuat berbagai
macam instrumen surat utang. Ini yang disa­lah­artikan seolaholah
pemerintah punya hobi berutang. Padahal ini dilakukan untuk
mengurangi risiko agar pemerintah tetap punya pilihan.

*Menutup defisit dengan obligasi, apa tak menyedot likuiditas yang sudah
seret? *

Itu kan ”dakwaan” seolaholah sudah terjadi crowding out, pemerintah
bersaing dengan swasta berebut menyedot likuiditas di pasar.
Ibaratnya, kalau ada air segelas dan separuhnya diambil pemerintah,
sisanya diperebutkan ramerame oleh sektor swasta yang juga
menerbitkan surat utang.

Di atas kertas, potensi terjadi crowding out itu ada. Sewaktu
ekonomi dunia belum mengalami krisis, jumlah uang yang beredar,
terutama­ yang mengalir ke negara berkembang,­ mencapai US$ 900
miliar, tapi kini tinggal US$ 180 miliar. Berarti­ dunia kering
tibatiba, ada sekitar US$ 700 miliar yang hilang karena loss atau
kembali ke negaranegara maju.

Nah, dalam situasi sekarang, per­ception risk negaranegara
berkembang meningkat tajam, sehingga mereka harus membayar bunga
surat utang lebih tinggi. Itu terjadi dari September 2008 sampai
Maret. Kenaikan itu begitu tingginya, bahkan credit default swap
pernah naik tinggi sekali, tapi sekarang relatif sudah kembali normal.

*Tapi likuiditas masih seret dan biaya dana mahal? *

Pemerintah sampai hari ini netcontraction, hanya menyedot duit
masyarakat lewat pajak dan surat utang. Hari ini, posisi kas
pemerintah Rp 130 triliun. Uang yang keluar pada umumnya baru untuk
gaji, karena banyak proyek yang belum berjalan. Uang itu sebagian
besar ditempatkan di Bank Indonesia, jadi tidak meningkatkan
likuiditas. Kalau uang yang diberikan ke daerah juga ditaruh di
perbankan, akan terjadi kontraksi lagi. Jadi pro­blem perbankan
bukan soal jumlah, melainkan segmentasi. Uangnya ba­nyak, tapi hanya
berkumpul di bankbank tertentu. Bank kecilmenengah barangkali sulit
mendapat likuiditas karena persoalan kepercayaan.

*Kalau anggaran surplus, kok, masih terus berutang? *

Pasar itu seperti lawan latih tan­ding pemerintah. Kalau pasar
melihat pemerintah kelihatan goyah, ia akan memukul sehingga
pemerintah­ bisa langsung jatuh. Kami dengan pasar itu tiap hari
saling mengamati. Maka­nya,­ Menteri Keuangan tak akan ngomong
sembarangan. Pasar tahu kapan pemerintah punya banyak ­pilihan atau
tidak. Kalau mereka melihat pemerin­tah tidak punya pilihan, kita
langsung dipojokkan dan didikte dengan harga tinggi. Karena itu,
memi­lih waktu mengeluarkan surat utang juga ditakar. Pada awal
tahun, pelaku pasar melihat perekonomian turun, likuiditas habis,
pasti defisit naik, dus pemerintah akan menerbitkan banyak surat
utang, maka harga akan d­ike­rek tinggi. Tapi kita juga tidak mau
mengikuti permainan mereka.

*Bagaimana dengan opsi menjual aset? *

Belum dijual saja sudah dikritik, apalagi kita jadi menjual. Apalagi
aset di seluruh dunia sekarang sedang murah banget.

*Pada triwulan kedua, sepertinya stimulus masih seret? *

Stimulus mulai jalan, terutama yang dari pajak. Yang terkait
infrastruktur­ sedang dalam proses. Walaupun agak­ terlambat, justru
ada berkah­nya.­ Pada kuartal kedua, ada urusan­ libur­an sekolah
dan tahun ajaran baru. Kuartal­ ketiga ada puasa dan Lebaran.­
Faktor musiman ini akan mendorong konsumsi. Kalau ditambah kampanye,
konsumsi akan cukup tinggi selama inflasi tidak melonjak. Pada
kuartal terakhir, seluruh anggaran digelontorkan. Jadi pembagian
waktunya tampak harmonis.

*Bagaimana dengan sektor produksi? *

Dilihat dari komposisi, yang terkena­ dampak paling besar adalah
sektor manufaktur dan perdagangan. Saya semula mengira akan
terkompensasi­ dengan kampanye dan lainlain, ternyata dampaknya tak
terlalu banyak.­ Pertumbuhan sektor perdagangan nyaris nol.
Manufaktur hanya 1,5 persen. Ini angka terendah sejak krisis 1998.
Sektor pertanian masih tetap baik, konsisten selama empat tahun
terakhir. Apalagi musim hujan agak panjang. Telekomunikasi, hotel,
dan jasa masih tumbuh. Kini permin­taan motor dan mobil sudah naik
lagi, sehingga permintaan terhadap produk manufaktur mungkin akan
mem­baik di kuartal ketiga atau keempat.

*Siapa pun presidennya akan menghadapi masalah defisit anggaran? *

Indonesia dengan tingkat kemiskin­an­ 12 persen, pengangguran 8
persen, secara manajemen ekonomi pasti memerlukan modal untuk
mengu­rangi kemiskinan dan pengangguran.­ Tinggal pilihannya mau
mencari mo­dal dari mana. Kalau anggaran tak boleh defisit, tak
boleh berutang, ya, kita harus siap dengan konsekuensi­nya. Dana
untuk belanja akan seret, termasuk untuk memperbarui persenjataan
militer dan sebagainya. Ya, itu risiko.

*Dalam masa sisa jabatan Anda, apa saja prioritasnya? *

Menteri Keuangan jelas terikat dengan siklus anggaran yang diatur
jelas dan eksplisit. Tiga bulan ke depan, kita akan sibuk di DPR
karena ada laporan semester dan pasti ada perubahan signifikan pada
anggaran 2009, terutama terkait dengan harga minyak dan stimulus.
Kita juga sudah berbicara tentang penyusunan APBN 2010. Tahun ini
spesial karena Lebaran­ jatuh pada September dan masa tugas DPR
selesai pada akhir Oktober. Mereka mengharapkan UndangUndang APBN
2010 semua selesai pada akhir September.

Dengan waktu sesingkat ini, pembahasan anggaran jadi sangat ketat.
Padahal anggaran itu akan dijalankan oleh pemerintah baru. Ini bukan
retorika seperti soal debat neoliberal. Di Indonesia baru sekali
terjadi pemerin­tah lama menyusun anggaran untuk pemerintah baru,
yakni pada 2004, di zaman Menteri Keuangan Boediono. Jadi suasana
politik sangat mewarnai pembahasan Rancangan APBN 2010. Kondisinya
sama dengan saat ini.

*Bagaimana dengan pemulihan ekonomi? *

Saat siklus politik dalam suasana­ kompetisi, Indonesia justru
meng­ha­dapi­ ­tantangan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan pada kuartal­ pertama melebihi semua perkiraan lembaga.
Ini memberikan suatu optimisme, sebab angka pertumbuhan yang kita
canang­kan 4,4 hingga 4,8 persen sering dianggap terlalu optimistis.
Bank Indonesia saja hanya memperkirakan angka pertumbuhan di level
tiga hingga empat persen.­ Lembagalembaga lain malah di bawahnya.

Dari sisi komposisi pertumbuhan, penyokong utamanya adalah konsumsi
rumah tangga. Sektor investasi hanya tumbuh 3,5 persen dan ekspor
justru minus. Variabel penopang pertumbuh­an ini belum menunjukkan
level sehat.­ Untuk menjaga momentum itu, yang menjadi prioritas
adalah kelompok yang paling rentan terkena dampak krisis ekonomi,
yakni kelompok menengahbawah. Pemerintah tidak bisa melindungi
semuanya karena kita tidak punya semua sumber daya. Kelompok ekonomi
atas diharapkan bisa melindungi diri sendiri.

*Sri Mulyani Indrawati *

*Lahir:* Tanjung Karang, 26 Agustus 1962

*Pendidikan : *

# Sarjana, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1986)
# Master, Policy Economics di University of Illinois Urbana-Champaign,
Amerika Serikat (1990)
# Doktor, Ekonomi di University of Illinois Urbana-Champaign, Amerika
Serikat (1992)

*Pekerjaan : *

# Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (1986)
# Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia
(1998)
# Direktur Eksekutif International Monetary Fund (2002)
# Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (2004)
# Menteri Keuangan (2005)
# Pelaksana Tugas Menteri Koordinator Perekonomian (2008)

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/06/15/WAW/mbm.20090615.WAW130571.id.html
Share this article :

0 komentar: